FACHRUL RASYID HF
Pelantikan pejabat Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumbar, Ismail Usman, oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di Jakarta Senin (24/10) sebagaimana diberitakan Harian Singgalang, Rabu (26/10), tidak dikoordinasikan, tak diketahui Gubernur Irwan Prayitno. Kejadian itu merupakan tamparan terhadap Gubernur Irwan Prayitno. Maklum, secara adat pelantikan pejabat tersebut termasuk melanggar adat, bak rang sumando naik ke rumah gadang dan menghuni tanah pusako tanpa setahu, tanpa seizin dan restu ninik mamak/ penghulu tungganai rumah gadang. Padahal semua tindakan sumando di tanah pusaka itu mesti setahu dan seizin ninik mamak. Pengangkatan dan pelantikan Kakanwil Kemenag yang tak dikoordinasikan dengan Gubernur selaku wakil pemerintah di daerah, jelas melanggar ketentuan. Yaitu melanggar PP No. 19 Tahun 2010 tentang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah di Wilayah Provinsi. Pasal 3 ayat (1) huruf (a) PP No. 19 Tahun 2010 tegas dinyatakan, Gubernur selaku wakil pemerintah berwenang melaksanakan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan antara pemerintah daerah provinsi dengan instansi vertikal, dan antarinstansi vertikal di wilayahnya. Kemudian pasal 4 huruf (h) menegaskan implementasi kewenangan tersebut. Isinya: Gubernur memiliki wewenang melantik kepala instansi vertikal dari kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian yang ditugaskan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Tapi, entah kenapa, Menteri Agama tampaknya mengabaikan PP 19 Tahun 2010 sehingga semua Kakanwil Kemenag yang baru dilantik sendiri di Jakarta. Ternyata, persoalannya bukan cuma pelantikan. Seperti diberitakan, Ismail Usman diketahui Wakil Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama Prof. Dr. Duski Samad, dosen IAIN Imam Bonjol dan Drs. H. Salman Memet, Kepala Bagian Tata Usaha Kanwil Kemenag Sumatera Barat. Dua nama terakhir menjabat Ketua dan Wakil ketua Majelis Pakar Wilayah PPP. Hal itu jelas terbaca pada lampiran Surat Keputusan (SK) DPP-PPP No. 265/SK/DPP/W-III/20011 yang diteken Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali, tanggal 10 Maret 2011. Hal ini tentu akan menjadi perkara hukum karena Ismail, Duski dan Salman Memet pegawai negeri sipil (PNS) aktif. PNS dilarang terlibat jadi anggota dan atau pengurus partai politik. Maka, ketiganya dianggap melanggar pasal 3 ayat (3) UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan pasal 2 ayat (1) PP 37 Tahun 2004 Tentang Larangan PNS jadi anggota/pengurus partai politik. Perbuatan itu juga melanggar PP No 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS dan Peraturan Kepala BKN Nomor 21 Tahun 2010. Gubernur, sesuai pasal 15 ayat (1) huruf (a) PP No. 19/2004 berwenang melakukan pengusutan untuk kemudian mengusulkan pemecatan melalui Menteri Dalam Negeri. Bantahan Pejabat Sekretaris DPW-PPP Sumatra Barat, Zamhar Baheran, sebagaimana dikutip Singgalang dan Padang Ekspres, terkesan kurang logis. Katanya, nama Ismail Usman hanya dimasuk-masukkan saja. Bantahan Ismail Usman sendiri juga kurang logis. Ia mengaku tak tahu menahu namanya dicantumkan di jajajaran pengurus PPP itu. Padahal sebuah SK, apalagi diterbitkan DPP sebuah partai, pasti berimplikasi hukum, politik dan kredibilitas. Jika benarlah jawaban Zamhar, nama seseorang dimasuk-masukkan saja dalam SK pengukuhan pengurus partai, tentulah SK itu dibuat begitu enteng dan terkesan mainan. Jika Ismail benar tak tahu namanya dicantumkan dalam SK tersebut, logikanya ia mestinya dari semula ia menuntut DPP-PPP atas tuduhan pencemaran nama. Sebab, sebagai pejabat yang hampir pensiunan mustahil ia tak menyadari kehadiran namanya dalam daftar pengurus partai bisa berisiko pemecatan secara tak terhormat dari PNS. Artinya, penyelesain persoalan tentu tak cukup hanya dengan pembatalan SK. Gubernur Irwan Prayitno tentu tak perlu menyoal sah tidaknya SK tersebut. Sepanjang memenuhi syarat formal, secara hukum SK tersebut pastilah benar. Yang ditunggu masyarakat kini adalah tindakan apa yang akan diambil Gubernur Irwan Prayitno. Kabarnya Gubernur Irwan cukup geram. Kecuali membaca koran, secara resmi ia mengaku belum pernah diberitahu pelantikan Ismail Usman. Menyadari kejadian itu sebuah pelanggaran, Gubernur Irwan bersama lima gubernur di Indonesia yang kebagian Kakanwil Kemenag baru, kabarnya bersepakat mengajukan surat penolakan (menerima pejabat Kanwil Kemenag) kepada Menteri Agama melalui Menteri Dalam Negeri sesuai ketentuan PP No. 19 Tahun 2010. Surat penolakan juga dikirimkan ke Mensekneg, Menpan, Kepala BAKN. Tindakan tegas Gubernur tentu saja dinantikan sebagian masyarakat. Soalnya, ini bukan kejadian pertama. Sekitar Mei 2000, Gubernur Sumatra Barat, kala itu, Zainal Bakar, juga menunda pelantikan Dalimi Abdullah, saat itu, sebagai Kakanwil Depag hingga tiga bulan lebih karena pengangkatan Dalimi tak dikoordinasikan dengan gubernur. Seharusnya kasus serupa tak terulang. Meski urusan agama (kementerian Agama) satu dari enam urusan yang belum diserahkan pemerintah kepada pemerintah (otonomi) daerah, namun dalam konteks pemerintahan, apalagi adanya PP No. 19 Tahun 2010, Kanwil Kemenag tak bisa berjalan sendiri. Semua kegiatan dan program Kemenag di daerah, membangun madrasah misalnya, mustahil terlaksana tanpa koordinasi dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Apalagi mengurus haji. Meski urusan ini sepenuhnya kewenangan Kemenag namun pembangun embarkasi haji, asrama haji dan segala sesuatu yang diperlukan, termasuk air leding, tetap jadi urusan pemprov. Karena itu, sebagai kementerian yang mengurusi agama, selayaknya para pejabatnya lebih taat peraturan dan undang-undang berlaku dan lebih mengedepankan moral dan etika dalam berpemerintahan. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar