DRAMATISASI PUISI MALING KONDANG
Sepak terjang pejabat, politisi, pengusaha, budayawan, akademisi, pengacara, yang diselimuti kemunafikan dan acap menyengsarakan rakyat, malam ini, Rabu (20/6), akan dikuliti dalam pertunjukan dramatisasi puisi “Malin Kondang” di Teater Utama Taman Budaya Sumatera Barat.
“Malin Kondang” adalah titel kumpulan puisi tunggal Syarifuddin Arifin yang diterbitkan Teras Budaya Jakarta Mei 2012 ini yang sakaligus diluncurkan pada malam nanti.
Syarifuddin Arifin, wartawan dan sastrawan Sumbar, naik panggung lagi setelah lebih 15 tahun tidak membacakan sajak-sajaknya. Kali ini, ia akan mendramatisasi beberapa sajaknya yang terkumpul dalam “Maling Kondang” (bukan Malin Kundang).
“Pertunjukan dramatisasi puisi ”Maling Kondang” mengacu pada pemaknaan kondisi busuknya negeri ini. Koruptor meraja lela, dan kemunafikan para pejabat sudah menjadi hal wajar. Pertunjukan digarap Teater Nan Tumpah Padang sutradara Mahatma Muhammad,” kata Syarifuddin Arifin kepada Haluan, Selasa (19/6).
Antologi Puisi ”Maling Kondang” tersebut, menurut penyair yang pernah menjadi wartawan Haluan ini, berisi tentang kecemasannya, baik sebagai warga Kota Padang yang tidak bisa tidur karena isu gempa dan tsunami, maupun anak bangsa Indonesia yang gamang melihat perkembangan politik, ekonomi yang semakin memiriskan.
“Politikus, praktisi hukum, dan pejabat negeri ini, akan rugi bila tidak menyaksikan pertunjukan ini,” kata Syarifuddin Arifin yang akrab disapa dengan sebutan If ini.
Setelah launching di Taman Budaya Sumatera Barat, antologi ini akan didiskusikan di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin– TIM, Jakarta.
Sajak-sajak yang terhimpun dalam buku “Maling Kondang” antara lain ditulis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir (2001-2012).
Buku ini diantar oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Prof Dr Wahyu Wibowo dan Cunong Nunuk Suraja, lecture pada Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dengan testimoni/endorsmen kulit belakang oleh Suryadi Sunuri dari Leiden Universiteit dan Heru Emka salah seorang pengamat sastra Indonesia yang meninggal dunia awal Mei lalu.
Syarifuddin Arifin berharap dengan dibacanya buku puisi ini oleh politikus, praktisi hukum dan pejabat-pejabat, akan mampu berintrospeksi diri dan menyadari bahwa rakyat badarai ternyata banyak yang tidak suka dan muak melihat tingkah mereka.
“Rakyat sekarang butuh makan, pendidikan dan kesehatan mereka diperhatikan. Pejabat jangan hanya berwacana dan menakuti rakyat dengan isu-isu gempa dan tsunami yang dahsyat. Sementara bangunan baru di zone merah tetap didirikan sampai hari ini. (h/naz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar