Diiming-imingi gaji besar di Malaysia, Yanti Dewi, 31, terperangkap sindikat perdagangan manusia (human trafficking). Niat mengubah hidup menjadi petaka. Keluarga korban menunggu dengan putus asa. Bagaimana ceritanya?
Wajah kuyu Marnis, 51, terlihat tegang saat menyambut kedatangan sejumlah wartawan Solok di rumahnya di Sawahhilie, Jorong Bungotanjung, Nagari Saoklaweh, Kecamatan Kubung, Kabupaten Solok. Rumah yang lebih pantas disebut gubuk tersebut tampak reyot seperti penghuninya. Dua cucunya berumur 8 dan 5 tahun menggelayut di tubuhnya yang kurus. Wanita paruh baya itu berkali-kali meminta keduanya menepi ke tempat suaminya dan anak-anaknya duduk di ujung ruangan. Namun keduanya tak mau beranjak, dan selalu mencandai iyek (panggilan untuk nenek di Solok) mereka itu.
“Ini kedua anaknya. Sejak amak (ibu, red)-nya ke Malaysia, keduanya sudah seperti anak bagi saya. Seluruh biayanya harus kami tanggung sendiri karena ibunya tidak pernah lagi mengirim uang. Jangankan uang, kabar pun tak pernah lagi kami terima. Entah Yanti masih hidup atau tidak,” ujarnya dengan mata yang mulai berair.
Sejenak, suasana menjadi senyap. Seluruh mata wartawan tertuju pada Marnis yang sedang mengelap air matanya. Dengan sedikit memaksakan diri, Marnis menuturkan kedua cucunya tersebut bahkan tidak pernah mengenal ibunya. Yang tertua ditinggal ibunya saat berumur 4,5 tahun. Sementara yang bungsu harus berpisah dengan ibunya di usia 1 tahun dua bulan, di saat ia masih erat menyusu. Kasih sayang orang tua bagi keduanya semakin kabur saat kedua orang tua mereka memilih berpisah beberapa waktu sebelum keberangkatan Yanti ke Malaysia.
Yanti meninggalkan rumah kelahirannya itu tahun 2008 lalu untuk berangkat menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia. Tanpa modal keterampilan dan pendidikan yang hanya sampai kelas 4 SD, membuat Yanti terperangkap sindikat calo TKI ilegal. Ia terbuai bujuk rayu Nian, 50, calo TKI ilegal yang masih sekampung dengan mereka. Masih segar dalam ingatan Marnis saat Nian datang ke rumahnya di awal tahun 2008. Waktu itu kepadanya Nian meminta agar merelakan anaknya untuk bekerja di negeri jiran. Saat itu Marnis langsung menolaknya.
“Saya sangat takut karena mendengar cerita-cerita (TKI) yang bekerja di Malaysia. Di televisi pun saya melihat sendiri kisah TKI-TKI yang dianiaya di Malaysia. Ada yang disetrika, dipukuli, diperkosa, dihukum mati dan sebagainya. Apalagi anak Yanti masih kecil-kecil, yang bungsu pun masih erat menyusu. Namun rayuan si Nian itu ke Yanti membuatnya berani menolak semua saran orang.
Beberapa hari kemudian, Yanti meninggalkan rumah dan pergi ke rumah Nian. Di rumah Nian, Yanti tidak diperbolehkan keluar rumah. Bahkan beberapa hari kemudian kedua anaknya jatuh sakit. Namun Yanti tidak boleh keluar rumah untuk menengok anaknya. Beberapa hari kemudian, Yanti bertolak dari Saoklaweh ke Dumai menggunakan bus. Setiba di Dumai, ia langsung naik kapal motor untuk menyeberang ke Malaysia menjelang fajar. Setibanya di Malaysia Yanti menelepon orang tuanya melalui ponsel tetangganya.
“Waktu menerima telpon itu, saya bagai tersambar petir. Yanti mengatakan ia sudah di Malaysia bersama si Nian itu. Itu adalah kabar terakhir darinya dan setelah itu, tidak ada kabar lagi hingga sekarang,” ujarnya.
Selama Yanti di Malaysia, Marnis mengaku pernah menerima uang sebanyak dua kali. Pertama Rp200 ribu setelah tiga bulan. Uang kedua diterima sebulan kemudian sebesar Rp500 ribu. Uang tersebut diantarkan Nian ke rumahnya. Saat ditanya pada Nian apa kerja anaknya di sana, Nian menjawab anaknya dipekerjakan di salon. Saat mengantarkan uang kali kedua, Nian menyatakan Yanti sudah pindah bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Ketika ditanya dimana alamat anaknya, Nian menyatakan tidak tahu lagi dimana Yanti bekerja. Hingga saat ini, keberadaan Yanti tidak lagi pernah terlacak. Nian saat ditanya Marnis beberapa kali justru berujar, “Ndak tau”.
“Tak ada lagi kabar yang saya terima. Kemana saya harus mencari. Jangankan ke Malaysia, keluar Sumbar saja saya belum pernah. Saya bodoh, tak pandai tulis baca, tidak pernah sekolah. Hanya ke sawah saya yang bisa,” ujarnya.
Sebagai warga kampung yang miskin, pencarian informasi anaknya dilakukan Marnis ke dukun. Dari “penerawangan” dukun, Yanti dikatakan sangat ingin pulang, namun tidak punya uang. “Penerawangan” dukun juga mengatakan Yanti juga sering menangis ingin pulang. Keterangan dukun tersebut membuat Marnis beriba hati, hingga jatuh sakit. Bayangan anaknya yang “marasai” di negeri seberang membuat mukanya semakin kuyu dan badannya semakin kurus.
”Saya langsung bisa merasakan betapa marasai anak perempuan saya satu-satunya itu. Tapi tak ada yang bisa saya lakukan. Saya hanya berharap anak saya masih hidup dan segera pulang. Lebih baik tetap miskin, tapi bisa bersama-sama. Saya bodoh, tak tahu tempat mengadu. Mudah-mudahan dari adik-adik wartawan ini, anak saya bisa pulang. Kasihan anak-anaknya yang tidak kenal wajah ibunya,” ujarnya seraya kembali menangis.
Kemarin, dengan ditemani belasan wartawan Kota dan Kabupaten Solok, Yanti melaporkan kasus tersebut ke Mapolsek Kubung Kabupaten Solok. Di LP No: LP/114/V/2012/Sek Kubung, tertanggal 28 Mei 2012, Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Iptu Jon Virwan menyatakan laporan tersebut langsung diteruskan ke Mapolres Arosuka. Ia menyatakan kasus ini telah mengarah pada Human Trafficking (perdagangan manusia) dengan modus TKI ilegal. Lebih lanjut ia meyakini perkara ini akan masuk ke Polda Sumbar, karena sudah termasuk pada tindak pidana khusus (Pidsus). (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar