KAMUS BAHASA MINANGKABAU-INDONESIA DITERBITKAN
Masyarakat Sumatera Barat (Sumbar) sebaiknya menggunakan Bahasa Minangkabau di keluarga, Bahasa Indonesia untuk keperluan formal dan bahasa asing terkait dengan kepentingan ilmu pengetahuan terapan dan sejenisnya. Hal ini sangat perlu untuk menjaga kelestarian Bahasa Minangkabau agar tidak punah di kemudian hari.
Demikian disampaikan Kepala Balai Bahasa Sumbar Syamsarul yang didampingi sastrawan Darman Moenir saat diskusi dengan awak redaksi Harian Haluan, Selasa (5/2) di ruang redaksi Harian Haluan. Diskusi seputar pentingnya melestarikan Bahasa Minangkabau itu diikuti Pemimpin Redaksi (Pemred) Haluan Yon Erizon, Kepala Litbang Eko Yanche Edrie, Redpel Syamsu Rizal, redaktur Rahmatul Akbar, Atviarni dan lainnya.
Pada kesempatan tersebut Kepala Balai Bahasa Sumbar Syamsarul juga menyerahkan Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia cetakan edisi kedua tahun 2012 kepada Pemred Haluan Yon Erizon. Syamsarul prihatin sejumlah bahasa daerah di Indonesia sudah punah dan banyak lagi yang diambang kepunahan. Padahal bahasa daerah tersebut adalah kekayaan besar bagi Indonesia.
Karena itulah Balai Bahasa melakukan beragam upaya untuk melestarikan bahasa daerah. Salah satunya adalah yang dilakukan Balai Bahasa Sumbar dengan menerbitkan Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia. Langkah lain yang cukup efektif untuk melestarikan Bahasa Minangkabau adalah dengan menggunakannya di dalam kehidupan keluarga sehari-hari.
Informasi yang dihimpun Haluan dari 742 bahasa daerah di Indonesia, hanya 13 bahasa yang penuturnya di atas satu juta orang. Artinya, terdapat 729 bahasa daerah lainnya yang berpenutur di bawah satu juga orang. Di antara 729 bahasa daerah, 169 di antaranya terancam punah, karena berpenutur kurang dari 500 orang.
“Peluncuran kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia edisi kedua ini terdiri 883 halaman. Dimana, dalam kamus itu, semua kosakata Bahasa Minangkabau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia,” ujar Syamsarul.
Syamsarul mengatakan seiring dengan laju modernisasi dan globalisasi, keberadaan bahasa daerah, khususnya Bahasa Minangkabau sudah sangat jauh terkesampingkan. Untuk melestarikannya, perlu kebijakan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Juga dijelaskan penerbitan Kamus Bahasa Minangkabau-Indonesia bertujuan memperkenalkan kekayaan kosakata Minangkabau kepada seluruh Bangsa Indonesia. Selain itu, bagi masyarakat Minangkabau, terutama generasi muda, kamus tersebut dapat menjadi rujukan dalam mengungkapkan khazanah peradaban Bahasa Minangkabau ke dalam Bahasa Indonesia,” ungkapnya lagi.
Pemimpin Redaksi Haluan Yon Erizon mengatakan, kosa kata Bahasa Minangkabau sudah banyak ditukar dengan kosa kata yang seolah-olah di-Indonesiakan, tapi pengertiannya jauh menyimpang, bahkan ada yang kehilangan arti sama sekali. Contohnya; Tabiang (artinya tebing) diubah menjadi Tabing. Sementara Tabing di dalam Bahasa Indonesia tidak mengandung arti sama sekali.
“Begitu juga dengan nama daerah Limapuluh Koto yang diubah dengan Limapuluh Kota, artinya sangat jauh berbeda,” kata Rahmatul Akbar menimpali. Eko Yanche juga mengatakan telah terjadi kesalahkaprahan ketika dulu ada yang mengubah nama daerah Aie Angek menjadi Air Hangat.
“Itu memang banyak terjadi. Sudah semestinya itu diubah kembali,” kata Syamsarul memberikan tanggapan.
Bahasa-bahasa yang tercancam punah tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, dan Papua. Antara lain bahasa Lom (Sumatera) hanya 50 penutur. Di Sulawesi Bahasa Budong-budong 70 penutur, Dampal 90 penutur, Bahonsuai 200 penutur, Baras 250 penutur. Di Kalimantan bahasa Lengilu 10 penutur, Punan Merah 137 penutur, Kareho Uheng 200 penutur.
Di wilayah Maluku bahasa Hukumina satu penutur, Kayeli tiga penutur, Nakaela lima penutur, Hoti 10 penutur, Hulung 10 penutur, Kamarian 10 penutur, dan bahasa Salas 50 penutur. Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif empat penutur, dan bahasa Saponi 10 penutur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar