KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN
Warga Moro-Moro, Way Serdang, penghuni register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung, menanti kedatangan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin Wakil Menteri Politik, Hukum, dan HAM Deny Indrayana, Kamis (22/12). Selama hampir 14 tahun menghuni register 45, warga Moro-Moro tidak memiliki kartu identitas penduduk dan tidak mendapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan.
BANDAR LAMPUNG, Sekitar 10.000 warga menduduki sekitar kawasan Register 45 Mesuji, Lampung, sejak adanya kasus sengketa lahan, yang berujung bentrokan antara petani dan aparat keamanan pada November 2011 lalu.
"Sejak konflik agraria itu mencuat dengan adanya laporan ke Komisi III DPR RI lalu, warga terus berdatangan ke kawasan register tersebut," kata salah seorang aktivis dari Yayasan Bimbingan Mandiri Lampung, Sugianto, di Bandar Lampung, Jumat (6/1/2012).
Sugianto yang telah melakukan pendampingan terhadap korban konflik lahan di Lampung sejak 1991 lalu mengatakan, dari informasi yang dihimpun, ada beberapa titik di kawasan register itu yang diduduki warga.
Kawasan itu adalah Moromoro, Tugu Roda, Sri Tanjung, Pelita Jaya, Talang Batu, Talang Gunung, Brabasan, serta beberapa titik lainnya.
Sebelum kasus itu mencuat, ia melanjutkan, warga yang mendiami beberapa titik di kawasan itu hanya sekitar 115 kepala keluarga (KK).
Ia mengatakan, sejak laporan warga ke Komisi III DPR RI terkait kasus Mesuji, jumlah pendatang bertambah dari 115 KK menjadi 140 KK, kemudian naik menjadi 834 KK dan hingga sekarang jumlahnya diperkirakan mencapai 10.000 orang.
Menurutnya, dari 10.000 jiwa itu, khusus di Desa Pekat Tiga Roda Mesuji, jumlah penduduk yang menduduki areal Register 45 saat ini sebanyak 1.250 KK.
Menurutnya, sebagian besar penduduk kawasan itu bukan penduduk asli, tetapi pendatang dari beberapa daerah lainnya di Lampung, seperti Lampung utara, Lampung timur, dan Lampung selatan.
Bahkan kata dia, ada beberapa penduduk yang mendatangi kawasan register itu berasal dari daerah yang memiliki persoalan yang sama, yakni konflik agraria. "Mereka itu sebenarnya bukan pengungsi, tetapi penjarah lahan," dia menambahkan.
Sementara itu, Pemprov Lampung berupaya melakukan penertiban perambah di kawasan Register 45 Sungai Buaya Kabupaten Mesuji guna penegakan hukum atas tindakan penjarahan dan pendudukan hutan secara sepihak.
Asisten Bidang Pemerintahan Sekda Provinsi Lampung, Tarmizi Nawawi, mengatakan, kompleksitas permasalahan pendudukan, penjarahan, dan perambahan hutan Register 45 ditengarai konflik sosial antara PT Barat Selatan Makmur Isnvestindo (BSMI) dan masyarakat setempat.
Ia menduga konflik tersebut merupakan akumulasi saratnya kepentingan politik sehingga terjadi potensi konflik sosial, sebagai komoditas untuk penggalangan dukungan jelang pemilukada di daerah otonomi baru (DOB) tersebut.
Tarmizi meminta masyarakat perambah yang merasa dirugikan karena telah dipungut sejumlah uang oleh oknum yang "menjual" lahan di Register 45, yang mengatasnamakan Lembaga Adat Megow Pak agar melapor ke polisi dari kawasan Register 45.
Sebelumnya, enam perwakilan Lembaga Adat Megow Pak didampingi Sekda Provinsi Lampung Berlian Tihang dan Polda Lampung menghadap Menko Polhukam untuk mengklarifikasi bahwa lembaga adat itu tidak memiliki tanah ulayat di kawasan Register 45 Kabupaten Mesuji.
Sumber :
ANT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar