“Apo lo ka takuik jo abu, wak mancari makan. Kalau baranti ambo karajo, baranti lo ambo manyuok. Abu kapua tu lah jadi kawan se dek awaknyo.”
Itulah yang dikatakan wanita paruh baya yang bekerja sebagai pengumpul batu kapur di daerah Rao-Rao Padang Panjang. Seakan tidak takut dengan abu kapur yang dapat merusak pernapasan, Ar, 42 tahun, demikian ia dipanggil, warga asal Guguak Gadang Padang Panjang, mengadu nasib di dalam abu yang ditimbulkan dari pembakaran batu kapur.
Ibu dengan tujuh anak ini telah lama ditinggalkan oleh suaminya sehingga ia harus membesarkan ketujuh anaknya dengan keringatnya selama 7 tahun. Seakan tidak kenal sakit dan lelah, Ar harus mengumpulkan dan mengkarungi batu kapur yang telah dibakar dan dipecah sebelumnya dan memasukkannya ke dalam karung besar. Ar dapat mengumpulkan berkubik-kubik batu kapur panas dalam 70 karung sehari, dengan harga satu karung Rp700.
Dalam satu hari sejak pukul 07.00 WIB hingga 17.00 WIB, Ar dapat mengantongi upah lebih kurang Rp49.000 per hari. Ia harus membagi hasil keringatnya itu menjadi lima bagian, karena empat orang anaknya masih tinggal bersamanya. Sementara tiga anaknya yang lain telah berumah tangga.
Sungguh luar biasa wanita perkasa ini tanpa menggunakan masker sebagai pelindung dari asap dan abu kapur, Ar bekerja dengan senang hati selama 7 tahun. Walaupun pekerjaan ini berbeda dan berat dari pekerjaan yang mayoritasnya wanita pengumpul batu kapur, Ar menghadapi tantangan yang berat dari yang lainya. Ar harus berhadapan dengan hawa panas dari tungku pembakaran batu kapur.
Untuk istirahat, ia pun tak jauh dari area pembakaran batu kapur. Padahal abu dan asapnya sudah pasti masuk ke dalam makanan yang dikonsumsinya. Namun Ar hingga saat ini tidak merasakan dampak dari abu tersebut. Padahal abu dan asap pembakaran batu kapur dapat merusak paru-paru bagi yang terkena dan mengganggu pernapasan setiap orang yang menghirupnya. Entah kekuatan apa Ar tidak merasakan sakit
“Saya butuh uang demi keluarga saya,” katanya.
Ar bukan sendiri. Ratusan buruh tambang kapur di kawasan Bukit Tui itu senasib dengannya. Pecahan batu gamping dengan hanya bermodal martil dan keyakinan mereka terus memacu kehidupannya.
Seakan sudah membagi kerja secara seksual, laki-laki sebagai pemecah gamping dan membakar kapur di tungku pembakaran. Ar dan perempuan lainnya menjadi pemecah batu kapur yang sudah dibakar kemudian dikemas dalam karung.
Saban hari mereka bergelut dan menghisap debu. Namun, hidup akan terus diisi kendati dengan dampak kesehatan yang demikian jelek. Ar adalah bagian dari itu.(Laporan: Jon Indra dan Vicia Dwi Prakarti.D.B)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar