Ditulis oleh Teguh
Perlu dilakukan penelitian baru mengenai kekerasan yang dilakukan militer Belanda semasa perjuangan kemerdekaan di bekas jajahan Hindia-Belanda. Demikian tiga institut penelitian terkemuka Belanda. Juga ilmuwan Indonesia harus dilibatkan dalam penelitian.Akhir tahun lalu, hampir 70 tahun setelah kejadian tersebut, pemerintah Belanda resmi mengajukan permohonan maaf dan memberi ganti rugi atas pertumpahan darah di desa Rawagede, Jawa Barat. Dalam operasi perburuan terhadap seorang pejuang kemerdekaan, militer Belanda menembak mati 120 laki-laki. Namun pihak Indonesia menyebut 431 korban jiwa.
Ini bukan satu-satunya pembantaian massal yang dilakukan militer Belanda. Di Sulawesi Selatan, mereka membunuh ratusan orang.
Obyektif
Walaupun kejahatan perang ini sudah umum diketahui, tapi masih perlu dilakukan penelitian lebih jauh, kata pakar sejarah Gert Oostindie.
“Kejahatan perang itu sedikit demi sedikit terungkap dasawarsa belakangan. Kadangkala pemerintah Belanda juga mengakui militernya bersalah melanggar hukum perang, seperti dalam kasus Rawagede. Tapi gambaran menyeluruh tidak ada. Akibatnya orang mengambil kesimpulan masing-masing.”
Gambaran lengkapnya tidak ada karena selama beberapa dasawarsa lamanya Belanda sengaja tidak melakukan penelitian tentang masa kelam ini, kata Oostindie.
“Sementara pihak Indonesia membutuhkan waktu sangat lama sebelum akhirnya mengatakan: ‘Kami harus memandang secara obyektif apa yang terjadi ketika itu.’ Baik di Belanda maupun di Indonesia ada ruang untuk memandang kejadian tersebut bersama-sama. Ini bukan menyangkut ekses yang dilakukan militer Belanda. Juga di pihak Indonesia dan antara orang Indonesia sendiri terjadi banyak hal.”
Pengacara Liesbeth Zegveld, yang mendampingi sanak saudara korban Rawagede, dalam harian pagi Belanda de Volkskrant mempertanyakan apa yang akan bisa dihasilkan penelitian baru itu, kini kebanyakan orang yang terlibat langsung sudah tidak ada lagi.
Di sisi lain, jarak dan waktu juga bisa menghasilkan sesuatu yang positif. “Baru sekarang mungkin melakukan ini bersama-sama, Belanda dan Indonesia. Rekan-rekan saya di Indonesia juga menaruh minat besar, sementara di periode Soeharto tidaklah mungkin untuk mempertanyakan secara kritis peran Indonesia.”
De Volkskrant mengutip sejarawan Bambang Purwanto yang menyebutnya “ide gemilang” terutama karena di Indonesia sedang disusun karya standar sejarah sendiri.
Tindakan Keji
“Juga tidak dipikirkan secara sistematis soal pertanyaan mengapa bisa terjadi militer atau warga sipil dalam situasi tertentu bertindak begitu kejam,” lanjut Oostindie. Pertanyaan itu, menurut sejarawan ini, juga relevan di masa kini. “Lihat saja misi Belanda di Afghanistan.”
Belanda menamakan aksi Belanda terhadap kaum nasionalis Indonesia “aksi polisional”. “Kami memandang bekas Hindia Belanda sebagai milik kami. Karena itu kami tidak mau menyebutnya perang,” demikian Oostindie.
Setelah perjuangan lebih dari tiga tahun, yang menelan korban jiwa sekitar 150.000 warga Indonesia, akhirnya pada 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan pada Indonesia. (http://www.rnw.nl)
http://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar