dok.Indonesia mengajar
Jakarta Siapa sangka, dari sekian banyak jumlah guru di Indonesia, ternyata masih ada sekolah-sekolah yang tak mempunyai tenaga pengajar. Sebagian dari mereka bahkan terpaksa tutup karena tak ada guru. Untunglah, ada orang-orang yang peduli dan membuat gerakan Indonesia Mengajar.Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar, Hikmat Hardono menerangkan, gerakan ini didasari atas kebutuhan tenaga pengajar di daerah terpencil yang sangat kurang. Meski jumlah tenaga pengajar cukup banyak, namun penyebarannya tidak merata dan menjangkau daerah-daerah terluar di Indonesia.
"Data Kemendikbud, distribusi rasio guru-murid kita bagus. Data terbaru 1 berbanding 15, bandingkan dengan Korea Selatan yang 1 berbanding 30," ujar Hikmat saat berbincang dengan detikcom, Senin (25/6/2012).
"Tapi isu kita adalah distribusi, begitu menyangkut penyebaran menjadi tidak merata. 66 Persen sekolah di daerah itu kekurangan guru. 21 Persen sekolah di perkotaan kurang guru. Tapi jumlah guru secara nasional itu kelebihan 55 persen," sambungnya.
Dibentuk sejak tahun 2010 oleh rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan, gerakan ini terus mendapat tempat di hati masyarakat. Ada sekitar 19.500 calon tenaga pengajar yang mendaftar, namun tim baru menempatkan 242 orang setelah melalui seleksi ketat.
Mereka yang dipilih sebagai pengajar adalah para mahasiswa yang baru lulus, berprestasi tinggi, dan siap menjalankan tugas selama satu tahun di daerah terpencil untuk mengajar. Pihak panitia membiayai semua proses rekrutmen, pelatihan hingga operasional mereka di daerah.
Hingga saat ini, ada 16 provinsi di Indonesia yang sudah merasakan manfaat tim Indonesia mengajar. Mereka mengisi ruang-ruang kosong di sekolah dan memberi manfaat bagi para murid yang tidak terjangkau oleh para guru pada umumnya.
"Indonesia mengajar punya dua misi, mengisi kekurangan guru di daerah terpencil. Misi kedua menjadi tempat menyediakan media bagi anak-anak indonesia belajar ke daerah mengabdi selama satu tahun," terangnya.
"Ada 16 provinsi di Indonesia dari Aceh sampai Papua, kepuluan Sangihe, kabupaten Rondonuhu. Di Sangihe, kami bekerja di 8 sekolah, 8 pulau yang berbeda. Untuk di Kapuas Hulu daerah yang berbatasan dengan Malaysia, kami bekerja bukan di Putusibau, tapi naik lagi 8 jam perahu, jauh," sambungnya.
Menurut Hikmat, gerakan ini bukan untuk menyelesaikan masalah distribusi guru di Tanah Air. Namun lebih jauh dari itu, pihaknya berharap ada efek domino yang positif pada masyarakat lain agar mengikuti gerakan yang sama.
"Dan terbukti, sebagian menyampaikan gerakan-gerakan baru muncul. Misalnya ITB mengajar, UI mengajar, Solo mengajar, ada yang berbasis kampus, dengan pendekatan berbeda. Ada juga gerakan Kapuas membaca, atau Calistung," ceritanya.
Karena itu, Hikmat pun mengajak agar seluruh elemen masyarakat bergerak menyelesaikan persoalan pendidikan bangsa ini. Selama dilakukan dengan niat tulus ikhlas, dia yakin semua pasti berjalan.
"Kami datang tidak memberi uang. Tapi memberi tenaga pengajar. Insya Allah masyarakat pun bisa menerima dengan baik," tutupnya.
http://news.detik.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar