Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura
edinthepresident@yahoo.com
edinthepresident@yahoo.com
Ternyata kuliah di Pulau Madura tidak seseram yang saya bayangkan. Warganya juga bisa ramah kalau kita sopan dan tidak neko-neko. Namun hal yang membuat saya paling berkesan adalah saat perjalanan pulang pergi Sidoarjo Bangkalan. Jarak rumah yang relatif dekat, setiap akhir pekan saya menyempatkan pulang.
Kapal penyeberangan menjadi moda transportasi yang biasa saya pilih. Di kapal penyeberangan inilah saya menuai banyak nilai-nilai kehidupan selama berinteraksi dengan sesama penumpang. Salah satunya adalah seorang nenek perkasa, demikian saya lebih suka menyebut sosok renta berusia 72 tahun itu.
Bagaimana tidak perkasa, nenek asli Madura ini benar-benar mengisi hidupnya sarat perjuangan. Saya bertemu dengan si nenek perkasa ini suatu sore ketika kapal penyeberangan yang sudah renta itu diombang-ambingkan ombak di selat Madura. Selain pukulan ombak, guyuran hujan pun turun menambah lengkap ‘penderitaan’ kapal penyeberangan kali ini.
Abai dengan goyangan kapal yang menjadi-jadi, si nenek perkasa mampu ‘menaklukannya’ dengan gigih terus menawarkan dagangannya kepada semua penumpang.
Nama asli si nenek perkasa adalah Martinah. Di usia senjanya, dia mengaku enggan berpangku tangan dengan menunggu nafkah dari suami atau uluran bantuan kerabatnya. Tahu goreng dalam kemasan ia pilih sebagai dagangan di atas kapal penyeberangan Bangkalan - Surabaya.
Sembari menikmati tahu bungkus dagangannya, kami ngobrol ngalor ngidul seputar dirinya. Hujan sedikit mengganggu kelancaran percakapan kami. Nenek Marti menjelaskan bahwa mencari uang di Madura bukan hal yang mudah. Itulah salah satu alasan yang melecet dirinya harus menjadi perempuan mandiri dan ulet. Tak ayal, selain nenek Marti, saya juga melihat perempuan seusianya mengais hidup di kapal penyeberangan itu.
Ironisnya, bila sejumlah perempuan Madura terlihat begitu perkasa, justru anak-anak belia usia bocah sekolah dasar dan menengah justru memilih menadahkan tangan mengemis belas kasihan pada penumpang dengan beberapa rupiah. Dan nenek Marti pun mengaku risih melihat bocah sepantaran cucunya itu memilih jalan pintas dan mudah, jauh dari rasa hormat.Inilah wajah lain Indonesia. http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=5652377597821042617
Tidak ada komentar:
Posting Komentar