Memasuki awal tahun 2012 ini di ranah Minang dihebohkan oleh sebuah kasus “monumental” yang sangat merobek jantung keminangkabauan orang Minang di negeri yang bertuah ini.
Kenapa tidak, orang Minang yang memiliki falsafah adaik basandi syarak, syarak basandi Kitabullah itu dan mendeklarasikan bahwa Islam sebagai syarat utama mendefenisikan orang Minangkabau, ternyata anak nagarinya bernama Aleksander Aan yang berstatus sebagai CPNS di Bappeda Kabupaten Dharmasraya dengan tegas menyatakan ia ateis, seperti dilansir di surat kabar lokal. Malahan tidak sedikit pula muncul analisis yang bernas, seperti di Harian Haluan ada refleksi sastrawan kawakan Darman Moenir ikut memberikan kementra (Haluan, 21/1) dan kemudian diikuti pula oleh Zulprianto (Haluan, 24/1).
Jika kita melihat, pada data statistik masalah keberagamaan di dunia seperti dilansir oleh World Christian Encyclopedia, sangat terlihat jelas bahwa dari tahun ke tahun jumlah manusia di dunia ini memilih tidak beragama selalu meningkat.
Pada tahun 1900 di dunia orang yang hidup tanpa agama hanya 0,2% dari jumlah penduduk dunia tetapi mulai tahun 1970 tercatat tidak beragama 15,0%, dan pada tahun 1980 menjadi 16,4%, sedangkan pada tahun 2000 orang yang tidak beragama dan bertuhan di dunia mencapai 17,1%. Berarti pilihan-pilihan manusia untuk tidak mengaku beragama sudah sangat mengejutkan dan mencengangkan. Bahkan, di negeri kita yang tersuruk ini dengan berani pula pengakuan itu muncul dari seorang anak muda yang berpendidikan. Ada apa sesungguhnya?
Jika melihat alasan-alasan yang dikemukakan oleh Aleksander Aan, mengapa dirinya tidak beragama, ternyata alasan-alasan itu pun menjadi alasan yang umum dikemukakan oleh penduduk dunia yang telah memilih tidak beragama tersebut.
Hal ini dapat dilihat dari clash civilization yang ditulis oleh Samuel P.Hantington. Mereka terlalu pesimis melihat agama, karena agama terlalu sering dipelintingkan oleh kelompok kepentingan untuk konflik, perkelahian, amukan dan sebagainya. Mereka beranggapan, Tuhan tidak hadir membelanya, seolah-olah Tuhan tidur bahkan mati seperti ungkapan Nietzsche. Eskalsi perseteruan antaragama ini, semakin tinggi dalam peradaban manusia modern sekarang ini. Agama semakin dipolitisasi untuk berbagai kepentingan.
Pertanyaan yang perlu kita jawab sekarang ini adalah, mengapa kepesimisan beragama itu muncul. Tentu tidak terlepas dari cara agama itu diajarkan kepada umat, generasi dan pemeluk agama tersebut.
Agama sangat dijarkan dengan “tektualitas” dokmatis. Hingga agama itu sangat terlihat seperti sebuah “intan” berlian dalam rumah kaca, tetapi tidak kita bongkar menjadi “petunjuk” yang menuntun tindakan, akal, fikiran dalam tataran kehidupan. Hingga agama lebih terlihat “diam” atau memfosil dalam kerangka rumah kaca itu.
Sementara kondisi di lura rumah kaca itu telah berubah dengan cepat dari waktu kewaktu. Akhirnya yang terjadi adalah kita tidak mampu menjelaskan agama itu, bahkan ketika anak-anak bertanya tentang Tuhan saja kita tidak mampu menjawabnya dengan sangat meyakinkan dan logis.
Pengajaran agama lebih dominan kita terima dokmatisasi itu, ternyata hanya mampu menjawab generalisasi, jastifikasi. Kita hanya lebih dominan menjawab, pahala-dosa. Tidak mampu menjelaskannya mengapa ia menjadi dosa, mengapa ia menjadi berpahala. Atau, hanya menjadi “penakut dan penghibur” surga dan neraka. Pada hal dalam konteks manusia kekinian, epistomologi penjelasan-penjelasan itu sangat perlu, menngingat perkembangan logisitas, nalar dan keilmuan yang dimiliki oleh manusia, sekali pun secara normatif “kebenaran” agama tidak bisa dibantah, tetapi penjelasan kebenaran itu sangat penting bagi manusia yang bernalar seperti sekarang ini.
Dalam konteks itulah diperlukan pendidikan dan internalisasi agama berkolaborasi dengan sains dan pengetahuan agama. Fenomena-fenoma tidak cukup dijastifikasi dengan kesimpulan “lemah” iman, tetapi harus dijelaskan mengapa lemah iman itu terjadi, apa penyebab, apa risiko atau dampak dari lemah iman itu. Teks dan konteks harus selalu berdialog, kalau tidak kita akan tetap menjadi “umat” dogmatis yang tidak sanggup melihat dan menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi. Akhirnya, kita hanya menyadari sholat, atau ritual agama hanya sebagai “kewajiban” dan tidak menyadarinya sebagai sebuah kesadaran yang menggiring sikap, tindakan, dan perbuatan, kepemilikan ibadah yang semakin mengikat diri kita pada kualitas hidup.
Pada sisi lain, keberagamaan itu atau terinternalisasinya ajaran dan nilai keagamaan itu sangat tergantung pada lingkaran “pendidikan dan kontrol”. Saat sekarang, di Minangkabau lingkaran itu harus diakui “roboh”. Pendidikan misalnya, di dalam nagari sudah tidak jelas lembaga yang mengasuh soal keagamaan umat. Masa lalu, sesuai dengan kondisi masyarakat pada masa itu masih ada surau yang memiliki peran bukan seperti sekarang.
Di samping itu, ada tua-tua kampung atau ninik mamak yang menghalau anak kemenakannya ke surau. Saat sekarang adakah sebuah lembaga yang sesuai dikembangkan di nagari untuk membibing anak kemenakan itu? Di dukung pula dengan tokoh-tokoh agama yang kharismatik. Tokoh agama kharismatik ini, sangat menjadi rujukan dalam bertindak, berbuat dan berfikir bagi pengikutnya. Ulama kharismatik ini, tidak saja memiliki kemampuan berdialog dengan umat dengan baik, tetapi juga mampu menulis kitab yang sangat menuntun umatnya. Bahkan ulama kadang juga menjadi seorang penulis bahkan sastrawan, seperti Hamka, Raja Ali Haji dan seterusnya. Sekarang?
Jalan Keluar
Berkisar kepada novel AA Navis, judul cerita “Robohnya Surau Kami” tentu ini sebuah indikasi kondisi keagamaan yang berubah itu yang sudah cukup lama terjadi dalam masyarakat, semstinya harus kita sikapi dengan sigap pula. Tidak dibiarkan, sampai jauh bergulir perubahan itu. Masalahnya, semakin jauh kondisi masyarakat dari akar keagamaannya maka semakin besar peluang untuk terjadinya anomie atau semakin lebar terjadinya pengingkaran terhadap norma.
Supaya pengakuan diri ateis yang memilukan itu tidak terulang lagi, sekali pun teman saya di facebook mengatakan dalam statusnya, bahwanya jadi ateis itu juga sebuah jalan bagi seseorang dalam ber-Tuhan. Tentu kita semua tidak mengingnkan seperti itu. Tapi pada akhirnya ungkapan teman saya difecebook itu ternyata juga benar sehingga Aleksander Aan, juga menyatakan untuk kembali ber-Tuhan dan beragama Islam sebagaimana dilansir oleh media lokal kita.
Melihat dari realitas dalam masyarakat Miangkabau saat ini, kekurangan yang mendasar dalam pendidikan agama itu adalah, masalah kelembagaan dan pengelolaan lembaga itu secara profesional, tidak seperti angin lalu dan hadir dengan begitu saja. Mengapa program kembali ke surau, tidak menampakkan hasil? Jawabannya adalah sangat tergantung oleh ketidak mampuan lembaga itu dikelola secara profesional. Pada hal surau dan masjid itu sangat banyak dalam masyarakat Minang, berlomba-lomba mendirikan dan memperbagusnya. Minimal setiap nagari memiliki satu rumah ibada, karena syarat berdirinya nagari itu harus ada rumah ibadah tersebut. Persoalannya, bagaimana implikasi kehadirannya ke tengah-tengah umat, apakah hanya untuk sekedar tempat sholat dan ceramah-ceramah agama saja? Atau tempat mengaji Quran bagi anak-anak saja?
Kini saatnya, nagari yang telah kembali kepada pemerintahan nagari ini mencoba mengkaji ini, mempopulerkan kembali institusi ini sebagai basis paling awal mendidik anak-anak dalam nagari. Oleh sebab itu masjid tidak bisa dikelola sambil lalu dengan garim yang orang-orang “terbuang” atau dengan anak-anak sekolah saja. Tetapi sudah saatnya ada dewan masjid sampai ke masjid-masjid itu yang bertanggungjawab terhadap pendidikan agama yang paling asas bagi anak-anak dalam nagari. Tujuannya adalah untuk membentengi mereka dengan pengetahuan dan pendidikan agama.
Di sinilah peran pemerintah dan masyarakat, masjid sudah saatnya dikelola seperti pengelolaan sekolah modern, seperti lembaga-lembaga lainnya. Dewan-dewan masji sudah perlu dianggarkan penggajiannya oleh pemerintah daerah. Dewan masjid ini, orang-orang yang mengelola masjid dengan berbagai program, tidak hanya sebagai imam dan mengajar mengaji tetapi mampu membuat program terencana yang mampu menjawab permasalahan dan kebutuhan umat.
Kaum intelektual sudah saatnya diberdayakan untuk pengelolaan masjid sampai ke nagari-nagari, disinilah dewan masjid itu fungsinya. Ia semacam organisasi profesional yang digaji secara profesional. Di sinilah berhimpun intelektual dari berbagai disiplin ilmu, tidak hanya orang-orang agama tetapi juga orang-orang berkeilmuan umum. Ia diangkat dan ia dilantik dan digaji seperti pegawai negeri.
Mungkin hal ini bagi sebahagian orang dianggap suatu pekerjaan yang “mustahil” bahkan saya yakin sangat banyak yang menentang, karena masjid dalam tradisi kita sudah terlalu dibakukan sebagai rumah ibadah saja. Untuk kasus Minangkabau, mengingat masjid itu sangat banyak jumlahnya, maka ada keoptimisan saya jika lembaga ini dipotensikan sebagai pendidikan agama paling asas bagi anak nagari, ia akan mampu memberikan dasar keagamaan pula pada anak-anak nagari. Masjid sebagai jembatan penempa pengetahuan dan pengamalan agama paling dasar bagi anak nagari, boleh disebut sebagai “pagar diri” bagi generasi sebelum jauh melangkah melanjutkan aktivitas kehidupan.
Jika tidak ada institusi dasar pendidikan agama itu, ada keyakinan saya bahwa masalah pemahaman dan pemaknaan keagamaan di negeri yang bertuah menganut falsafah adat basandi syarak, syarak bansandi Kitabullah ini akan berkutat dalam pemaknaan dan pemahaman agama yang “terombang-ambing” dan akhirnya, walaupun tidak diungkapkan menjadi seorang ateis, tetapi “agama” KTP tentu semakin banyak jumlahnya.
Akhirnya, pergerakan tungku tigo sajarangan lebih sigap mendesain permasalahan ini dalam nagarinya, apalagi dengan pemerintahan daerah tentu sangat harus lebih sigap dalam memecahkan masalah ini. Perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi agama Islam harus digasak menjadi perancang programnya, sebab hal ini salah satu lahan untuk mengurangi pengangguran hasil produksinya di samping kesejatiannya sebagai penginternalisasian ajaran agama itu.
Masyarakat sebagai pemilik masjid, harus sudah berubah memaknai masjid. Pengelolaan masjid tidak cukup diserahkan oleh seorang karyawan atau qarim dari anak-anak sekolah-kuliah yang diurusnya sambil lalu, tetapi sudah memikirkan pengelolaan masjid itu secara profesional, hingga ia tidak hanya menjadi tempat ibadah sholat dan mengaji.
DR SILFIA HANANI SAG MSI
(Dosen Jurusan Sosiologi Pascasarjana Unand)http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar