Bambang
Bujang yatim piatu itu, melangkah ragu-ragu ke ruang redaksi Singgalang, Kamis (20/7). Lulusam MAN 1 Padang ini, diterima kuliah di IAIN Imam Bonjol. Ia telah “terdampar” di Padang sejak 2007. Tinggal di masjid, jadi garin dan guru mengaji. Subuh nan dingin, ia bangun. Ia pegang pangkal telinganya, lantas ia bagai Bilal bin Rabah, memekikkan suaranya, mengumandangkan azan subuh. Kalau diingat-ingat, jatuh ke dalam air mata. Yatim piatu, anak tungga babeleang ini merambah kehidupan sendirian. Walau masih ada saudara namun mereka juga hidup pas-pasan. Tak tahu harus mengadu kemana. Begitu benarlah nasib yang dialami Sefriadi, bujang asal Nagari Sisawah Sijunjung itu. Sefriadi, yang sebatangkara itu kini akan menatap masa depannya saat ia lulus dari seleksi masuk di IAIN Imam Bonjol Padang. Ia lulus di jurusan Muamalah Fakultas Syariah. Namun biaya Rp1,5 juta yang mesti disediakan untuk penebus bangku kuliah itu tak dipunyainya. Haruskah harapannya untuk mengubah nasib pupus. Selama ini, anak dari Johari (alm) dan Saruani (almh) ini ‘terdampar’ sejak 2007 lalu ketika ia akan masuk ke MAN 1 Padang. Saat itu ia ikut dengan seorang mahasiswa IAIN yang berasal dari kampungnya. Mereka berdua tinggal di Masjid A Muttaqin Pasar Baru. Hari-hari Sefriadi, selain bersekolah di MAN 1 Durian Tarung, ia mengisi harinya dengan mangajar di TPA di masjid itu. Dari hasil mengajar itu, ia memperoleh honor Rp300 ribu sebulan. “Untungnya makan sehari-hari dibantu jamaah masjid. Jadi honor dari mengajar TPA bisa untuk biaya sekolah dan ongkos angkot ke sekolah,” katanya. Uang Rp300 ribu itu jelas tak mencukupi. “Namun Alhamdulillah, saya bisa tamat MAN dan kini lulus di IAIN,” katanya. Sebelum ke Padang, ceritanya, ia pernah menakik getah untuk membantu ibunya yang ditinggal ayahnya sejak 1994. Saat ayahnya meninggal usia Sefriadi baru empat tahun. Sejak itu, praktis ibunyalah yang menjadi tumpuannya. “Untuk membantu ibu, saya sempat menakik getah saat saya SMP. Tapi itu tak lama karena ibu melarang dan menyuruh saya fokus belajar,” katanya. Saat tamat SMP 2007, seorang mahasiswa di kampungnya mengajak ke Padang. Dengan tekad yang bulat, waktu itu, ia memberanikan diri mengadu nasib ke Padang. Pada 2009, ibunya pun dipanggil Yang Kuasa. “Rasanya dunia sudah kiamat waktu ibu meninggal. Tapi saya membulatkan tekad, saya harus menjadi orang yang berhasil,” katanya. Namun apakah uang Rp1,5 juta untuk pendaftaran ulang yang terdiri dari uang semester, uang pratikum dan pendaftaran mahasiswa baru di IAIN Imam Bonjol akan menjadi penghalang cita-citanya. Jangankan uang sebanyak itu. Untuk mencukup kebutuhan sehari-hari saja rasanya sangat berat. “Saya berharap ada dermawan yang mau membantu melalui Singgalang. Semoga Allah membalas segala kebaikan yang diberikan kepada saya,” katanya. Rektor IAIN Imam Bonjol Prof. Makmur Syarif berjanji akan mencarikan beasiswa untuk anak pintar ini. Ia berharap ada pihak yang membantu untuk uang masuk. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar