Bagaikan disambar petir di siang bolong, ternyata kehidupan malam di Padang sama dengan di Jakarta. Betapa tidak, di Fellas Cafe, ditemukan dua wanita penari telanjang. Penari itu ternyata urang awak pula. Ranah Minang seakan ditelanjangi dengan peristiwa itu. Selama ini, kita mengangung-agungkan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, tari telanjang itu seakan menampr kita semua. Norma-norma di masyarakat Minang, seakan diludahi. Berat memang tamparan ke Ranah Minang akibat tari telanjang bulek itu. Kita semua seakan tak percaya. Lagipula, menurut pengakuan pelaku, ternyata sudah tujuh bulan mereka menjalani profesi itu di Padang. Kota Padang yang selama ini mengagungkan asmaul husna, subuh mubarakah, wirid remaja sebagai upaya membentengi moral generasi muda terhadap perubahan zaman, menjadi ternoda oleh dua penari telanjang yang mengaku bernama Silvi dan Novera. Pemko Padang harusnya merasa ditampar dan dipermalukan. Untuk itu, diperlukan penegakan hukum yang tegas. Penari harus ditindak, berikut pemilik kafe. Indonesia memiliki undang-undang pornografi dan porno aksi. Penegakan hukum tak cukup dengan mencabut izin kafe maupun tak akan memperpanjang izin. Ketika Ariel Peterpan merekam adegan mesum lewat telepon genggam, dia divonis penjara. Sementara kasus di Padang, terang-terangan pelaku mempertontonkan adegan porno. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak memberlakukan undang-undang pornografi itu. Terlalu mahal taruhan bagi penegak hukum dan Pemerintah Kota Padang bila tidak bertindak tegas. Masyarakat akan memberikan penilaian negatif terhadap pemerintah maupun penegak hukum, bila masalah tari telanjang itu dianggap persoalan kecil. Persoalan moral dewasa ini, sudah memprihatinkan. Bila tak ada upaya sungguh-sungguh menindak pelaku maksiat, alamat akan menjadi-jadi perbuatan serupa di masa mendatang. Oleh karena persoalan tersebut menyangkut harga diri masyarakat, memang tak seharusnya ada toleransi terhadap mereka yang bersalah. Hukum harus ditegakkan, siapapun yang turut serta harus ditindak. Orang Minang pasti tersinggung ketika kampung halaman dinodai. Mereka yang berada di perantauan juga kecewa berat dan tak menyangka kalau di Padang ada hiburan yang melewati batas. Kita semua memang harus introspeksi diri. Kita selama ini terlalu larut dengan kebiasaan berbasa-basi. Kita merasa paling beradat dan mengklaim lebih baik. Kebiasaan berbasa-basi itu, tidak didukung oleh tindakan nyata. Para ninik-mamak dan ulama di Ranah Minang, harus berbuat lebih nyata lagi dalam menjaga generasi muda dari kemerosotan moral. Globalisasi mengakibatkan perubahan dalam banyak hal, termasuk perilaku. Lembaga pendidikan juga harus mengutamakan nilai-nilai moralitas. Jangan abaikan tiap ancaman perubahan yang bisa berakibat rusaknya mental. Noda yang ditorehkan lewat tari telanjang, menjadi tanggungjawab bersama dalam menyelamatkan generasi. Malu kita dengan orang lain, karena di tanah kita ada noda.(*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar