Pengemis sudah menjadi masalah nasional. Pasca diamankannya pengemis kaya yang memiliki uang Rp25 juta dalam gerobak, aparatur pemerintah di berbagai daerah menggelar razia terhadap pengemis.
Hasilnya sangat mencengangkan karena ditemukan beragam tipe pengemis, seperti pengemis hebat, pintar dan mampu mendustai orang yang lalu lalang selama ini.
Dalam sebuah razia terhadap pengemis dan anjal (anak jalanan), petugas menemukan pengemis buntung yang memiliki kaki dan tangan lengkap, pengemis buta yang mampu melihat, pengemis lumpuh yang mampu berlari, pengemis sakit parah yang ternyata sehat-sehat saja.
Merekalah para pengemis hebat itu. Pengemis buntung sengaja melipat satu kakinya ke dalam celananya sehingga terlihat hanya memiliki satu kaki, sementara satu kakinya seperti habis diamputasi. Pengemis buta berusaha mengibuli petugas dan dermawan dengan kaca mata hitam dan sebuah tongkatnya, atau berperilaku sebagai orang buta benaran dengan sedikit memejamkan matanya.
Pengemis lumpuh terlihat menyeret tubuhnya dengan lambat laun atau dengan ditidurkan oleh orangtuanya di pinggir jalan atau di emperan toko.
Pascarazia dan penertiban sejumlah pengemis di berbagai kota, pembicaraan masalah pengemis sambung-menyambung di media massa, baik media cetak maupun media elektronik.
Beragam opini bermunculan, mulai dari yang menghalalkan sampai yang menyesalkan tindakan para pengemis ini. Yang jelas mereka adalah para pengemis hebat yang mampu meraup penghasilan puluhan sampai ratusan ribu per hari.
Besarnya penghasilan yang mereka dapatkan, mem buat para pengemis bertahan dengan profesinya. Penertiban yang dilakukan berkali-kali tidak membuat mereka jera. Bahkan upaya Dinas Sosial membina dan memulangkan mereka ke kampung halaman masing-masing tetap belum mampu menyelesaikan kusut masai masalah pengemis ini.
Mereka yang ditangkap di jalanan kembali ke jalanan setelah beberapa waktu kemudian. Mereka pun terlihat di lokasi yang sama. Bisa jadi, di kalangan pengemis berlaku aturan tidak tertulis dalam pembagian wilayah pengemisan.
Saat ini, pengemis bukan lagi masalah kota besar atau perkotaan, tetapi juga sudah menjadi persoalan kabupaten dan bahkan nagari. Pengemis tidak lagi berada di perempatan jalan dan menadahkan tangan kepada penumpang angkutan kota dan pemilik kendaraan roda empat ketika lampu lintas berwarna merah.
Mereka juga bukan hanya yang berada di emperan toko sambil duduk manis menunggu sumbangan, tetapi pengemis juga semakin hebat dan kreatif. Mereka melakukan jemput bola berjalan dari satu rumah ke rumah lain, dari satu kantor ke kantor lain.
Jika suatu kali mereka berhasil mendapatkan penghasilan dari rumah dan kantor, mereka akan kembali dalam beberapa waktu kemudian.
Mereka yang berjalan dari rumah ke rumah dan dari satu kantor ke kantor lain, juga termasuk pengemis hebat. Mereka tidak hanya membawa sebuah wadah untuk tempat uang, tetapi tidak sedikit yang mengatasnamakan pesantren, yayasan anak yatim, panti asuhan, atau seseorang yang menuntun penyandang cacat tunanetra.
Mereka yang membawa proposal tampil dengan penuh meyakinkan. Mereka melakukan presentasi sederhana di hadapan calon donatur atau penyumbang. Dijelaskan jika yayasannya sedang membutuhkan dana besar untuk kelanjutan pembangunan dan anak-anak yatim dari berbagai daerah.
Mereka butuh biaya pendidikan dna biaya sehari-hari. Kalau tidak kita siapa lagi yang akan membantu mereka. Karena itulah dengan rasa percaya diri penuh, sumbangan pun mulai dijalankan. Sumbangan yang terkumpul tidak dicatat sama sekali. Sebagian justru mencatatnya di kertas selembar, sehingga terkesan semua dana hasil mengemis akan dilaporkan kepada pemilik yayasan, yang entah di mana alamatnya.
Pengemis hebat memang semakin menjamur. Suatu hari di sebuah perkantoran, seorang pengemis hebat lainnya mengaku beri sebuah pondok pesantren dan sudah kelas IV. Datang mengemis untuk mendapatkan baju olahraga. Namun ketika ditanya di mana alamat pesantrennya, sang pengemis tidak bisa menjelaskannya dengan baik.
Karena pada alamat yang disebutkannya, ternyata tidak ada pesantren sama sekali. Begitu juga ketika diminta membaca Alquran, juga tidak bisa. Karena penasaran, beberapa orang lain di kantor tersebut, meminta pengemis hebat ini membacakan bacaan salat, juga tidak bisa. Ketahuanlah jika pengemis ini bukanlah berasal dari pesantren dan tidak sedang membutuhkan baju olahraga.
Pada kesempatan berbeda, pengemis hebat lainnya datang ke sebuah kantor pemerintahan. Pengemis inipun mengaku sedang mengumpulkan uang untuk membeli baju olahraga. Usianya baru sekitar 11 tahun. Ironisnya, ia mengumpulkan uang untuk mendapatkan baju olahraga pada jam sekolah. Pengemis ini juga mengaku datang dari sebuah yayasan.
Ketika dilihat selembar surat yang dibawanya, ternyata hasil fotokopi. Tidak ada tandatangan dan stempel asli, semuanya hasil fotokopi, kemudian dipress.
Melihat semakin hebatnya para pengemis, pemerintah mulai mengambil tindakan dengan menertibkan mereka. Dari hasil penertiban inilah terungkap kehebatan para pengemis. Ditemukan pengemis buntung yang memiliki kaki dan tangan lengkap, pengemis buta yang mampu melihat, pengemis lumpuh yang mampu berlari, pengemis sakit parah yang ternyata sehat-sehat saja, dan pengemis miskin yang memiliki uang jutaan rupiah.
Dibandingkan dengan lapangan kerja yang lain, mengemis memang termasuk salah satu lapangan kerja yang tidak membutuhkan gelar apapun dan ijazah dari lembaga manapun. Yang dibutuhkan adalah ketekunan dan kehebatan merekayasa kondisi yang ada.
Dibutuhkan langkah bersama dalam menanggulanginya. Menyerahkan permasalahan ini hanya pada pemerintah tampaknya tidak bisa mengakhiri permasalahan yang ada.
Masyarakat dan para penyumbang perlu juga ambil bagian dengan selektif dalam memilih pengemis. Namun yang lebih dibutuhkan adalah menyadarkan para pengemis itu sendiri, terutama para pengemis hebat yang mampu menipu pemberi sumbangan dengan rekayasa tingkat tinggi.
Bukan ini juga termasuk penipuan, yang bisa menjadikan penyumbang ternganga, terpana serta marah, dan merasa tertipu.
Mari kita coba untuk merenung sedikit, bagaimana mengakhiri dunia pengemisan ini. Mana tahu Anda memiliki cara jitu untuk mengakhirinya. Semoga! (*)
Dalam sebuah razia terhadap pengemis dan anjal (anak jalanan), petugas menemukan pengemis buntung yang memiliki kaki dan tangan lengkap, pengemis buta yang mampu melihat, pengemis lumpuh yang mampu berlari, pengemis sakit parah yang ternyata sehat-sehat saja.
Merekalah para pengemis hebat itu. Pengemis buntung sengaja melipat satu kakinya ke dalam celananya sehingga terlihat hanya memiliki satu kaki, sementara satu kakinya seperti habis diamputasi. Pengemis buta berusaha mengibuli petugas dan dermawan dengan kaca mata hitam dan sebuah tongkatnya, atau berperilaku sebagai orang buta benaran dengan sedikit memejamkan matanya.
Pengemis lumpuh terlihat menyeret tubuhnya dengan lambat laun atau dengan ditidurkan oleh orangtuanya di pinggir jalan atau di emperan toko.
Pascarazia dan penertiban sejumlah pengemis di berbagai kota, pembicaraan masalah pengemis sambung-menyambung di media massa, baik media cetak maupun media elektronik.
Beragam opini bermunculan, mulai dari yang menghalalkan sampai yang menyesalkan tindakan para pengemis ini. Yang jelas mereka adalah para pengemis hebat yang mampu meraup penghasilan puluhan sampai ratusan ribu per hari.
Besarnya penghasilan yang mereka dapatkan, mem buat para pengemis bertahan dengan profesinya. Penertiban yang dilakukan berkali-kali tidak membuat mereka jera. Bahkan upaya Dinas Sosial membina dan memulangkan mereka ke kampung halaman masing-masing tetap belum mampu menyelesaikan kusut masai masalah pengemis ini.
Mereka yang ditangkap di jalanan kembali ke jalanan setelah beberapa waktu kemudian. Mereka pun terlihat di lokasi yang sama. Bisa jadi, di kalangan pengemis berlaku aturan tidak tertulis dalam pembagian wilayah pengemisan.
Saat ini, pengemis bukan lagi masalah kota besar atau perkotaan, tetapi juga sudah menjadi persoalan kabupaten dan bahkan nagari. Pengemis tidak lagi berada di perempatan jalan dan menadahkan tangan kepada penumpang angkutan kota dan pemilik kendaraan roda empat ketika lampu lintas berwarna merah.
Mereka juga bukan hanya yang berada di emperan toko sambil duduk manis menunggu sumbangan, tetapi pengemis juga semakin hebat dan kreatif. Mereka melakukan jemput bola berjalan dari satu rumah ke rumah lain, dari satu kantor ke kantor lain.
Jika suatu kali mereka berhasil mendapatkan penghasilan dari rumah dan kantor, mereka akan kembali dalam beberapa waktu kemudian.
Mereka yang berjalan dari rumah ke rumah dan dari satu kantor ke kantor lain, juga termasuk pengemis hebat. Mereka tidak hanya membawa sebuah wadah untuk tempat uang, tetapi tidak sedikit yang mengatasnamakan pesantren, yayasan anak yatim, panti asuhan, atau seseorang yang menuntun penyandang cacat tunanetra.
Mereka yang membawa proposal tampil dengan penuh meyakinkan. Mereka melakukan presentasi sederhana di hadapan calon donatur atau penyumbang. Dijelaskan jika yayasannya sedang membutuhkan dana besar untuk kelanjutan pembangunan dan anak-anak yatim dari berbagai daerah.
Mereka butuh biaya pendidikan dna biaya sehari-hari. Kalau tidak kita siapa lagi yang akan membantu mereka. Karena itulah dengan rasa percaya diri penuh, sumbangan pun mulai dijalankan. Sumbangan yang terkumpul tidak dicatat sama sekali. Sebagian justru mencatatnya di kertas selembar, sehingga terkesan semua dana hasil mengemis akan dilaporkan kepada pemilik yayasan, yang entah di mana alamatnya.
Pengemis hebat memang semakin menjamur. Suatu hari di sebuah perkantoran, seorang pengemis hebat lainnya mengaku beri sebuah pondok pesantren dan sudah kelas IV. Datang mengemis untuk mendapatkan baju olahraga. Namun ketika ditanya di mana alamat pesantrennya, sang pengemis tidak bisa menjelaskannya dengan baik.
Karena pada alamat yang disebutkannya, ternyata tidak ada pesantren sama sekali. Begitu juga ketika diminta membaca Alquran, juga tidak bisa. Karena penasaran, beberapa orang lain di kantor tersebut, meminta pengemis hebat ini membacakan bacaan salat, juga tidak bisa. Ketahuanlah jika pengemis ini bukanlah berasal dari pesantren dan tidak sedang membutuhkan baju olahraga.
Pada kesempatan berbeda, pengemis hebat lainnya datang ke sebuah kantor pemerintahan. Pengemis inipun mengaku sedang mengumpulkan uang untuk membeli baju olahraga. Usianya baru sekitar 11 tahun. Ironisnya, ia mengumpulkan uang untuk mendapatkan baju olahraga pada jam sekolah. Pengemis ini juga mengaku datang dari sebuah yayasan.
Ketika dilihat selembar surat yang dibawanya, ternyata hasil fotokopi. Tidak ada tandatangan dan stempel asli, semuanya hasil fotokopi, kemudian dipress.
Melihat semakin hebatnya para pengemis, pemerintah mulai mengambil tindakan dengan menertibkan mereka. Dari hasil penertiban inilah terungkap kehebatan para pengemis. Ditemukan pengemis buntung yang memiliki kaki dan tangan lengkap, pengemis buta yang mampu melihat, pengemis lumpuh yang mampu berlari, pengemis sakit parah yang ternyata sehat-sehat saja, dan pengemis miskin yang memiliki uang jutaan rupiah.
Dibandingkan dengan lapangan kerja yang lain, mengemis memang termasuk salah satu lapangan kerja yang tidak membutuhkan gelar apapun dan ijazah dari lembaga manapun. Yang dibutuhkan adalah ketekunan dan kehebatan merekayasa kondisi yang ada.
Dibutuhkan langkah bersama dalam menanggulanginya. Menyerahkan permasalahan ini hanya pada pemerintah tampaknya tidak bisa mengakhiri permasalahan yang ada.
Masyarakat dan para penyumbang perlu juga ambil bagian dengan selektif dalam memilih pengemis. Namun yang lebih dibutuhkan adalah menyadarkan para pengemis itu sendiri, terutama para pengemis hebat yang mampu menipu pemberi sumbangan dengan rekayasa tingkat tinggi.
Bukan ini juga termasuk penipuan, yang bisa menjadikan penyumbang ternganga, terpana serta marah, dan merasa tertipu.
Mari kita coba untuk merenung sedikit, bagaimana mengakhiri dunia pengemisan ini. Mana tahu Anda memiliki cara jitu untuk mengakhirinya. Semoga! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar