KOMPAS/LUCKY PRANSISKAYusril Ihza Mahendra
Yusril Ihza Mahendra, salah satu kuasa hukum dari Granat (Gerakan Nasional Anti Madat), menyatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bukan hanya memberikan grasi pada Corby, tapi juga untuk Peter Achim Franz Grobmann. Peter adalah pria warga negara Jerman terpidana lima tahun penjara kasus narkoba di Bali.
"Tak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi kepada dua warga asing," kata Yusril melalui rilisnya padaKompas.com.
Peter ditangkap petugas Bea Cukai Ngurah Rai, Bali, pada 10 Maret 2010, sesaat setelah turun dari pesawat. Peter yang hendak berlibur ke Bali dan Papua Niugini kedapatan menyimpan ganja seberat 2,2 gram di dalam tas kopernya. Ia mengajukan grasi lantaran tidak puas dengan keputusan kasasi yang memvonisnya 5 tahun penjara. Di tingkat banding, Peter divonis 4 tahun penjara.
Dalam amar putusan kasasi, Peter dinilai melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun, ia juga didenda Rp 800 juta subsider 6 bulan penjara.
Oleh karena itu, kata Yusril, Granat akan menggugat dua keputusan grasi yang diberikan Presiden tersebut, hari ini, Kamis (7/6/2012). Menurutnya, Keputusan Presiden (Keppres) tentang grasi adalah keputusan pejabat tata usaha negara yang dapat dijadikan sebagai obyek sengketa di PTUN. Keppres tersebut memenuhi syarat untuk digugat karena sifatnya yang individual, kongkret, final dan membawa akibat hukum.
"Keppres bukanlah bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Karena itu, bagi siapa saja yang merasa dirugikan dengan Keppres tersebut, mereka mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat Presiden ke PTUN," jelas Yusril.
Keputusan tata usaha negara ini juga, tutur Yusril, dapat dibatalkan oleh PTUN apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keppres pemberian grasi kepada narapidana narkotik ini, menurutnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Narkotika dan PP No 28 tahun 2006 tentang Pengetatan Pemberian Remisi kepada Narapidana Korupsi, Terorisme, Narkoba, dan Kejahatan Trans-nasional Terorganisir.
"Pemberian remisi itu juga bertentangan dengan asas kehati-hatian, keterbukaan, profesionalitas dan akuntabilitas sebagai ciri-ciri dari asas-asas umum pemerintahan yang baik," ujarnya.
Yusril menduga, Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi kepada narapidana sindikat narkotik lainnya secara diam-diam, bukan hanya kepada Corby dan Grobmann. "Dengan keberadaan beberapa grasi yang diberikan ini maka semua penjelasan Menkumham dan Wamenkumham mengenai pemberian grasi, khususnya terkait kepentingan hubungan dengan Australia sia-sia saja," tegasnya.
Terakhir, Yusril menyatakan tak terpengaruh dengan pernyataan Wamenkumham Denny Indrayana yang mengatakan siap menghadapi dirinya di PTUN. Menurutnya, Denny belum tentu akan menjadi kuasa hukum Presiden di pengadilan.
"Denny tidak punya pengalaman jadi pengacara. Bahkan terkesan dia tidak paham hukum acara PTUN," tandas Yusril.
http://nasional.kompas.com
"Tak banyak masyarakat yang mengetahui bahwa Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi kepada dua warga asing," kata Yusril melalui rilisnya padaKompas.com.
Peter ditangkap petugas Bea Cukai Ngurah Rai, Bali, pada 10 Maret 2010, sesaat setelah turun dari pesawat. Peter yang hendak berlibur ke Bali dan Papua Niugini kedapatan menyimpan ganja seberat 2,2 gram di dalam tas kopernya. Ia mengajukan grasi lantaran tidak puas dengan keputusan kasasi yang memvonisnya 5 tahun penjara. Di tingkat banding, Peter divonis 4 tahun penjara.
Dalam amar putusan kasasi, Peter dinilai melanggar Pasal 112 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain dijatuhi hukuman penjara selama 5 tahun, ia juga didenda Rp 800 juta subsider 6 bulan penjara.
Oleh karena itu, kata Yusril, Granat akan menggugat dua keputusan grasi yang diberikan Presiden tersebut, hari ini, Kamis (7/6/2012). Menurutnya, Keputusan Presiden (Keppres) tentang grasi adalah keputusan pejabat tata usaha negara yang dapat dijadikan sebagai obyek sengketa di PTUN. Keppres tersebut memenuhi syarat untuk digugat karena sifatnya yang individual, kongkret, final dan membawa akibat hukum.
"Keppres bukanlah bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku umum. Karena itu, bagi siapa saja yang merasa dirugikan dengan Keppres tersebut, mereka mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat Presiden ke PTUN," jelas Yusril.
Keputusan tata usaha negara ini juga, tutur Yusril, dapat dibatalkan oleh PTUN apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Keppres pemberian grasi kepada narapidana narkotik ini, menurutnya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Narkotika dan PP No 28 tahun 2006 tentang Pengetatan Pemberian Remisi kepada Narapidana Korupsi, Terorisme, Narkoba, dan Kejahatan Trans-nasional Terorganisir.
"Pemberian remisi itu juga bertentangan dengan asas kehati-hatian, keterbukaan, profesionalitas dan akuntabilitas sebagai ciri-ciri dari asas-asas umum pemerintahan yang baik," ujarnya.
Yusril menduga, Presiden Yudhoyono telah memberikan grasi kepada narapidana sindikat narkotik lainnya secara diam-diam, bukan hanya kepada Corby dan Grobmann. "Dengan keberadaan beberapa grasi yang diberikan ini maka semua penjelasan Menkumham dan Wamenkumham mengenai pemberian grasi, khususnya terkait kepentingan hubungan dengan Australia sia-sia saja," tegasnya.
Terakhir, Yusril menyatakan tak terpengaruh dengan pernyataan Wamenkumham Denny Indrayana yang mengatakan siap menghadapi dirinya di PTUN. Menurutnya, Denny belum tentu akan menjadi kuasa hukum Presiden di pengadilan.
"Denny tidak punya pengalaman jadi pengacara. Bahkan terkesan dia tidak paham hukum acara PTUN," tandas Yusril.
http://nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar