Pengukuhan atau melewakan 42 orang pengulu pucuk pimpinan suku-suku di Nagari Magek, Agam kemarin terasa memiliki kesan tersendiri karena (meskipun diwakili) acara itu diisi dengan pidato Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD.
Ada hal yang patut jadi pemikiran mendalam bagi kita semua dari pidato Mahfud yang dibacakan oleh Sekjen MK, Janedjri M. Gaffar. Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan sangketa adat tak perlu sampai ke tingkat pengadilan negara penyelesaiannya, cukup pada tingkat masyarakat adat/kaum atau nagari.
Apa yang menjadi pertimbangan kita untuk mengajak semua pemangku kepentingan di lembaga adat terhadap harapan Mahfud MD itu? Tak lain karena itu aalah harapan lama yang kadang sudah kita lupakan sama sekali. Bahwa perkara-perkara terutama perdata, sebaiknya memang diselesaikan di tingkat kaum saja. Atau paling tinggi di tingkat Kerapatan Adat Nagari saja.
Seyogianya, dengan bertambahnya jumlah datuk atau pangulu, tentu bertambah pula kemampuan lembaga adat di Magek dalam menegakan hukum adat sesuai pedonam “adat salingka nagari, pusako salingka kaum” (adat selingkar nagari, pusaka selingkar kaum).
Berperannya pangulu dan lembaga adat harapan dapat menjaga dan mengefektifkan penyelesaian sengketa adat, sebagai dalam petatah Minang “Bajanjang Naik, Batanggo Turun (Berjenjang naik, bertangga turun).
Di Sumatera Barat sudah bersuluh matahari dan bergelanggang mata orang banyak bahwa kita sudah menerapkan gerakan Kembali ke Nagari. Itu artinya, segala tatanan kemasyarakat yang selama ini menyatu dengan keberadaan nagari tentu mesti ditegakkan dan diterapkan.
Gerakan Kembali ke Nagari semestinya sudah berdampak kepada nagari-nagari tidak saja menjadi kesatuan masyarakat hukum, tapi juga sebagai basis pemerintah negara terdepan dalam pelayanan ke masyarakat.
Karena itu pulalah, masyarakat adat Sumbar telah kembali sesuai dengan perkembangan masyarakat dan keutuhan NKRI sebagaimana di isyaratkan konstitusi. Konstitusi memberi penghargaan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, nilai-nilai budaya sebagai hak konstitusional warga negara.
Sebagaimana ketentuan dalam pasal 28 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bawah identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Kita juga menyambut gembira pernyataan berupa apresiasi yang tinggi dari Ketua MK terhadap hukum adat Minangkabau. Ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu siap menjadi lembaga masyarakat hukum adat dalam menjunjung hak-hak konstitusionalnya.
Sekarang kewenangan MK belum termasuk pengadilan untuk pengaduan hak konstitusional, namun kewenangan untuk Pengujian Undang-undang (PUU).
PUU dapat dijadikan salah satu wadah bagi warga negara yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh undang-undang. Masyarakat hukum adat, termasuk salah satu subjek yang mempunyai “legal standing” untuk mengajukan permohonan pengujuan UU ke MK.
Selain itu, hukum adat juga berkedudukan sebagai hukum positif (hukum berlaku) dalam negara kita. Hal itu dapat dilihat, misalnya dalam ketentuan pasal 5 UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dimana hak ulayat juga diakui kebedaraan sebagaimana dalam pasal 3 UUPA.
Ada harapan besar dari seorang Ketua MK yang bukan orang Minang, kenapa kita tidak tangkap harapan itu? Salah satu harapan Mahfud yang dilontarkannya kemarin itu adalah
Himbauan untuk ‘merawat’ hukum adat ini dengan baik agar keberadaannya mampu berkonstibusi bagi tegaknya hukum dan keadilan di negeri tercinta ini. Kata ‘merawat’ di situ tentu saja tidak diterjemahkan dengan pengertian bahwa adat itu sakit sehingga perlu dirawat. Tentulah yang dimaksud ‘merawat’ di situ oleh Mahfud dalah menjaga kelestariannya sambil terus menyempurnakannya jika perlu.
Simaklah harapan Mahfud itu: “Buktikanlah, bahwa hukum adat kita, mampu memberikan rasa aman kepada masyarakat. Buktikanlah lembaga adat kita mampu menegakan hukum dan keadilan serta menyelesaikan sangketa masyarakat adat sendiri”
Hukum adat adalah salah satu dari harta budaya kita yang berharga di Sumatera Barat, jika seorang Mahfud MD yang lahir di Madura dan besar di Yogya itu saja sangatcare dengan pelestarian hukum adat, kenapa kita yang nyata-nyata sebagai user hukum adat itu sendiri menyia-nyiakannya?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar