Haluan, Minggu, 4 Maret 2012, menurunkan laporan utama “Minangkabau di Ujung Tanduk, Maksiat Hal Biasa” secara relatif komprehensif. Mungkinkah laporan itu memicu kesadaran baru bagi urang awak untuk membenahi negeri ini, di mana pun mereka berada?
Dalam beberapa dakade belakangan, eksistensi kultural (budaya) Minangkabau memang mengkhawatirkan, sangat mengkhawatirkan (ini kata lain untuk ungkapan berada di ujung tanduk).
Dalam bulan-bulan belakangan mencuat kasus-kasus: siswa-siswi berfoto-ria dengan adegan seksual, penari telanjang tersedia di kafe, injak Kitab Suci Alquran, Aleksander An yang mengikuti aliran antiTuhan, KUA Kayu Tanam “menelanjangi” siswi kelas 2 MAN (suka sama suka?), lelaki “perkasa” (baca sangat jantan), aduh(!), yang memerkosa anak tiri atau bahkan anak sendiri, dan kawasan-kawasan yang dianggap rawan hubungan seksual dalam bentuk perzinaan (di Pantai Padang, di Bunguih, di Pasie Jambak, dan rumah rehat atau, dalam bahasa Inggris, home stay, seperti di pinggir Danau Maninjau).
Itu baru kasus yang sempat diekspos media-massa. Betapa dan berapa lagi kasus-kasus yang tidak muncul ke permukaan? Perselingkuhan seorang yang sudah beristri dengan seorang yang sudah bersuami dan/atau sebaliknya, persebadanan seorang janda dengan seorang duda, dan tindak seksual laki-laki parlente dengan perempuan yang, apa boleh buat, terpaksa menjual diri di hotel-hotel atau di sepanjang jalan seperti di Jalan Diponegoro di Kota Padang, adalah sejumlah kasus yang bisa terjadi setiap pekan. Betapa banyak pemuda, laki-laki dewasa, bahkan kakek-kakek, yang mengelus-elus dengan nafsu syahwat tegangan tinggi, putri-putri yang belum berusia sepuluh atau baru saja berumur belasan tahun? Siapa yang tahu?
Kasus-kasus yang marak dan jadi makanan empuk media-massa (cetak dan elektronik) untuk dieskpos itu perlu digaris-bawahi, melibatkan banyak komponen (anggota) masyarakat. Amat tidak adil bila generasi muda selalu disalahkan. Apakah kakek berusia 63 tahun yang memerkosa anak tiri itu mungkin disebut muda? Apakah Pak KUA yang diduga sedang berada di usia puber kedua itu disebut remaja? Apakah Buk Guru yang menyuruh murid menginjak Kitab Mahamulia itu masih muda?
Jadi, dalam memberikan “penghakiman dan penghukuman” sosial tak mungkin kesalahan ditimpakan pada generasi muda belaka, anak-kemenakan kita semua itu. Tindak tidak bermoral atau maksiat itu dilakukan oleh berbagai lapisan anggota masyarakat, dari yang berpendidikan rendah sampai ke tingkat tinggi, dari para petani atau nelayan sampai pada pejabat tinggi, guru, dosen, orang-orang berdasi.
Dalam memberikan “penghakiman dan penghukuman” sering adagium Adat Bersendi Syarak Syarak Bersendi Kitabullah (ABSSBK) menjadi “sosok” yang seolah hidup dan selalu berada pada posisi yang keliru, yang salah. ABSSBK tidak mangkus.
Paling muskil adalah upaya menyalah-nyalahkan agama (Islam) dengan ungkapan, sebagai contoh, mereka (pelaku tindak maksiat itu) tidak beriman. Persis, dalam keadaan tidak beriman, dengan demikian, mereka melakukan tindakan tidak terpuji. Dengan kata lain, mereka melakukan perbuatan maksiat itu ketika Islam dan ABSSBK tidak ada pada diri mereka.
Secara lebih menyeluruh, undang-undang, peraturan, norma-norma, tata-susila dan nilai-nilai positif (termasuk adat-istiadat yang tidak lekang oleh panas itu) tidak berlaku lagi untuk diri mereka. Dalam keadaan sadar ataupun tidak, mereka mengabaikan bahkan melawan undang-undang, peraturan, norma-norma, tata-susila dan nilai-nilai positif, termasuk adat-istiadat itu! Upaya pelbagai komponen masyarakat (pemerintah, tungku tigo sajarangan) benar-benar tidak lagi mempan untuk mereka. Mereka, para pelaku maksiat itu, selalu saja berkelakuan (tanpa perlu minta maaf) seperti ayam, seperti kucing, seperti binatang.
Lalu, adakah kesadaran baru dalam sanubari urang awak untuk membenahi negeri yang sudah berada di ujung tanduk ini, di mana pun mereka berada? Urat merih bisa putus untuk berkredo, ABSSBK adalah milik sah Minangkabau. Tidak ada etnik lain di dunia ini yang punya kredo mahahebat itu. Dan itu tidak pula lekang oleh panas, dan tidak lapuk oleh hujan! Betapa hebat. Tetapi letak masalah bukan di sana.
Implementasi hukum dan undang-undang itu! Itulah yang perlu dilaksanakan. Satu contoh, beranikah urang awak menjalankan syariat Islam? Saya ulangi, berani dan mampukah orang Minangkabau melaksanakan undang-undang yang difirmankan Allah SWT?
Andai belum, biarpun tidak diharapkan, maka tindak maksiat tetaplah menjadi hal biasa, entah sampai kapan, sepanjang zaman! Dan telur (baca: Minangkabau) yang sudah berada di ujung tanduk kerbau itu sesaat lagi benar-benar bisa jatuh, dan pecah, berlemak-peak di lantai kehidupan bersama. Masya Allah!
DARMAN MOENIRhttp://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar