Gebu Minang berawal dari temu wicara Presiden Soeharto dengan para petani Sumatra Barat pada puncak Pekan Penghijauan Nasional (PPN) di Aripan, Kabupaten Solok, tahun 1983. Ketika itu, seorang petani meminta kepada Presiden agar diberi bantuan sebuah traktor tangan (hand tractor).
Waktu itu Pak Harto (panggilan Presiden Soeharto) menjawab, kalau hanya untuk membeli traktor tak perlu bantuan presiden. Presiden justru mengingatkan, bahwa Sumatera Barat memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun daerahnya. Potensi itu ialah lebih kurang 3 juta perantau Minang yang ada di berbagai kota dan pelosok di Indonesia.
“Kalau setiap perantau Minang rata-rata menyumbang Rp1.000 (seribu rupiah) saja setiap bulan untuk kampung halamannya, berapa itu jumlah uang yang bisa terkumpul. Artinya ada Rp3 miliar. Coba dihitung, berapa banyak traktor yang bisa dibeli,” begitu kira-kira kata Pak Harto.
Gagasan Presiden Soeharto yang ramai diberitakan suratkabar daerah itu ketika itu sempat mengendap dan dilupakan selama beberapa tahun. Namun ketika Gubernur Sumatra Barat Hasan Basri Durin yang menggantikan Azwar Anas menghadap Presiden Soeharto pada awal masa jabatannya tahun 1987, Pak Harto yang ternyata tidak pelupa menanyakan apakah gagasannya tahun 1983 dulu sudah dilaksanakan.
Pertanyaan Pak Harto itu ditindak lanjuti Hasan Basri Durin dengan mengajak berembuk para tokoh Minang di tingkat nasional dan daerah, seperti Emil Salim, Harun Zain, dan mantan Gubernur Azwar Anas sendiri. Setelah itu, usaha untuk mewujudkan gagasan Pak Harto itu bergulir bak bola salju, menjadi diskursus, seminar, pertemuan-pertemuan. Pertama ditemukan nama untuk program tersebut, yaitu Gerakan Seribu (rupiah) Minangkabau yang disingkat Gebu Minang. Kemudian diadakan Musyawarah Besar (Mubes) Gebu Minang di Bukittinggi akhir tahun 1989 yang melahirkan Lembaga Gebu Minang pada tanggal 24 Desember 1989.
Mubes I Gebu Minang tersebut sungguh sangat memberikan harapan, karena diikuti oleh ratusan tokoh Minang di tingkat nasional maupun daerah, serta perwakilan para perantau dari berbagai daerah di Indonesia. Ada Emil Salim, Harun Zain, Azwar Anas, Bustanil Arifin, Hasyim Ning, dan melibatkan pula para cendekiawan dari berbagai perguruan tinggi di Sumatara Barat.
Sekalipun yang didirikan adalah Gerakan Seribu (rupiah) Minang, artinya mempunyai nuansa uang atau pitih, sesungguhnya yang dibangun dan digelorakan ketika itu adalah semangat solidaritas, semangat tolong-menolong di antara sesama orang Minang, gotong royong membantu rakyat dan nagari-nagari yang miskin dengan modal potensi perantau Minang yang cinta kampung halaman.
Sejak lama para perantau Minang sudah dikenal mempunyai “penyakit” cinta kampung halaman. Ini dibuktikan banyaknya kiriman wesel pos (uang) dari rantau untuk dunsanak mereka di nagari-nagari. Hanya saja, selama ini uang kiriman perantau itu lebih banyak digunakan untuk keperluan konsumtif. Yang ingin digerakkan oleg Gebu Minang adalah mentransformasikannya menjadi produktif. Menolong orang kampung bukan lagi dengan memberikan ikan, tetapi pancing. Itu konsepnya. Makanya, salah satu saluran yang dianggap mencapai cita-cita ideal itulah menjadikan uang kiriman perantau itu untuk modal mendirikan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) yang kemudian dikenal sebagai BPR Gebu Minang.
Belakangan, Gebu Minang sepertinya lari dari semangat dan idealisme awal tersebut. BPR Gebu Minang menjalankan praktek sama saja dengan BPR biasa, dimiliki beberapa orang, tujuannya adalah bisnis semata. Gerakan Seribu (rupiah) pun kemudian diganti menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya (disingkat Gebu juga) Minang yang kemudian tak jelas lagi arahnya. Bahkan terkesan Gebu Minang makin hari makin menjadi semacam wadah para elite orang Minang, kehilangan akar karena tak bersentuhan lagi dengan rakyat ‘badarai’. Juga telah kehilangan rohnya sebagai gerakan untuk membangun semangat tolong-menolong, gotong royong, dan kebersamaan untuk membangun kemandirian masyarakat Minang di nagari-nagari di seluruh Sumatera Barat.
Selain kehilangan roh, Gebu Minang juga telah mengalami kekacauan orientasi. Tidak jelas lagi tujuan dan kerjanya. Sehingga, kalau sekarang ditanya orang Minang di rantau maupun di kampung, kebanyakan tak lagi mengerti apa itu Gebu Minang.
Ironis memang. Andaikan saja Gebu Minang bisa berjalan sesuai cita-cita ideal ketika didirikan, lebih 21 tahun silam, niscaya jumlah penduduk miskin di Sumatera Barat akan jauh berkurang, anak-anak cerdas yang tak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi takkan ada lagi. Kenyataannya sekarang bagaimana? Saluang sajolah nan manyampaikan.
Karena itulah, ketika beberapa orang teman di rantau maupun di kampung masih menanyakan kepada saya, siapa sebaiknya calon ketua Gebu Minang mendatang, saya tak berselera untuk menjawab pertanyaan itu. Sebab, menurut hemat saya, dalam Mubes Gebu Minang yang digelar di Padang Panjang hari ini, soal siapa ketua atau siapa pengurus Gebu Minang, tidak lagi menarik untuk dibahas.
Hal yang penting menurut saya, adalah menjemput kembali cita-cita ideal Gebu Minang yang pernah amat populer itu. Bagaimana sesungguhnya cita-cita idealnya dulu dan apa yang sebenarnya menjadi roh gerakan tersebut, sesungguhnya lebih penting untuk dikenali dulu sebelum sampai kepada pertanyaan siapa yang sebaiknya memimpin Gebu Minang. Tanpa itu, barangkali pertanyaannya akan lebih kacau: masih perlukan Gebu Minang?
Kalau masih akan ber-Gebu Minang juga, ada baiknya kita bertanya kembali kepada para tokoh yang menggagas dan mendirikannya. Paling tidak, beberapa orang tetua itu masih ada seperti Emil Salim, Azwar Anas, Hasan Basri Durin, dan mungkin beberapa yang lain yang pernah terlibat pada masa 20 tahun silam.
Apakah memang Gebu Minang seperti ini (?) yang dulu mereka pikirkan, atau bagaimana sebenarnya.*
HASRIL CHANIAGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar