KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Pendukung Persebaya bersama anaknya menghindari paparan gas air mata yang dilepaskan aparat kepolisian seusai laga Liga Primer Indonesia antara Persebaya melawan Persija di Stadion Gelora 10 Nopember Surabaya, Minggu (3/6/2012). Aparat kepolisian terlibat bentrok dengan bonek seusai laga pertandingan yang berakhir imbang 3-3.
TANGIS menyelimuti sepak bola Indonesia. Di tengah karut marut kompetisi dan perseteruan sejumlah pengurus yang makin mengecewakan, publik pecinta sepak bola Tanah Air kembali harus menyaksikan darah puluhan pemuda tertumpah di lapangan sepak bola. Kegembiraan menyaksikan permainan indah itu, kini seakan telah berubah menjadi olahraga yang amat menakutkan.
Sepak bola sejatinya memang tak bisa lepas dari unsur fanatisme yang terkadang berujung kekerasan maupun perkelahian para pendukung setia sejumlah klubnya. Tidak hanya di Indonesia, untuk level dunia pun sudah banyak bukti nyata yang menggambarkan bahwa olahraga tersebut bukan lagi sekadar pertarungan antara 22 manusia di dalam lapangan.
Masih lekat di benak pecinta bola, insiden berdarah yang terjadi di Liga Mesir, Febuari lalu. Usai laga antara tuan rumah Al-Masri melawan Al-Ahly itu, 73 jiwa melayang sia-sia di atas rumput Stadion Port Said, karena kerusuhan antarsuporter kedua tim. Dengan menggunakan pisau, kayu, dan benda tumpul lainnya, pendukung fanatik Al-Masri secara beringas menganiaya pendukung Al-Ahly di tengah lapangan.
Untuk level lebih tinggi, pertemuan Juventus dan Liverpool di final Liga Champions di Stadion Heysel, Brussels, Austria menjadi salah satu sejarah kelam sepak bola. Pertandingan dua raksaya Eropa pada 29 Mei 1985 itu diwarnai insiden tragis. Ejekan suporter kedua tim tersebut membuat emosi pecah hingga membuat pagar yang pemisah kedua suporter roboh. Walhasil, kericuhan terjadi dan 39 suporter tewas akibat peristiwa ini.
Nyawa tak berdosa
Sejumlah contoh itu memang lebih jauh menakutkan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, segala bentuk tindakan apa pun, sangat disayangkan apabila hingga memakan korban jiwa. Apalagi, selama tiga bulan terakhir, sembilan anak Negeri telah merenggang nyawa akibat sepak bola Indonesia.
Pada, Jumat (9/3/2012) malam, rombongan suporter Persebaya Surabaya yang hendak menuju Bojonegoro untuk mendukung timnya berlaga melawan Persibo, dilempari batu oleh warga saat kereta api barang yang ditumpanginya masuk wilayah Babat, Lamongan. Sontak, kepanikan terjadi. Beberapa suporter yang berusaha menghindar kemudian terjatuh karena tersangkut kabel.
Akibat insiden itu, lima nyawa "Bonek Mania" - sebutan pendukung setia Persebaya - melayang. Sebanyak 18 pendukung lainnya mengalami luka-luka karena terkena lemparan batu dan terjatuh dari atas kereta api yang membawa mereka.
Dua bulan berselang, giliran Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, yang menjadi saksi tiga darah pemuda mengalir di dunia sepak bola Indonesia. Adalah Lazuardi (29), warga Menteng, Jakarta Pusat yang tewas setelah dianiaya suporter usai menyaksikan laga klasik antara Persija Jakarta dan Persib Bandung dalam lanjutan ISL. Nyawa dua orang lainnya, Rangga Cipta Nugroho (22) dan Dani Maulana (16) pun turut terenggut dalam insiden itu.
Tak sampai sepekan, Minggu (3/6/2012) malam, seorang "Bonek Mania", Purwo Adi Utomo, juga menjadi korban kejamnya sepak bola Indonesia. Pemuda yang masih berstatus sebagai pelajar kelas III SMK Negeri 5 Surabaya itu tewas terinjak-injak dalam kericuhan antara suporter dan aparat keamanan seusai laga Persebaya melawan Persija Jakarta dalam lanjutan IPL di Stadion Gelora 10 Nopember, Tambak Sari, Surabaya.
Aparat vs fanatisme
Sejumlah kenyataan menyedihkan tersebut kini terpampang jelas dalam dunia sepak bola Indonesia. Sangat disesalkan, olahraga yang digadang-gadang penuh sportivitas itu, harus dirusak oleh sejumlah pendukung maupun segelintir pihak lain yang tidak bertangung jawab. Tak ayal, penyesalan dan kecaman pun datang dari atas beberapa insiden berdarah tersebut.
"Sepak bola Indonesia ini sudah rusak, jadi jangan ditambahi dengan masalah-masalah seperti ini. Sepak bola seharusnya tidak sampai seperti ini. Sampai kapan lagi sepak bola harus kehilangan nyawa-nyawa yang tidak perlu," sesal kapten Persija, Bambang Pamungkas menanggapi sejumlah insiden berdarah itu.
Sosiolog Imam B Prasodjo berpendapat, kekerasan yang dilakukan suporter sepak bola merupakan bentuk emosional primitif yang mengarah ke perlakukan hewani. Jika tidak segera diselesaikan, proses kristalisasi sebagai kelompok suporter yang selalu mengangap lawannya adalah musuh, kekerasan itu masih terus terjadi dan bisa mengeras lagi.
"Yang menjadi perekat kelompok suporter adalah rasa kekitaan yang sangat emosional. Akibatnya orang beranggapan bahwa di luar kelompok saya adalah musuh. Jika dibiarkan, nantinya kelompok ini bisa masuk ke dalam lingkaran budaya kekerasan yang menjadikan mereka bertindak sebagai mesin yang membenci kelompok lain," ujar Imam.
Memang, selain fanatisme sempit itu di setiap insiden berdarah dalam sepak bola memang juga tak bisa dilepaskan dari peran aparat dalam mengamankan sebuah pertandingan. Karena, tak jarang, mereka pun dinilai bertanggung jawab atas sejumlah insiden itu. Tidak hanya di Indonesia, tragedi Hillsborough antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 1989 menjadi kritik keras buat aparat keamanan yang dinilai teledor.
Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (4/6/2012) malam, menilai aparat harus merancang bermacam usaha mencegah konflik di antara para suporter. Ia menilai, prosedur itu harus juga dilaksanakan secara baik ketika mengamankan suatu pertandingan besar yang identik dengan pendukung kesebelasan yang fanatik.
"Polisi pasti memiliki pertimbangan lain, karena tugas polisi adalah menciptakan public order. Memang perlu ada evaluasi kedua belah pihak. Jika polisi salah menerapkan tugasnya, silakan diperiksa. Tetapi, suporter juga harus sadar diri untuk tetap tertib dan tidak membuat masalah. Saya yakin, jika tidak ada hal-hal aneh, insiden itu tidak akan pernah terjadi," ujar Adrianus.
Respons dan tindakan nyata
Terlepas sebab muasal dari insiden berdarah tersebut, hilangnya puluhan nyawa itu telah menambah buruk sejarah kelam sepak bola Indonesia. Belum ada cara, respons, dan tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan itu secara nyata. Memang bukan pekerjaan mudah. Tapi, apakah sebanding jika olahraga favorit jutaan rakyat Indonesia ini terus memakan korban jiwa?
Lihat saja, pemerintah Mesir yang langsung menghentikan seluruh kegiatan sepak bolanya akibat insiden berdarah di Port Said. Seluruh tim sepak bola Inggris pun berbesar hati rela menerima hukuman larangan tanding di kompetisi Eropa selama lima tahun dari FIFA atas ulah pendukung Liverpool dalam tragedi Heysel yang terjadi 27 tahun silam. Hasilnya, respons itu pun berbuah nyata, yakni sepak bola mereka dapat berkembang jauh lebih baik.
Bagi suporter, tak berlebihan juga jika mereka mencontoh rivalitas sejumlah klub luar negeri. Lihat saja, perseteruan antara Barcelona-Real Madrid ataupun AC Milan-Inter Milan. Alasan kebencian yang mendarah daging dalam benak pendukung keempat tim itu yang berkaitan dengan sejarah panjang perjalanan bangsa mereka, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan fanatisme suporter di Indonesia.
Namun, bagi Barcelona, Madrid, Milan, maupun Inter, rivalitas yang mengakibatkan pertumpahan darah adalah warisan kuno yang tak pantas dilakukan di era modern saat ini. Rivalitas dan fanatisme, bagi mereka telah bertransformasi menjadi pertarungan sehat dan sengit di dalam lapangan. Sepak bola pun akan kembali kepada hakekatnya, yakni sebagai permainan indah 22 manusia di atas rumput!
Melihat sejumlah fakta itu, sangat pantas jika pertanyaan besar disematkan kepada para suporter, pengurus, serta penanggung jawab sepak bola Indonesia. Kini semuanya kembali kepada kemauan dan keseriusan mereka membangun olahraga itu tanpa ada lagi ratapan tangis dan air mata, apalagi darah tertumpah. Sangat picik jika olahraga indah itu hanya terus menjadi penyumbang duka puluhan pemuda yang merenggang nyawa akibat sepak bola.
Sepak bola sejatinya memang tak bisa lepas dari unsur fanatisme yang terkadang berujung kekerasan maupun perkelahian para pendukung setia sejumlah klubnya. Tidak hanya di Indonesia, untuk level dunia pun sudah banyak bukti nyata yang menggambarkan bahwa olahraga tersebut bukan lagi sekadar pertarungan antara 22 manusia di dalam lapangan.
Masih lekat di benak pecinta bola, insiden berdarah yang terjadi di Liga Mesir, Febuari lalu. Usai laga antara tuan rumah Al-Masri melawan Al-Ahly itu, 73 jiwa melayang sia-sia di atas rumput Stadion Port Said, karena kerusuhan antarsuporter kedua tim. Dengan menggunakan pisau, kayu, dan benda tumpul lainnya, pendukung fanatik Al-Masri secara beringas menganiaya pendukung Al-Ahly di tengah lapangan.
Untuk level lebih tinggi, pertemuan Juventus dan Liverpool di final Liga Champions di Stadion Heysel, Brussels, Austria menjadi salah satu sejarah kelam sepak bola. Pertandingan dua raksaya Eropa pada 29 Mei 1985 itu diwarnai insiden tragis. Ejekan suporter kedua tim tersebut membuat emosi pecah hingga membuat pagar yang pemisah kedua suporter roboh. Walhasil, kericuhan terjadi dan 39 suporter tewas akibat peristiwa ini.
Nyawa tak berdosa
Sejumlah contoh itu memang lebih jauh menakutkan jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, segala bentuk tindakan apa pun, sangat disayangkan apabila hingga memakan korban jiwa. Apalagi, selama tiga bulan terakhir, sembilan anak Negeri telah merenggang nyawa akibat sepak bola Indonesia.
Pada, Jumat (9/3/2012) malam, rombongan suporter Persebaya Surabaya yang hendak menuju Bojonegoro untuk mendukung timnya berlaga melawan Persibo, dilempari batu oleh warga saat kereta api barang yang ditumpanginya masuk wilayah Babat, Lamongan. Sontak, kepanikan terjadi. Beberapa suporter yang berusaha menghindar kemudian terjatuh karena tersangkut kabel.
Akibat insiden itu, lima nyawa "Bonek Mania" - sebutan pendukung setia Persebaya - melayang. Sebanyak 18 pendukung lainnya mengalami luka-luka karena terkena lemparan batu dan terjatuh dari atas kereta api yang membawa mereka.
Dua bulan berselang, giliran Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, yang menjadi saksi tiga darah pemuda mengalir di dunia sepak bola Indonesia. Adalah Lazuardi (29), warga Menteng, Jakarta Pusat yang tewas setelah dianiaya suporter usai menyaksikan laga klasik antara Persija Jakarta dan Persib Bandung dalam lanjutan ISL. Nyawa dua orang lainnya, Rangga Cipta Nugroho (22) dan Dani Maulana (16) pun turut terenggut dalam insiden itu.
Tak sampai sepekan, Minggu (3/6/2012) malam, seorang "Bonek Mania", Purwo Adi Utomo, juga menjadi korban kejamnya sepak bola Indonesia. Pemuda yang masih berstatus sebagai pelajar kelas III SMK Negeri 5 Surabaya itu tewas terinjak-injak dalam kericuhan antara suporter dan aparat keamanan seusai laga Persebaya melawan Persija Jakarta dalam lanjutan IPL di Stadion Gelora 10 Nopember, Tambak Sari, Surabaya.
Aparat vs fanatisme
Sejumlah kenyataan menyedihkan tersebut kini terpampang jelas dalam dunia sepak bola Indonesia. Sangat disesalkan, olahraga yang digadang-gadang penuh sportivitas itu, harus dirusak oleh sejumlah pendukung maupun segelintir pihak lain yang tidak bertangung jawab. Tak ayal, penyesalan dan kecaman pun datang dari atas beberapa insiden berdarah tersebut.
"Sepak bola Indonesia ini sudah rusak, jadi jangan ditambahi dengan masalah-masalah seperti ini. Sepak bola seharusnya tidak sampai seperti ini. Sampai kapan lagi sepak bola harus kehilangan nyawa-nyawa yang tidak perlu," sesal kapten Persija, Bambang Pamungkas menanggapi sejumlah insiden berdarah itu.
Sosiolog Imam B Prasodjo berpendapat, kekerasan yang dilakukan suporter sepak bola merupakan bentuk emosional primitif yang mengarah ke perlakukan hewani. Jika tidak segera diselesaikan, proses kristalisasi sebagai kelompok suporter yang selalu mengangap lawannya adalah musuh, kekerasan itu masih terus terjadi dan bisa mengeras lagi.
"Yang menjadi perekat kelompok suporter adalah rasa kekitaan yang sangat emosional. Akibatnya orang beranggapan bahwa di luar kelompok saya adalah musuh. Jika dibiarkan, nantinya kelompok ini bisa masuk ke dalam lingkaran budaya kekerasan yang menjadikan mereka bertindak sebagai mesin yang membenci kelompok lain," ujar Imam.
Memang, selain fanatisme sempit itu di setiap insiden berdarah dalam sepak bola memang juga tak bisa dilepaskan dari peran aparat dalam mengamankan sebuah pertandingan. Karena, tak jarang, mereka pun dinilai bertanggung jawab atas sejumlah insiden itu. Tidak hanya di Indonesia, tragedi Hillsborough antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 1989 menjadi kritik keras buat aparat keamanan yang dinilai teledor.
Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (4/6/2012) malam, menilai aparat harus merancang bermacam usaha mencegah konflik di antara para suporter. Ia menilai, prosedur itu harus juga dilaksanakan secara baik ketika mengamankan suatu pertandingan besar yang identik dengan pendukung kesebelasan yang fanatik.
"Polisi pasti memiliki pertimbangan lain, karena tugas polisi adalah menciptakan public order. Memang perlu ada evaluasi kedua belah pihak. Jika polisi salah menerapkan tugasnya, silakan diperiksa. Tetapi, suporter juga harus sadar diri untuk tetap tertib dan tidak membuat masalah. Saya yakin, jika tidak ada hal-hal aneh, insiden itu tidak akan pernah terjadi," ujar Adrianus.
Respons dan tindakan nyata
Terlepas sebab muasal dari insiden berdarah tersebut, hilangnya puluhan nyawa itu telah menambah buruk sejarah kelam sepak bola Indonesia. Belum ada cara, respons, dan tindakan tegas untuk menyelesaikan persoalan itu secara nyata. Memang bukan pekerjaan mudah. Tapi, apakah sebanding jika olahraga favorit jutaan rakyat Indonesia ini terus memakan korban jiwa?
Lihat saja, pemerintah Mesir yang langsung menghentikan seluruh kegiatan sepak bolanya akibat insiden berdarah di Port Said. Seluruh tim sepak bola Inggris pun berbesar hati rela menerima hukuman larangan tanding di kompetisi Eropa selama lima tahun dari FIFA atas ulah pendukung Liverpool dalam tragedi Heysel yang terjadi 27 tahun silam. Hasilnya, respons itu pun berbuah nyata, yakni sepak bola mereka dapat berkembang jauh lebih baik.
Bagi suporter, tak berlebihan juga jika mereka mencontoh rivalitas sejumlah klub luar negeri. Lihat saja, perseteruan antara Barcelona-Real Madrid ataupun AC Milan-Inter Milan. Alasan kebencian yang mendarah daging dalam benak pendukung keempat tim itu yang berkaitan dengan sejarah panjang perjalanan bangsa mereka, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan fanatisme suporter di Indonesia.
Namun, bagi Barcelona, Madrid, Milan, maupun Inter, rivalitas yang mengakibatkan pertumpahan darah adalah warisan kuno yang tak pantas dilakukan di era modern saat ini. Rivalitas dan fanatisme, bagi mereka telah bertransformasi menjadi pertarungan sehat dan sengit di dalam lapangan. Sepak bola pun akan kembali kepada hakekatnya, yakni sebagai permainan indah 22 manusia di atas rumput!
Melihat sejumlah fakta itu, sangat pantas jika pertanyaan besar disematkan kepada para suporter, pengurus, serta penanggung jawab sepak bola Indonesia. Kini semuanya kembali kepada kemauan dan keseriusan mereka membangun olahraga itu tanpa ada lagi ratapan tangis dan air mata, apalagi darah tertumpah. Sangat picik jika olahraga indah itu hanya terus menjadi penyumbang duka puluhan pemuda yang merenggang nyawa akibat sepak bola.
http://bola.kompas.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar