Mantan koresponden pertahanan media Singapura Straits Times, David Boey, menyarankan agar kapal fregat milik Indonesia, KRI Usman Harun tidak diizinkan melintas di perairan Singapura. Menurut dia, apabila kapal sepanjang 90 meter itu diizinkan melintas, maka dikhawatirkan dapat membuka luka lama saat hubungan bilateral kedua negara tegang di tahun 1965 silam.
Dilansir dari harian Strait Times akhir pekan lalu, Boey mengatakan apabila kapal yang dijadwalkan tiba di perairan RI pada Juni 2014 itu dibiarkan melintas, malah akan membuat perhatian publik teralihkan dari kampanye aksi teror di daerah perkotaan di Indonesia ke tindakan serupa terhadap sebuah negara kepulauan selama perang konfrontasi. Kendati warga Singapura pada akhirnya bisa melupakan episode kelam dalam hubungan kedua negara di masa lampau, maka peristiwa memilukan itu, justru kembali menyergap mereka pada pekan lalu.
Bahkan secara frontal, Boey mengatakan bahwa warga Singapura sebaiknya tidak melupakan penderitaan, kesedihan dan pertumpahan darah akibat serangan teror yang berdampak terhadap keluarga korban di Negeri Singa itu. Menurut dia, apa yang dilakukan oleh kedua marinir Angkatan Laut, Harun Said dan Osman Haji Mohammed Ali merupakan kejahatan perang yang keji.
Dia menyebut, tidak ada satu pun anggota militer yang patut bangga atas perbuatan itu. Terlebih setelah melakukan aksi pengeboman tersebut, keduanya tulis Boey, kabur. Sehingga menurut dia, nama keduanya tidak layak disebut sebagai pahlawan dan disematkan di kapal perang.
Noda akibat tindakan pengeboman itu akan selalu dikenang publik, tatkala nama kapal tersebut disebut di setiap pelabuhan asing.
Selain menyarankan untuk tidak mengizinkan KRI Usman Harun melintasi perairan Singapura, Boey meminta AL Republik Singapura (RSN) sebaiknya secara sopan menolak semua latihan militer dengan kapal itu. Entah untuk latihan perang dengan kode sandi "elang" atau konferensi tentang angkatan laut dan industri maritim bernama IMDEX.
Bahkan Komandan RSN diharapkan tidak melakukan kunjungan kehormatan ke dek kapal tersebut. Menurut Boey bisa dibayangkan keanehan yang akan muncul di benak petinggi RSN ketika memasuki ruang petugas yang dilengkapi dengan foto kedua marinir TNI AL tersebut. Belum lagi ketika melihat nama keduanya menjadi saksi bisu kunjungan tersebut.
Menurut Boey, hak dan kedaultan setiap Pemerintah suatu negara untuk menamai kapal perang mereka dengan nama apa pun.
"Namun, juga menjadi hak kedaulatan bagi Pemerintah Singapura untuk menolak masuknya kapal yang justru akan kembali membuka luka lama," tulis Boey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar