Featured Video

Sabtu, 28 Januari 2012

PENGAKUAN ATEIS ANAK MUDA DI MINANG, SALAH SIAPA?


Memasuki awal tahun 2012 ini di ranah Minang dihebohkan oleh sebuah kasus “monumental” yang sangat merobek jantung keminang­kabauan orang Minang di negeri yang bertuah ini.

Kenapa tidak, orang Mi­nang yang memiliki falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah itu dan mendeklarasikan bahwa Islam sebagai syarat utama men­defenisikan orang Minang­kabau, ternyata anak naga­rinya bernama Aleksander Aan yang berstatus sebagai CPNS di Bappeda Kabu­paten Dharmasraya  dengan tegas menyatakan ia ateis, seperti dilansir di surat kabar lokal. Malahan tidak sedikit pula muncul analisis yang bernas, seperti di Harian Haluan ada re­fleksi sastrawan kawakan Darman Moenir ikut mem­be­rikan kementra (Haluan, 21/1) dan kemudian diikuti pula oleh  Zulprianto (Haluan, 24/1).
Jika kita melihat, pada data statistik masalah kebe­ragamaan di dunia seperti dilansir oleh World Christian Encyclopedia, sangat terlihat jelas bahwa dari tahun ke tahun jumlah manusia di dunia ini memilih tidak ber­agama selalu meningkat.
Pada tahun 1900 di dunia orang yang hidup tanpa agama hanya 0,2% dari jumlah pendu­duk dunia tetapi mulai tahun 1970 tercatat tidak beragama 15,0%, dan pada tahun 1980 menjadi 16,4%, sedangkan pada tahun 2000 orang yang tidak beragama dan bertuhan di dunia mencapai 17,1%. Berarti pilihan-pilihan manu­sia untuk tidak mengaku beragama sudah sangat me­nge­jutkan dan mencengangkan. Bahkan, di negeri kita yang tersuruk ini dengan berani pula pengakuan itu muncul dari seorang anak muda yang berpendidikan. Ada apa se­sungguhnya?
Jika melihat alasan-ala­san yang dikemukakan oleh Aleksander Aan, mengapa dirinya tidak beragama, ter­nyata alasan-alasan itu pun menjadi alasan yang umum dikemukakan oleh penduduk dunia yang telah memilih tidak beragama tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari clash civilization yang ditulis oleh Samuel P.Hantington. Mereka terlalu pesimis me­lihat agama, karena agama terlalu sering dipelintingkan oleh kelompok kepentingan untuk konflik, perkelahian, amukan dan sebagainya. Mereka beranggapan, Tuhan tidak hadir membelanya, seolah-olah Tuhan tidur bah­kan mati seperti ungkapan Nietzsche. Eskalsi perseteruan antaragama ini, semakin tinggi dalam peradaban ma­nu­sia modern sekarang ini. Agama semakin dipolitisasi untuk berbagai kepentingan.
Pertanyaan yang perlu kita jawab sekarang ini adalah, mengapa kepesimisan beraga­ma itu muncul. Tentu tidak terlepas dari cara agama itu diajarkan kepada umat, gene­rasi dan pemeluk agama tersebut.
Agama sangat dijar­kan dengan “tektualitas” dokmatis. Hingga agama itu sangat terlihat seperti sebuah “intan” berlian dalam rumah kaca, tetapi tidak kita bongkar menjadi “petunjuk” yang menuntun tindakan, akal, fikiran dalam tataran kehi­dupan. Hingga agama lebih terlihat “diam” atau memfosil dalam kerangka rumah kaca itu.
Sementara kondisi di lura rumah kaca itu telah berubah dengan cepat dari waktu kewaktu. Akhirnya yang terja­di adalah kita tidak mampu menjelaskan agama itu, bah­kan ketika anak-anak berta­nya tentang Tuhan saja kita tidak mampu menjawabnya dengan sangat meyakinkan dan logis.
Pengajaran agama lebih dominan kita terima dokma­tisasi itu, ternyata hanya mampu menjawab genera­lisasi, jastifikasi. Kita hanya lebih dominan menjawab, pahala-dosa. Tidak mampu menjelaskannya mengapa ia menjadi dosa, mengapa ia menjadi berpahala. Atau, hanya menjadi “penakut dan penghibur” surga dan neraka. Pada hal dalam konteks manusia kekinian, episto­mologi penjelasan-penjelasan itu sangat perlu, menngingat perkembangan logisitas, nalar dan keilmuan yang dimiliki oleh manusia, sekali pun secara normatif “kebenaran” agama tidak bisa dibantah, tetapi penjelasan kebenaran itu sangat penting bagi ma­nusia yang bernalar seperti sekarang ini.
Dalam konteks itulah diperlukan pendidikan dan internalisasi agama berkola­borasi dengan sains dan pengetahuan agama.  Feno­mena-fenoma tidak cukup dijastifikasi dengan kesim­pulan “lemah” iman, tetapi harus dijelaskan mengapa lemah iman itu terjadi, apa penyebab, apa risiko atau dampak dari lemah iman itu. Teks dan konteks harus selalu berdialog, kalau tidak kita akan tetap menjadi “umat” dogmatis yang tidak sanggup melihat dan menerima peru­bahan dan perkembangan yang terjadi. Akhirnya, kita hanya menyadari sholat, atau ritual agama hanya sebagai “kewajiban” dan tidak me­nyadarinya sebagai sebuah kesadaran yang menggiring sikap, tindakan, dan per­buatan, kepemilikan ibadah yang semakin mengikat diri kita pada kualitas hidup.
Pada sisi lain, kebera­gamaan itu atau terinter­nalisasinya ajaran dan nilai keagamaan itu sangat tergan­tung pada lingkaran “pendi­dikan dan kontrol”. Saat sekarang, di Minangkabau lingkaran itu harus diakui “roboh”. Pendidikan misalnya, di dalam nagari sudah tidak jelas lembaga yang mengasuh soal keagamaan umat. Masa lalu, sesuai dengan kondisi masyarakat pada masa itu masih ada surau yang me­miliki peran bukan seperti sekarang.
Di samping itu, ada tua-tua kampung atau ninik ma­mak yang menghalau anak kemenakannya ke surau. Saat sekarang adakah sebuah lembaga yang sesuai dikem­bangkan di nagari untuk membibing anak kemenakan itu? Di dukung pula dengan tokoh-tokoh agama yang kha­rismatik. Tokoh agama kharis­matik ini, sangat menjadi rujukan dalam bertindak, berbuat dan berfikir bagi pengikutnya. Ulama kharis­matik ini, tidak saja memiliki kemampuan berdialog dengan umat dengan baik, tetapi juga mampu menulis kitab yang sangat menuntun umatnya. Bahkan ulama kadang juga menjadi seorang penulis bah­kan sastrawan, seperti Ham­ka, Raja Ali Haji dan seterus­nya. Sekarang?
Jalan Keluar
Berkisar kepada novel AA Navis, judul cerita “Robohnya Surau Kami” tentu ini sebuah indikasi kondisi keagamaan yang berubah itu yang sudah cukup lama terjadi dalam masyarakat, semstinya harus kita sikapi dengan sigap pula. Tidak dibiarkan, sampai jauh bergulir perubahan itu. Masa­lahnya, semakin jauh kondisi masyarakat dari akar keaga­maannya maka semakin be­sar peluang untuk terjadinya anomie atau semakin lebar terjadinya pengingkaran terha­dap norma.
Supaya pengakuan diri ateis yang memilukan itu tidak terulang lagi, sekali pun teman saya di facebook menga­takan dalam statusnya, bah­wanya jadi ateis itu juga sebuah jalan bagi seseorang dalam ber-Tuhan. Tentu kita semua tidak mengingnkan seperti itu. Tapi pada akhir­nya ungkapan teman saya difecebook itu ternyata juga benar sehingga Aleksander Aan, juga menyatakan untuk kembali ber-Tuhan dan ber­agama Islam sebagaimana dilansir oleh media lokal kita.
Melihat dari realitas da­lam masyarakat Miangkabau saat ini, kekurangan yang mendasar dalam pendidikan agama itu adalah, masalah kelembagaan dan pengelolaan lembaga itu secara profesional, tidak seperti angin lalu dan hadir dengan begitu saja. Mengapa program kembali ke surau, tidak menampakkan hasil? Jawabannya adalah sangat tergantung oleh keti­dak mampuan lembaga itu dikelola secara profesional. Pada hal surau dan masjid itu sangat banyak dalam masyarakat Minang, berlom­ba-lomba mendirikan dan memperbagusnya. Minimal setiap nagari memiliki satu rumah ibada, karena syarat berdirinya nagari itu harus ada rumah ibadah tersebut. Persoalannya, bagaimana implikasi kehadirannya ke tengah-tengah umat, apakah hanya untuk sekedar tempat sholat dan ceramah-ceramah agama saja? Atau tempat mengaji Quran bagi anak-anak saja?
Kini saatnya, nagari yang telah kembali kepada pe­merintahan nagari ini men­coba mengkaji ini, mem­populerkan kembali institusi ini sebagai basis paling awal mendidik anak-anak dalam nagari. Oleh sebab itu masjid tidak bisa dikelola sambil lalu dengan garim yang orang-orang “terbuang” atau dengan anak-anak sekolah saja. T­e­tapi sudah saatnya ada dewan masjid sampai ke masjid-masjid itu yang bertanggung­jawab terhadap pendidikan agama yang paling asas bagi anak-anak dalam nagari. Tujuannya adalah untuk membentengi mereka dengan pengetahuan dan pendidikan agama.
Di sinilah peran peme­rintah dan masyarakat, mas­jid sudah saatnya dikelola seperti pengelolaan sekolah modern, seperti lembaga-lembaga lainnya. Dewan-dewan masji sudah perlu dianggarkan penggajiannya oleh pemerintah daerah. Dewan masjid ini, orang-orang yang mengelola masjid dengan berbagai pro­gram, tidak hanya sebagai imam dan mengajar mengaji tetapi mampu membuat pro­gram terencana yang mampu menjawab permasalahan dan kebutuhan umat.
Kaum intelektual sudah saatnya diberdayakan untuk pengelolaan masjid sampai ke nagari-nagari, disinilah dewan masjid itu fungsinya. Ia semacam organisasi pro­fesional yang digaji secara profesional. Di sinilah ber­himpun intelektual dari ber­bagai disiplin ilmu, tidak hanya orang-orang agama tetapi juga orang-orang ber­keilmuan umum. Ia diangkat dan ia dilantik dan digaji seperti pegawai negeri.
Mungkin hal ini bagi seba­hagian orang dianggap suatu pekerjaan yang “mustahil” bahkan saya yakin sangat banyak yang menentang, karena masjid dalam tradisi kita sudah terlalu dibakukan sebagai rumah ibadah saja. Untuk kasus Minangkabau, mengingat masjid itu sangat banyak jumlahnya, maka ada keoptimisan saya jika lembaga ini dipotensikan sebagai pen­didikan agama paling asas bagi anak nagari, ia akan mampu memberikan dasar keagamaan pula pada anak-anak nagari. Masjid sebagai jembatan penempa penge­tahuan dan pengamalan aga­ma paling dasar bagi anak nagari, boleh disebut sebagai “pagar diri” bagi generasi sebelum jauh melangkah melanjutkan aktivitas ke­hidupan.
Jika tidak ada institusi dasar pendidikan agama itu, ada keyakinan saya bahwa masalah pemahaman dan pemaknaan keagamaan di negeri yang bertuah menganut falsafah adat basandi syarak, syarak bansandi Kitabullah ini akan berkutat dalam pemak­naan dan pemahaman agama yang “terombang-ambing” dan akhirnya, walaupun tidak diungkapkan menjadi seorang ateis, tetapi “agama” KTP tentu semakin banyak jum­lahnya.
Akhirnya, pergerakan tung­ku tigo sajarangan lebih sigap mendesain permasalahan ini dalam nagarinya, apalagi dengan pemerintahan daerah tentu sangat harus lebih sigap dalam memecahkan masalah ini. Perguruan tinggi, ter­utama perguruan tinggi aga­ma Islam harus digasak menjadi perancang programnya, sebab hal ini salah satu lahan untuk mengurangi pengangguran hasil produksinya di samping kesejatiannya sebagai pe­nginternalisasian ajaran aga­ma itu.
Masyarakat sebagai pe­milik masjid, harus sudah berubah memaknai masjid. Pengelolaan masjid tidak cukup diserahkan oleh seorang karyawan atau qarim dari anak-anak sekolah-kuliah yang diurusnya sambil lalu, tetapi sudah memikirkan pengelolaan masjid itu secara profesional, hingga ia tidak hanya menjadi tempat ibadah sholat dan mengaji.

DR SILFIA HANANI SAG MSI
(Dosen Jurusan Sosiologi Pascasarjana Unand)http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar