Terpilihnya Husni Kamil Manik sebagai Ketua KPU Pusat alumni dan kini mahasiswa pascasarjana Unand dan sebelumnya Musliar Kasim mantan rektor Unand sebagai wakil mentri pendidikan dan kebudayaan membuat sebagian besar dosen Unand riang gembira. Telah terbit fajar kebangkitan Unand! Telah lahir “Orang-Orang Besar” Unand yang mengharumkan! Demikian kira-kira sorak-sorai kemenangan itu.
Antusiasme ini tentu menarik perhatian orang lain, sekaligus berbagai pertanyaan. Apakah sebatas ketua KPU Pusat dan wakil mentri sajakah kapasitas “orang-orang besar” Unand? Bagaimana dengan para guru besar dan doktor-doktor lulusan luar negeri yang bergelut di level internasional, namun sepi dari “gosip” nasional atau daerah? Tidakkah mereka juga orang-orang besar Unand? Atau memang adakah “orang besar” Unand itu?
Dalam diskusi kami di Jogya bersama dengan beberapa sejawat Unand yang juga kebetulan sedang di sini karena beberapa keperluan. Terselip pertanyaan yang kadang terlupakan, karena alasan latah atau terlalu memandang diri tinggikah Unand merespon berbagai keluhan, masukan, dan akan kemajuannya?
Jika Wannofri Samry dalam berbagai kesempatan membandingkan kondisi Unand dengan Malaysia yang berkelimpahan buku-buku dan jurnal bermutu di perpustakaan mereka. Maka kita pantaslah iri. Konon lagi, jika Prof. Gusti Asnan, Prof. Damsar, Prof. Edison Munaf, dan para guru besar dan doktor Unand lain yang lulusan Eropa atau Amerika sana. Wah, tentu makin menetes juga air mari kita dibuatnya. Selain perpustakaan mereka yang luar biasa, juga didukung iklim akademik yang memukau [dana riset besar, sebagai hub international network, dan seterusnya]. Sehingga apa mungkin kita mengejar universitas-universitas tersebut oleh kita Unand ini?
Jika menurutkan hati keqanaahaan nrimo maka cukuplah kita melihat ke bawah, yang lebih rendah dari kita dan kita pun merasa yang ter-ter itu [gedung termegah di Asia Tenggara, tertua di luar Jawa, dan seterusnya]. Namun ada juga banyak yang terbangkit nasionalisme keunandannya, “Jika orang lain bisa, kenapa kita tidak?!” Maka sebagai jawaban disodorkanlah berbagai batu loncatan yang bersifat materil; beli ini, beli itu, tambah koleksi ini itu, dan seterusnya. Alhasil dari semua itu, sebagaimana dihembuskan isunya akhir-akhir ini di Unand, yakni mencetak “Orang Besar” dari Unand ini. Apakah ini bukan bagian dari kelatahan? Atau memandang diri terlalu tinggi?
Bagian dari Proses dan Klaim Sejarah
Menurut pandangan saya yang awam, “orang besar” itu bagian dari proses dan klaim sejarah yang dibangunnya. Mereka tidak tercipta begitu saja, sekaliber apapun jua mereka secara intelektual. Atau dari lulusan manapun mereka dulu digodok. Tokh, di sebuah pesantren sederhana di Bandung, seorang Natsir bisa lahir, atau cuma lulusan surau ayahnya HAMKA tidak diragui orang kapasitas keulamaan dan kesastrawanannya. Atau seperti Sjahrir yang cuma lulusan SMA, dapat juga menjadi perdana mentri pertama republik ini dan memiliki pengikut yang luar biasa seperti Prof. Sumitro Djojohadikusumo atau Sudjatmoko, dan seterusnya. Jika demikian, menurut catatan sejarah “orang besar” tersebut, maka terpatahlah “teori materil” yang ingin diusung itu.
Lantas karena pribadi mereka yang memang luar biasa itukah mereka dikenang sebagai “orang besar”? Kalau demikian, maka tidak akan banyaklah kita berharap Unand akan melahirkan orang besar-orang besar itu. Belum tentu orang seperti Natsir, HAMKA, atau Sjahrir lahir dalam 100 tahun ini. Banyak faktor penyebabnya. Salah satunya pertanyaan krusial yang terselip dalam diskusi bersama kolega itu, “sehangat apa iklim akademik dan intelektual” tercipta dari atmosfir Unand kita kini? Salah seorang guru besar Unand tentu dapat mengukur suhu akademik dan intelektual di Unand ini. Apakah hangat, hangat-hangat tai ayam, atau dingin-dingin hidung kucing.
Saya menjadi terbuka pikiran ketika satu waktu salah seorang pejabat/akademikus UGM di Jogyakarta mengungkapkan; bahwa UGM tidak memandang UI, Unpad, ITB, IPB, bahkan Unand sebagai saingan! Dalam benak saya terpancing pikiran apakah UGM merasa diri sebagai yang terbaik di Indonesia? Tapi rasanya tidak mungkin klaim kesombongan itu diungkapkan sebagai penyemangat diri sebagaimana Unand ini selalu bersemboyan besar-besar—seperti dulu orang-orang PKI. Itu bukan khas UGM. Saya pun bertanya dengan penuh selidik apa maksud ungkapan beliau.
Dengan ramah beliau menjelaskan. UGM tidak melihat universitas-universitas itu sebagai saingan, karena untuk apa kita bersaing di rumah sendiri? UGM memandang justru hubungan kemitraan yang mestinya dibuat untuk merangkul. UGM memandang, yang menjadi saingan itu adalah NUS (Singapura), ANU (Australia), Leiden (Belanda), Cornell (AS), Harvard (AS), Oxford (UK), dan sebagainya. Persaingan UGM dengan universitas luar ini tentu tak akan bisa dilakukan tanpa adanya hubungan kemitraan, demikian dijelaskan pejabat/akademikus UGM itu.
Jawaban itu sesungguhnya tamparan bagi Unand. Banyak orang di Unand ribut-ribut ketika UGM atau IPB masuk ke “ranah kita” tanpa permisi. Kita merasa dilangkahi kepalanya, merasa diri mampu melakukannya, tapi keduluan. Sayangnya persoalan ini justru meruncing pada tepuk dada, bukan tepuk jidat untuk merefleksi diri. Buruk muka cermin dibelah.
Bagi saya persoalan isu “orang besar” ini dapat dijawab dengan dua hal. Pertama, jika membaca “teori penciptaan orang besar”, patut dipahami bagaimana ia sebagai proses berjalan dan dimana Unand dapat memainkan perannya. Teori ini seperti posisi arah empat mata angin; Timur-Barat-Utara-Selatan. “Orang besar” dalam empat arah mata angin berada di tengah-tengah (axis). Ia dihimpit oleh empat proses dan dinamika kediriannya berinteraksi dengan empat arah mata angin; jika satu saja mereka terputus, bisa dipastikan akan ada kecacatan.
Maka di sebelah Timur berdirilah sahabat-sahabatnya yang memberi dukungan secara kritis. Di sebelah Barat berjejer para orang-orang yang anti akan dirinya, sehingga selain koreksi dari dalam (Timur), ia juga dipanaskan jua oleh lawan-lawannya secara intelektual/ emosional. Siapa lagi yang terang koreksiannya selain lawan-lawan ide kita? Di sebelah Utara (atas), ia memiliki guru-guru yang menginspirasi dan membuka horizon-horizon wawasan yang tanpa tendensi karena terlalu terpukau oleh fungsinya sebagai pendidik (guru, dosen, mentor, dan seterusnya). Kadangkala, banyak bibit-bibit orang besar akhirnya prematur karena guru atau dosennya yang terlalu binal merecoki pikiran muridnya dengan paradigma pendidikan yang sesat dan menyesatkan sebagaimana peraturan rektor yang entah bagaimana nasibnya itu. Terakhir, di sebelah Selatan (bawah), mereka secara sadar atau tidak membangun murid-murid yang tercerahkan oleh pemikiran dan perilakkunya. Dan karena murid-murid mereka inilah klaim sejarah sebagai “orang besar” itu didapatnya.
Revisi Paradigma
Dalam konteks historis, kebesaran HAMKA atau Natsir atau Sjahrir dapat dijelaskan oleh skema “empat arah mata angin” ini. HAMKA sebagai contoh, di sebelah Timur ia memiliki sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya seperti Natsir, Isa Anshari, H.B. Jassin, dan seterusnya. Di sebelah Timur banyak pengkritiknya seperti Lekra yang menuduhnya plagiat. Sementara di Utara ia memiliki ayahnya HAKA, Zainuddin Labay, Agus Salim, dan sebagainya. Dan di arah Selatan ia memiliki banyak murid-murid seperti Azyumardi Azra, Cak Nur, Fachri Ali, dan murid imajiner seperti Zaiyardam, Zulqayyim, Yudhi Andoni, Donny Sofyan, dan seterusnya. Bukankah murid-muridnya ini yang kemudian membawa nama HAMKA kemana-mana? Menulis dengan tinta emas akan kebesarannya?
Kedua, Unand mesti menciptakan dua iklim yang penuh kehangatan dalam atmosfirnya sebagai institusi pendidikan tinggi—bukan institusi pencetak tenaga kerja! Dua iklim itu sebagaimana saya sebutkan di atas; iklim akademik dan iklim intelektual. Selama ini pembuat kebijakan di Unand terlalu terpana-pana dengan keinginan membuat pustaka lengkap, jaringan internet cepat, jurnal terakreditasi, membuat Badan Penjaminan Mutu (Bapem), membeli milyaran sistem akademik yang mendatangkan kritik, dan seterusnya. Memang itu dibutuhkan dalam menumbuhkan iklim akademik yang baik. Akan tetapi celakanya dalam menumbuhkan iklim ini, Unand sering terseok-seok karena berbagai kendala klasik; dana dan sumber daya manusia.
Tetapi sesungguhnya, yang tak kalah penting adalah menumbuhkan iklim intelektual. Semeriah apa iklim intelektual di Unand? Seberapa mudah mahasiswa mengakses transformasi pengetahuan lewat seminar, diskusi, akses buku-buku baru, datangnya ilmuan-ilmuan asing, dan kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan? Jika dirata-rata, berapa persenkah seminar nasional dan internasional dilakukan di fakultas teknik, fmipa, pertanian, fib, fisip, ekonomi, dan seterusnya setiap bulan atau setiap tahunnya? Cubalah bandingkan dengan UGM sendiri yang tiap minggunya berduyun-duyun orang menghadirinya. Seberapa banyak dosen-dosen Unand memiliki pusat-pusat studi yang berjalan sehat? Dan lebih penting dari itu, sebesar apa apresiasi pimpinan Unand terhadap berkembangnya iklim intelektual ini.
Menurut saya, melahirkan “orang besar” di Unand mesti perlu diukur sebesar apa ia, dan dibanding dengan siapa akan kebesaran itu? Husni Kamil Manik menjadi ketua KPU nasional jelas sebuah prestasi. Apakah karena iklim akademik dan intelektual Unand yang membawanya ke tampuk ketua KPU? Saldi Isra? Musliar Kasim? Apakah mereka “orang besar” yang dilahirkan Unand? Dalam konteks mereka saya lebih mempercayai itu sebagai prestasi semata, tidak dalam konteks “orang besar”. Terlalu jauh dan belum waktunya memberikan penilaian itu. Saya justru takut jika ternyata para mahasiswa Unand yang akan di-DO ribuan itu, jangan-jangan 20 atau 30 tahun lagi justru lebih hebat dan ternama dari nama-nama yang disebutkan di atas. Wallahu’alam.
YUDHI ANDONI
(Mahasiswa Pascasarjana FIB UGM, Jogyakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar