Kita perlu tokoh identifikasi. Terutama bagi generasi muda masa kini dan masa datang. Itulah refleksi peringatan HUT dan Peluncuran Buku 80 Tahun Bapak Letjen (Purn). Dr. (HC) Ir. H. Azwar Anas Dt. Rajo Sulaiman kemarin malam. Pak Azwar boleh dikatakan amat mumpuni sebagai tokoh Minang pada akhir abad ke 20 dan peralihan serta awal abad ke 21.
Beliau berpengalaman sebagai perwira tinggi TNI, Dirut PT Semen Padang, Gubernur Sumbar, Menteri Perhubungan, anggota Dewan Pertimbangan Agung, Ketua Umum PSSI. Orang tua dan tokoh Minang memegang gelar pusaka penghulu sukunya Dt. Rajo Sulaiman; Ketua Ormas Tarbiyah; Juru Dakwah atau Muballigh dan tentu saja menjadi pengabdi dan suri tauladan dalam keluarga, masyarakat, ummat dan bangsa dengan penuh keikhlasan.
Saya mengenal dari jauh Bapak Azwar sejak tahun-tahun awal beliau 4 dekade lalu ditugaskan sebagai Dirut PT Semen Padang yang sering berpidato di berbagai acara peringatan hari besar Islam di Padang. Lalu kami anak-anak muda waktu itu sudah merasa bahwa Bapak Prof. Harun Zain, Gubernur Sumbar masa itu sedang mengkader Pak Azwar sebagai Gubenur sesudahnya.
Kemudian saya tahu beliau dekat dengan ulama terkenal kita masa itu seperti Ketua MUI 1975 Buya HMD Dt. Palimo Kayo; Da’i Buya Rasyid Taher; tokoh spiritual Kolonel AM Ridhwan; belakangan dengan tokoh spritual Kadirun Yahya dan lainnya.
Di dalam pandangan subyektif saya Pak Azwar Anas sudah melanglang buana dalam jagat raya perjuangan fisik, intelektual dan spiritual membangun bangsa. Terbang dari satu tahap ke tahap berikutnya sebagai tokoh lokal dan nasional. Beliau dekat dengan kalangan seniman dan budayawan yang kala itu dilakoni oleh AA Navis, Chairul Harun, Miral Manan dan Rustam Anwar serta lainnya.
Sebagai intelektual-birokrat beliau bermitra diskusi dengan Mochtar Naim, Hendra Esmara, Mawardi Yunus, Thamrin Nurdin dan seterusnya. Saya menangkap pidato-pidatonya waktu itu penuh pesona, pendekatan sains dan spiritual dalam perspektif adat dan budaya Minang yang kental dan persuasif. Kesan itu saya tangkap karena sering ikut rombongan beliau ke seantero Sumbar dan provinsi tetatangga, sebagai aktivis Dewan Mahasiswa, KNPI, Kepala Staf Resimen Maharuyung, penulis media kampus dan lainnya.
Dalam khazanah intelektual saya, Pak Azwar rmembangun Sumbar dengan aura kepemimpinan struktural dan kultural. Apa yang saya maksud struktural di sini adalah Pak Azwar membangun Sumbar dengan menggunakan kerangka teori pembangunan nasional sebagai Gubernur (1977-1987). Secara ketat beliau mengikuti pola pembangunan nasional yang dilaksanakan di daerah mengikuti kerangka Garis Besar Haluan Negara (GBHN), Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang dijabarkan dalam setiap tahun anggaran dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Kerangka struktural nasional pembangunan nasional di Sumbar itu dilaksanakan dengan penuh disiplin dan teliti serta terukur, tearah dan terkendali, satu kesatuan dan meliputi semua bidang, sehingga Sumbar mendapatkan Anugrah Presiden Parasamya Purna Karya Nugraha Repelita III.
Sejalan dengan itu Pak Azwar melaksanakan pembangunan Sumbar bukan di awang-awang atau disiplin kaku dan mati. Inilah yang saya tangkap sebagai teori dan pendekatan kultural. Beliau melakukan pembangunan berbasis adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, bukan dalam jargon. Misalnya pendekatan nuansa keagamaan, bukan dalam makna konservatif seperti semata-mata mengaji atau kembali ke surau secara harfiah, tetapi menyatu dalam menggesa kemajuan fisik sejalan untuk kesejahteraan lahir dan kesentosaan batin. Membangun jiwa dan raga. Nuansa etika dalam napas Allah dan keikhlkasan. Kepemimpinan tigo tali sapilin tigo tunggu sajarangan, saiyo sakato bacarai kito cilako. Itulah antara lain yang saya ingat berulang-ulang diucapkannya dan melekat di kepala serta menjadi perenungan dan pelajaran baik.
Berkali-kali beliau berpidato tentang bagaimana membangun generasi akan datang dimulai dari anak-anak TK dan SD. Seingat saya beliaulah yang mula-mula menghimbau orangtua untuk melengkapi alat seragam sekolah anak-anak TK dan SD dengan napsack atau tas sandang yang nempel di punggung belakang seperti ransel tentara. Itu gunanya supaya anak-anak berjalan lurus ke depan, dada busung dan kelihatan gagah dan sehat, tidak membungkung-bungkuk atau seperti orang loyo. Napas lepas, pikiran lapang, kepala dingin dan hati tawaduk.
Setiap tempat fasilitas umum, sekolah, terminal dan pusat publik lainnya harus punya tempat ibadah atau musala sekaligus WC yang bersih dan dipelihara dengan rutin. Untuk yang satu ini, seingat saya sewaktu beliau menjadi Menhub, mewajibkan setiap terminal mobil dan terminal udara (Bandara) punya tempat ibadah dan musala tadi.
Terlalu banyak yang ingin saya sebut. Tetapi diujung refleksi ini saya ingin mengatakan satu lagi. Pendekatan kultural Pak Azwar dalam hal menjalin hubungan dengan semua tokoh agama, adat, cendekiwan, budayawan, wanita dan pemuda. Beliau amat komunikatif, intensif dan persuasif. Baik kepada yang di kampung maupun di rantau. Budaya ini sudah dimulai masa Pak Harun Zain. Di masa Pak Azwar, karena pembangunan sudah menampakkan hasil dan intensitasnya, keadaan itu terasa lebih mudah dan lebih tinggi frekuensinya karena berbagai kemudahan transporatsi dan komunikasi yang semakin meningkat dan lancar.
Berkumpullah pada kesempatan berbeda tokoh kita seperti Harun Zain, Hasyim Ning, Awaludin Yamin, Aminuzal Amin, Rusymin Nuryadin, Emil Salim, Buya HAMKA, Muhammad Natsir, Aisyah Amini, Ismail Hasan, Ahmad Tahir, Abdullah Kamil, Lukman Harun, Rusydi Hamka. Generasi di bawahnya Hasan Basri Durin, Syaafrudin Bahar, Fahmi Idris, A Latif, Muzani Sukur, Sotion Arjanggi, AA Navis, Nasrul Sidik, Basril Djabar, Kamardi Rais Dt P Simulie, Djufri Dt. Lubuak Sati, Nazif Lubuk, Zainal Bakar, Leon Agusta, Rusli Marzuki Saria, Wisran Hadi, Darman Moenir. Begitu pula sumarak sumando seperti M Yusuf Kalla, Hartarto, Muchtar Kusumatmadja, Muhammad Artakesuma dan seterusnya. Mereka kala itu sepertinya tumpah ruah dalam setiap silaturahim dan hajatan urang “awak” yang diadakan di Ranah atau di Rantau.
Sampai beberapa gubernur berikut, tradisi ini cukup intensif. Maka sentimen positif kampung dan rantau yang tinggi, kala itu terasa tanpa birokrasi namun lebih terkelola dengan cara tidak resmi. Begitu pula Gebu Minang, BK3AM, KMM, Imami dan organisasi kampung dan rantau tiap nagari yang booming, waktu itu seperti berada di pucak kulminasi gairahnya. Dan semua itu terkoneksi dengan baik oleh semua tokoh, dan tentu atas aura kepemimpinan struktural dan kultural seorang Pak Azwar Anas.
Beberapa dekade belakangan—kemarin malam—pada peringatan HUT dan Peluncuran Buku HUT 80 Pak Azwar, sepertinya panitia ingin melanjutkan tradisi itu. Suatu yang mungkin akan abadi dalam ingatan dan baik untuk refleksi identifikator generasi pelanjut.
SHOFWAN KARIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar