Aryo Wisanggeni G
Pentas komedi ”Nyonya-nyonya Istana” dihasratkan menjadi parodi dan satir para nyonya di sekitar pusat kekuasaan; Para nyonya di balik silang sengkarut para suami yang tak becus mengurus negeri.
"Pi, Papi,” seorang nyonya menteri terbirit-birit berjinjit dengan sepatu jinjit atawa high heels memasuki arena rapat terbatas para menteri kabinet Presiden Butet. Sang suami yang sedang melapor kepada kursi presiden yang kosong pun menoleh, ”Kenapa Mi?”
”Jangan lupa, sisihkan proyek buat perusahaanku ya,” kata si istri setengah kenes setengah judes. Si suami menyanggupi, lalu melanjutkan laporannya kepada kursi presiden yang kosong, dan si istri kembali kongko-kongko dengan para istri menteri lainnya.
Itulah salah satu adegan ”Nyonya-nyonya Istana” yang dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, 16-17 November lalu. Parodi satir tentang situasi politik yang selalu menjadi ciri serial pertunjukan Indonesia Kita.
Parodi dan satir tak perlu selalu banal dan tabrak langsung. Namun, memilih banal dan tabrak langsung, seperti yang dipilih sutradara ”Nyonya-nyonya Istana”, Hanung Bramantyo, pun sah-sah saja. Buktinya, penonton tertawa.
”Nyonya-nyonya Istana” dibuka dengan adegan yang mengingatkan kita kepada sesi foto bersama presiden dan para menteri tiap kali sebuah kabinet baru terbentuk. Presiden yang diperankan Butet Kartaredjasa dan para menterinya berdiri berjajar rapi di depan foto raksasa Istana. Bedanya, ”sesi foto” ini dilengkapi para istri menteri, para nyonya-nyonya istana.
Bukan sembarang nyonya karena pemeran para nyonya istana itu adalah para sosialita, mulai dari Amie Ardhini yang penyiar televisi hingga para pemilik galeri seni, seperti Vivi Yip dan Jais Hadiana Darga Widjaja. Ada pula tokoh seperti Flora Simatupang, Febriati Nadira, dan Cicilia King yang bergelut di dunia komunikasi massa. Kisah tentang para nyonya istana itulah yang dijanjikan bagi penggemar serial pertunjukan Indonesia Kita, serial program seni pertunjukan yang dimotori Butet Kartaredjasa,
Awalnya, Marwoto mengocok perut penonton dengan perannya sebagai menteri tua yang sedikit-sedikit meminta masker oksigen karena kehabisan napas. ”Baru dilantik, jangan terburu-buru menjadi almarhum ya,” ujar Butet, sang presiden menepuk-nepuk pundak Marwoto.
Butet memang menebar aura jenakanya, apa pun ujarannya membuat penonton tertawa. Juga pidatonya yang meniru aksen seorang tokoh politik, berikut pilihan kata sulit dan gerak tangannya yang ke mana-mana. Susilo Nugroho, sang protokoler, menegur. ”Tet, tanganmu,” kata Susilo menirukan gaya tangan Butet berpidato. ”Enggak usah gini-gini orang sudah tahu siapa yang kamu maksud,” kata Susilo memecah gelak penontonnya.
Modus
Susilo alias Denbaguse Ngarso memang terampil mengolah bahan komedi dengan peralihan dari dunia peran ke dunia nyata dan sebaliknya. Ia, misalnya, memarahi jurnalis Budiono Darsono karena melawak lebih lucu daripada lawan mainnya yang pelawak profesional. Saat guyonan panggung terlalu tajam menyindir pejabat tertentu, Susilo berlari meninggalkan panggung dan berteriak, ”Saya tidak ikut adegan itu, saya tidak mau masuk penjara.”
Memelesetkan bahasa tubuh, aksen, atau jabatan para pejabat publik Indonesia masih menjadi modus kelucuan lakon ini. Menteri-menteri Butet berjuluk ”Menteri In Follow” bertugas menghimpun pengikut lini masa akun sosial media istana Butet. Ada lagi ”Menteri BU Ember”, yang dicap tukang ngecap, atau ”Menteri Pol Kampungan”. Lambatnya alur perkenalan para menteri dan istri-istri mereka tak membuat penonton sepi dan diam.
Modus lain, tentu saja mengolok isu politik mutakhir, dan soal ini para aktor Indonesia Kita memang jago. Mulai dari isu grasi terpidana kasus narkotika, perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi versus Kepolisian Republik Indonesia, sampai soal tak munculnya Presiden Butet saat negerinya mengalami kegentingan, semua diolok di panggung.
Kelucuan keseleo lidah ala Srimulat, seperti Jais yang selalu keliru mengucapkan ”pariwisata” menjadi ”parawisata” masih jitu menggelitik tawa. Guyonan lawas mengolok fisik para pemain, mulai dari ”tubuh ceper” sampai ”rambut keset”, masih juga mengundang tawa. Jangan-jangan juga karena penonton kangen tertawa-tawa....
Tak muncul
Sayangnya, para nyonya istana yang menjadi tema sentral Indonesia Kita kali ini justru tak cukup hadir. Padahal, satir tentang para nyonya di balik kinerja para menteri yang salah mengurus negeri adalah garapan kisah yang kaya kemungkinan.
Parodi tentang bagaimana para nyonya istana mengacaukan kerja para suaminya mengurus negeri terjebak olok-olok sebuah kabinet pemerintahan yang menterinya takut istri. ”Itu terlalu dangkal dan mendomestifikasi persoalan negara,” ujar salah satu penonton, Erni Setyowati (38).
Erni termasuk penonton yang tidak nyaman dengan pilihan Hanung Bramantyo menghadirkan para waria di atas pentas. ”Banyak gurauan yang melecehkan mereka sehingga saya bingung mengapa waria dihadirkan. Awalnya, saya mengira mereka dihadirkan sebagai representasi kaum minoritas yang dibela. Yang paling saya nikmati, percakapan Butet, istrinya, dan sang protokoler istana yang memang cerdas dan menghibur,” ujar Erni.
Hanung Bramantyo, sutradara film itu, sejatinya bukan orang baru di dunia panggung dan teater. Kali ini ia mengakui sulit memunculkan kekenesan dan kemanjaan para nyonya istana di panggungnya. ”Tantangannya, memang bagaimana menyatukan para sosialita dan para komedian profesional di satu panggung. Menggarap komedi memang selalu susah, bahkan yang tersulit dari semua pertunjukan panggung. Namun, sebagai hiburan, kami rasa kritik dan pesan kami tetap ditangkap penonton,” ujar Hanung.
Dari seluruh seri Indonesia Kita, seri pertama ”Laskar Dagelan: From Republik Jogja With Love” masih jadi yang terbaik. Pertunjukan Maret 2011 itu tajam serta dalam menggarap tema keistimewaan Yogyakarta dan isu monarki inkonstitusional, serta seluruh banyolan dan lawakan hadir sebagai bumbu pelengkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar