JAKARTA, HALUAN—Dalam waktu yang tak sampai sebulan, Universitas Indonesia melahirkan dua orang doktor yang berasal dari Ranah Minang dan dua bidang ilmu yang berbeda.
Pertama, Doktor Sastri Sunarti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya yang dilantik pada 22 Juni lalu dengan predikat sangat memuaskan. Kedua, Doktor Wijayantono, sumando rang Payakumbuh, dari Ilmu Kesehatan Masyarakat yang dilantik Jumat (8/7) kemarin pagi di kampus UI Depok, Jawa Barat. Juga dengan predikat sangat memuaskan.
Provendus Sastri Sunarti mempertahankan disertasinya tentang kelisanan dan keberaksaraan surat kabar dan majalah terbitan awal di Minangkabau (1859-1940an). Sedang provendus Wijayantono yang sudah menjadi PNS di Politeknik Kesehatan Padang ini mengangkat disertasi tentang model transmisi Filariasis (penyakit kaki gajah) berbasis wilayah pada ekosistem persawahan, perbukitan dan pantai di Kota Padang.
Doktor Sastri ditanyai tentang apakah bahasa lisan itu memang dimuat di surat kabar terbitan Minangkabau dan seberapa jauh pengaruhnya terhadap pembaca? Dengan tangkas, istri almarhum Prof. Amin Sweeney ini menjawab bahwa sebagian besar dari 167 penerbitan di Sumatera Barat menggunakan bahasa lisan. Antara lain pantun, gurindam dan hikayat.
Ada surat kabar dalam menyampaikan kritik dengan berpantun. Untuk mengumpulkan dana bagi perbaikan tali bandar pun berpantun. “Pantun adalah bahasa lisan orang Minangkabau,” katanya.
Kata peneliti pada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa ini, keberaksaraan orang Minang justru dimulai dari bahasa lisan tersebut. Namun dia tidak memastikan apakah dengan menyebarnya penerbitan surat kabar di Minangkabau tempo dulu menyebabkab banyak orang Minang yang terjud ke dunia usaha penerbitan buku, jadi sastrawan dan wartawan.
Alumnus Sastra Unand asal Pesisir Selatan ini diuji tujuh orang penguji yang diketuai Prof. DR. Riris Toha K. Sarumpaet.
Berbasis Wilayah
Sementara itu, Wijayantono dalam tesisnya mengatakan pada saat ini pengendalian penyakit kaki gajah masih terabaikan dan pengobatannya berbiaya mahal. Untuk itu perlu dilaksanakan elemntasi filariasis limfatik melalui program eleminasi berbasis wilayah berdasarkan ecidence based, dengan memperhatikan wilayah ekosistem sehingga didapat model transmisi filariasis limfatik berbasis wilayah dan aspek yang berpengaruh.
Dengan pola itu, kata Wijayantono, diharapkan diperoleh identifikasi faktor resiko dominan filariasis limfatik pada masing-masing ekosistem baik di pantai, persawahan dan perbukitan di wilayah endemis.
Filariasis limfatik ini disebabkan oleh parasit filaria wuchereria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori yang menyerang kelenjar dan pembuluh gatah beninh sehingga terjadi penyumbatan rongga limfatik.
Pada fase selanjutnya menyebabkan pembangkakan dan elephantiasis pada kaki. Penyebarannya melalui gigitan nyamuk culex, anopheles, aedes dan mansonia. Nyamuk ini bisa berpindak sejauh 12 KM namun penularan efektif terjadi pada jarak 1.679 meter.
Namun dalam penelitiannya, Wijayantono, SKM,Mkes ini Kota Padang, didapatkan ada perbedaan pola sebaran pada ekosistem persawahan (dengan pola sebaran cenderung random), pantai (cenderung reguler) dan di wilayah perbukitan (cenderung cluster).
Karena itu ia mengusulkan pengobatan massal dapat dilakukan dalam jarak 1.697 meter dari kasus filariasis pertama. Namun demikian, ia tetap menyarankan penelitian lanjutan untuk mengetahui biaya pengobatan massal. (h/sal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar