KOMPAS/AGUS SUSANTOSeorang anak melintas di samping becak yang dipersiapkan untuk transportasi ajang SEA Games XXVI/2011 di kompleks olahraga Jakabaring, Palembang, Sumatera Selatan, Sumatera Selatan, Kamis (10/11/2011). Becak, sepeda, angkutan kota dan bus berbahan bakar gas menjadi angkutan di kompleks olahraga Jakabaring selama SEA Games XXVI/2011.
TERKAIT:
PALEMBANG, Jika di Thailand dan Kamboja ada tuk-tuk, di Filipina ada kalesa, di Indonesia ada becak. Maka, becak pun membawa atmosfer Indonesia di Jakabaring Sport City, Palembang, Sumatera Selatan, lokasi perhelatan SEA Games XXVI/2011.
Ada 325 becak berikut pengayuhnya dikontrak untuk transportasi di kompleks Jakabaring pada 9-22 November atau selama 14 hari. Honor mereka Rp 200.000 per hari. Kehadiran becak memudahkan mobilitas dan ”katanya” untuk kampanye anti-pemanasan global.
Selain becak, kendaraan yang diizinkan masuk Jakabaring adalah kereta angin alias sepeda dan mobil angkutan kota berbahan bakar gas. Kampanye ini sungguh ideal jika tidak dikotori sejumlah petugas dan panitia SEA Games yang nekat membawa masuk mobil dan motor mereka. Go green yang setengah hati.
Tanpa kendaraan di dalam kompleks, perlu tenaga luar biasa untuk berjalan kaki dari arena yang satu ke arena yang lain. Jarak dari tempat parkir ke pintu gerbang sekitar 1 kilometer. Jarak dari gerbang ke Gelora Sriwijaya sekitar 300 meter. Jarak dari Gelora Sriwijaya ke arena renang dan atletik sekitar 500 meter. Alhasil, becak menjadi kebutuhan sangat penting di kompleks Jakabaring.
Selama perhelatan, kebutuhan akan alat transportasi beroda tiga itu berjumlah 325 becak, sesuaibudget panitia. Jadi, panitia pun perlu mengadakan seleksi menjadi ”pengayuh becak SEA Games Jakabaring”. Panitia memilih para pengayuh becak berstamina bagus dan memiliki becak sendiri. Becak-becak itu kemudian mendapat modal pasokan cat berwarna kuning, hijau, dan biru sehingga semua becak yang hilir mudik di arena SEA Games tampak bersih dan rapi.
Menurut N Yudi Abdurahman, Koordinator Becak se-Palembang, becak-becak itu menjadi transportasi atlet, ofisial, penonton, juga siapa pun di dalam kompleks Jakabaring. Mereka menempati beberapa pangkalan dekat arena-arena pertandingan. Setiap kali selesai mengantar, mereka harus segera kembali ke pangkalan asal.
”Honornya berbeda, Rp 200.000 untuk pengayuh becak dari Seberang Ulu dan Rp 100.000 untuk pengayuh becak dari wilayah Ilir, Palembang,” kata Yudi. Honor itu, kata sejumlah pengayuh becak, masih dipotong pajak.
Muhammad Efendi (35) adalah salah satu pengayuh becak yang lolos seleksi. Seperti layaknya pemenang kontes idol-idolan, Efendi bertutur, ia tidak menduga terpilih. ”Saya terkejut ditawari pekerjaan ini dan tidak menyangka bisa terpilih. Ya, pasti senang, bisa dapat uang lebih banyak dan tidak pusing mikir dapat penumpang berapa,” ujarnya.
Efendi yang sehari-hari mangkal di Sekta V, 4 Ulu, Palembang, juga tidak harus memikirkan soal makan karena selama jam tugas, mulai pukul 09.00 sampai pukul 21.00, semua pengayuh becak mendapat jatah makan dua kali.
”Biasanya kalau narik becak biasa, setiap hari saya dapat Rp 60.000 sampai Rp 70.000. Sekarang, ya, lumayanlah. Katanya sih dibayar Rp 200.000 per hari,” kata pengayuh becak yang mengaku memiliki dua istri dan dua anak itu.
Sama seperti Efendi, Ropaat (55), warga 4 Ulu yang biasa mangkal di 7 Ulu, juga sangat gembira karena pendapatannya naik dari semula Rp 50.000 sampai Rp 60.000 menjadi Rp 200.000 per hari, plus dua kali makan.
”Kami tidak menghitung berapa orang yang diantar atau mau ke mana, dekat atau jauh kami antar selama masih di dalam Jakabaring. Yang penting sesama pengayuh becak bergiliran mengantar penumpang. Jadi, tak ada yang satu capek, yang lain tenang-tenang saja,” kata Efendi dan Ropaat yang tergabung dalam kelompok 25 pengayuh becak.
Selain imbalan Rp 200.000 per hari, yang dibayarkan per dua hari untuk menghidupi keluarga para pengayuh becak itu, Ropaat dan kawan-kawan juga masih mendapat uang lebih. Pasalnya, fasilitas becak gratis itu hanya berlaku untuk mereka yang memiliki tanda pengenal SEA Games.
”Untuk yang tak punya kartu (ID), mereka kudu bayar. Tergantung jauh dekatnya, tetapi kalau sekitaran sini paling Rp 5.000 sampai Rp 10.000. Ini seseran (penghasilan sampingan) kito. Lumayan kalau ada yang kasih 1dollar atau 2 dollar. Ada yang mau kasih uang Thailand, tetapi kami tak ngerti berapa nilainya,” ujar Ropaat.
Sebagai pengayuh becak di SEA Games, Efendi dan kawan-kawan mendapat banyak pengalaman baru. Mereka terpaksa berbahasa isyarat jika diminta mengantar atlet, pelatih, wartawan, atau pengurus dari negara lain. Maklum, seleksi pengayuh becak itu minus komponen ”bisa berbahasa Inggris pasif”.
Tarzan (40), pengayuh becak yang biasa mangkal di seputar Jembatan Ampera, semula tidak menduga bakal mendapat penumpang warga asing. ”Saya kira mereka naik sepeda atau diantar-jemput. Ya, terpaksa pakai bahasa tarzan, seperti nama saya ya, auwooo, ha-ha-ha,” ujarnya mengenang pengalaman seru itu.
Pengalaman serupa dialami Ropaat. ”Saya diminta nganter atlet dari Thailand. Saya enggak ngerti dia ngomong apa. Saya bilang iya-iya saja. Terus dia yang menunjuk ke jalan, minta diantar ke tempat itu,” tuturnya.
Kegairahan para pengayuh becak ini sempat terpenggal karena tiga hari pertama beroperasi belum mendapat honor. Beberapa orang mogok kerja dan sebagian lagi memilih kembali ke kota untuk narik.
Tarzan termasuk yang bertahan di Jakabaring. ”Saya yakin pasti kami dibayar. Kan sudah teken kontrak. Kami juga suka mengantar orang-orang di sini,” jawabnya.
Benar saja, pada hari keempat, akhirnya para pengayuh becak itu menerima rapel honor, Rp 800.000 per orang, dipotong pajak 5 persen.
”Ya, masih untunglah,” kata Hendra, pengayuh becak yang biasa mangkal di kawasan 7 Ulu, Palembang, penuh syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar