Dua tahun lalu seperti masa yang pendek. Sore, Rabu 30 September 2009. Gemuruh lindu menggetarkan sendi-sendi rumah. Bumi bergoyang. Ribuan bangunan hancur. Dan ribuan orang juga meninggal.
Enam hari lagi tepat 30 September persis sudah. Dua tahun sudah lindu itu berlalu. Sebagian besar warga yang rumahnya rusak, sudah memperbaikinya kembali. Jika punya dana yang cukup banyak, rumah sebentar saja sudah berdiri mantap.
Jamak memang bangunan telah kukuh berdiri lagi di Kota Padang dan kota-kota lainnya di Sumatera Barat. Pemerintah pun menggulirkan bantuan dana untuk memperbaiki rumah warga sesuai tingkat kerusakannya.
Kendati demikian, tak semua tersentuh bantuan. Tak semua pula korbanh gempa bisa membangun kembali rumahnya.
Adalah Muliadi bersama keluarganya yang sampai kini belum bisa membangun rumahnya karena memang tak mampu. Ia miskin. Setelah dua tahun rumahnya rusak akibat gempa, selama itu, pulalah pria berusia 38 tahun ini tinggal di pondok kecil yang berada di samping rumahnya. Ia tinggal di RT 03 RW 06 Keluraha Sungai Sapieh Kecamatan Kuranji Kota Padang.
Pondok berukuran 2x2 meter ini, sebelum gempa, digunakan untuk beternak ayam. Kandang tersebut mereka tutup dengan spanduk yang terbuat dari kain dan dialas dengan tikar yang terbuat dari daun pandan.
Di pondok bambu itulah Muliadi bersama istrinya, Yuni (37), menetap dan tidur. Begitu pun dengan tiga orang anaknya. Anaknya yang paling besar sekarang masih duduk di bangku SD. Anak keduanya juga. Sementara anak ke tiganya belum sekolah.
“Hanya inilah rumah yang mereka punya sekarang. Harus bagaimana lagi, rumah kami yang dulu tidak bisa lagi ditempati. Kondisi sangat memprihatinkan dan berbahaya,” kata Muliadi.
Rumahnya itu sekarang seperti puing-puing reruntuhan yang masih menggantung. Kondisi itu sangat membahayakan. Sekilas ketika Haluan menjajaki rumahnya ke dalam, ada rasa khawatir yang sangat, seolah-olah puing tersebut akan runtuh dan menimpa kepala yang bisa mengancam nyawa.
Namun ketika diperhatikan, Yuni masih leluasa untuk beraktivitas dalam rumah tersebut. Meski tidak dipakai lagi untuk tidur, rumah yang berukuran sekitar 6 kali 8 meter itu, dimanfaatkan Yuni sebagai dapur dan tempat mandi, ganti baju dan memajang jemuran.
Bantuan Gempa
Rumah Muliadi termasuk rumah yang ditinggalkan oleh pengelola bantuan gempa soal pendataan. Rumahnya tidak dimasukkan oleh RT setempat ketika melakukan pendataan awal. Pada saat pencairan dana bantuan gempa tahap pertama pascagempa 30 september 2009, ia tidak kebagian. Padahal kalau dilihat dari kerusakan rumahnya yang begitu parah, Muliadi seharusnya termasuk orang yang pertama kali untuk dibantu. Rumahnya yang bernilai sekitar Rp50 juta itu benar-benar hancur (rusak parah).
“Rumah saya memang disengaja tidak didata oleh ketua RT setempat, karena semasa kepemimpinan ketua RT saya cukup vokal membantah program-program RT yang tidak sesuai dengan hati nurani saya,” kata Muliadi yang juga merupakan sekretaris RT itu.
Hingga pada pencairan dana gempa tahap dua pada, awal 2011 kemarin, rumahnya masih belum didata. Muliadi hal ini sudah sangat keterlaluan. Masa ia sudah dua kali pendataan korban gempa ia masih ditinggalkan juga. Ia keluduan memberontak dan mengajukan protes kepada Lurah setempat hingga akhirnya sang RT diberhentikan dari jabatannya. Akhirnya rumahnya didata juga oleh Faskel.
Muliadi menerima bantuan pada pencairan tahap kedua itu. Rumahnya termasuk rusak berat 50 persen pertama ia menerima Rp7.500.000. Namun 50 persen kedua ia tidak menerima lagi. Padahal uang 50 persen pertama itu sudah ia belanjakan untuk kebutuhan pembangunan rumahnya. Tapi Faskel tidak datang-datang lagi untuk mempertanyakan pertanggungjawaban keuangannya.
Maka dari itu, Muliadi belum bisa memulai pembangunan rumahnya. Bahan Bangunan sudah menumpuk di depan rumahnya. Hanya saja uang untuk menggaji tukang belum ada. Dana 50 persen kedua itu belum ia terima hingga sekarang. Padahal sekarang sudah mulai pula Faskel baru mendata rumah-rumah warga untuk pencairan dana gempa tahap tiga.
“Faskel pencairan dana gempa tahap tiga juga tidak bisa dimintai keterangan tentang sisa dana yang saya terima. Persoalan sisa dana tahap dua adalah tanggung jawab Faskel yang lama. Sementara Faskel yang lama tersebut telah hilang entah kemana,” ujar Muliadi.
Untuk pencairan 50 persen kedua, Muladi juga sudah mencoba menjajakinya ke PJOK Kota padang bahkan juga PJOK Provinsi. Dnamun ketika didatanginya kekantor masing-masing, dua pejabat tersebut selalu tidak ada. Hingga akhirnya mUliadi sekarang telah tampak pasrah saja dengan kondisi yang ia terima. Apakah sisa dana bantuan untuknya akan ia terima atau tidak terserah saja. Muliadi tidak begitu memikirkannya. Sekarang ia terpaksa tabah saja untuk hidup di pondok deritanya hingga ia mendapatkan uang untuk membangun rumahnya lagi. (h/dfl)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar