Pasangan suami istri (pasutri) M Rizal, 32, dan istrinya Juli Mardan, 32, paling berduka akibatgalodo (banjir bandang) menghantam Batubusuk, Kelurahan Lambungbukik, Kecamatan Pauh, Padang, Rabu (12/9) sekitar pukul 16.30 lalu. Dua buah hatinya, Najwa, 6 tahun, dan Safa, 18 bulan, serta dua orang kerabatnya meninggal tertimbun longsor.
Pandangan pria berkulit kuning langsat itu, tampak kosong. Ketika sejumlah handai tolan menyapa, hanya senyuman kaku yang sanggup dibalasnya. Namanya M Rizal, warga Bukit Ubi, Kelurahan Lambungbukit, Kecamatan Pauh ini baru saja mendapatkan cobaan. Dua dari tiga anaknya meninggal ditimbun longsor.
Sesekali dia menyeka air mata. Matanya terus menatap ke dalam rumah. Ya, di dalam rumah tersebut, terbujur dua jasad anaknya, Najwa dan Safa.
Dua jasad anaknya ini dibawa ke rumah saudara istrinya, Yuli Mardan, di Kototuo, Pauh. Dari pagi hingga sore kemarin (13/9), rumah duka silih berganti didatangi sanak saudara yang melayat. Di rumah tersebut juga disemayamkan Nila, 20, korban longsor lainnya. Nila merupakan anak kakak pertama dari Yuli.
Longsor itu menelan empat korban jiwa, satu lagi bernama Jamaris, 55. Jamaris merupakan suami dari kakak sulung Yuli yang bernama Warni. Sedangkan Nila merupakan anak dari Jamaris dan Warni. Tiga jasad itu disemayamkan di rumah duka di Kototuo dan dimakamkan di pemakaman kawasan itu.
Sedangkan dari informasi warga, Jamaris dimakamkan di Piai, Pauh.
Rumah M Rizal berada di lereng Bukit Ubi. Untuk mencapai kediaman kedua kakaknya ini, harus melewati lereng bukit yang cukup terjal. Kalau mengunakan sepeda motor, menempuh jarak yang lebih jauh karena harus memutar ke ujung Batubusuk. Jika berjalan kaki, bisa melewati jalan setapak dan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari keterangan Nurmilis, adik Yuli dan Warni, rumah dua kakaknya ini saling berhadapan.
Juli ditemui Padang Ekspres di rumah duka menuturkan, sejak pagi dia bersama suaminya M Rizal hanya berdiam di rumah. Mereka seakan malas berangkat kerja. Tidak ada firasat buruk dirasakan Emrizal maupun Juli, waktu itu.
Sekitar pukul 14.00, keluarga M Rizal pun makan bersama dengan ketiga anak-anaknya, Rayhan, Salwa dan Safa. Saat itu, hujan perlahan mulai deras mengguyur kawasan Batubusuk. “Saat hujan deras, kami sekeluarga sedang makan siang. Mendadak air masuk ke dalam rumah. Kemudian, anak-anak kami ajak pindah makan ke rumah pak eteknya (Jamaris),” ujar Juli sambil mengusap air matanya saat mengenang kejadian longsor.
Waktu itu, Jamaris tak enak badan. Hanya Nila menemani ketiga anaknya makan. Sedangkan Warni istri Jamaris, menghadiri rapat orangtua untuk anaknya yang bernama Silfianda yang bersekolah di SMKN 6 Padang.
Kemudian, Juli dan M Rizal minta izin kembali ke rumahnya untuk menyelamatkan beras dalam karung. Sekitar lima menit mengemas beras, terdengar suara gemuruh tanah dan bebatuan. Suara aneh itu memaksa M Rizal dan Juli untuk keluar rumah. Terlihat, rumah Jamaris sebagian bangunanya sudah mulai tertutup tanah. M Rizal pun langsung bergerak cepat bergerak menuju rumah, Jamaris.
M Rizal berupaya menyelamatkan anak-anaknya. Nahas baginya, dalam sekejap air bah menimbun rumah tersebut. Di waktu itu, M Rizal hanya sempat menyelamatkan Rayhan. Dari lokasi aman, Rayhan melihat adiknya Safa terbawa oleh air bercampur lumpur.
“Longsor itu terjadi dua kali. Longsor pertama saya tidak sempat menolong anak-anak di rumah Jamaris, dan berlindung di balik pohon durian. Setelah tanah tidak bergerak, saya mencoba kembali mendatangi rumah Jamaris untuk mengeluarkan anak-anak. Ternyata, suara dentuman keras memecah badan banda bakali di atas rumah Jamaris. Dengan cepat air mengalir deras membawa tanah dan bebatuan. Melihat tanah merayap cepat, saya pun pergi meninggalkan rumah Jamaris beserta anak-anak di dalamnya,” tutur Juli yang sudah menjadi yatim piatu itu.
Pemilik rumah yang berada di Bukit Ubi, Nurhayati menjelaskan, dia telah mengetahui tanda-tanda akan longsor, yaitu dari getaran. Selain itu, dia juga melihat ada rengkahan besar di kawasan itu. Makanya, dia mengajak sejumlah warga Bukit Ubi untuk mengungsi. Tidak lama setelah itu, tiba-tiba terjadi longsor menyapu rumah M Rizal dan Jamaris.
Hujan Deras
Di hari itu, sejak pagi hingga siang cuaca cerah di Batubusuk. Namun pukul 14.00, cuaca mendadak kelam dan mencekam ketika hujan deras mengikis tanah perbukitan. Sekitar pukul 17.00, jalan-jalan perkampungan sudah terendam air setinggi lutut orang dewasa. Airnya berubah menjadi kuning cokelat pekat.
“Kayaknya ada yang longsor ini, kok airnya berubah kumuh,” kata Mak Uniang, tokoh masyarakat Batubusuk di RT 01 RW 03.
Ternyata benar. Di RT 01, dua titik tanah perbukitan di atas perkampungan longsor dan menimpa dua rumah warga. Warga pun mulai panik dan mengungsi ke Kampus Universitas Andalas. Namun malang, air sungai Batubusuk menghadang warga. Di jembatan gantung yang dibangun sejak zaman Belanda itu, air bah sudah meluap setinggi jembatan. Suara gemuruh air serta dentuman batu yang menggulung di sungai semakin membuat suasana kian mencekam.
”Kami terpaksa mundur dan kembali ke rumah masing-masing. Sebentar lagi jembatan gantung mau ambruk,” teriak beberapa warga seperti diutarakan Mak Uniang.
Warga hanya bisa pasrah sembari siaga setelah dikepung ancaman galodo dan longsor. Ratusan pasang mata selalu memandang ke arah perbukitan. Sekitar pukul 18.00, rumah yang baru dibangun di sebelah kantor pemuda Batubusuk, perlahan bergeser hingga hilang ditelan longsoran tanah. Melihat hilangnya rumah tersebut, suara jeritan tangis warga pun pecah menambah suasana mencekam. Apalagi, listrik pun padam.
Selang 15 menit dari tertimbunnya rumah warga Batubusuk di RT 01, seorang warga lari tergopoh-gopoh memberikan kabar bahwa di RT 04 juga longsor. Banyak rumah yang hilang, mungkin juga orang hilang. Kabar itu menambah merinding warga yang masih berdiri di teras rumahnya masing-masing.
Kabar itu pun direspons sekelompok pemuda Batubusuk untuk memantau kondisi setiap perkampungan. Sekitar 2 km berjalan kaki, 10 orang pemuda disajikan dengan pemandangan yang memilukan. Atap rumah yang tertimbun longsoran terbawa ke jurang hingga 50 meter. Sebab, perkampungan RT 04 berada di atas ketinggan 70 meter dari Sungai Batubusuk.
Waktu itulah, Emrizal mengaku anaknya hilang ketika rumahnya digulung tanah longsor. Sontak para pemuda pun melakukan komunikasi kepada warga Batubusuk agar menambah personel untuk melakukan evakuasi di malam hari. Hingga pukul 03.00, Kamis (13/9), para pemuda menghentikan proses evakuasi karena peralatan dan penerangan tidak maksimal. Malam itu, warga berhasil menemukan dua korban, Jamaris dan Nazwa.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar