Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cabul artinya keji dan kotor; mencemari kehormatan perempuan. Maka, hal-hal seperti pornografi, erotis, striptis adalah sesuatu perbuatan yang sifatnya keji dan kotor. Karena itu kita harus menangkalnya dalam lingkungan kita yang makin tercemar oleh kecabulan itu.
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mengaku kesal bahwa konten pornografi masih bisa diakses, meskipun sudah memasang penyaring internet. Pemerintah pun saat ini memang masih kesulitan memblokir situs porno atau situs-situs yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal itu disebabkan saat satu situs porno diblokir, akan muncul 10 situs porno yang lain atau bahkan lebih banyak dari situs yang diblokir (Kompas, 3/5/2012).
Dilihat dari penilaian keefektifan, tindakan pemblokiran situs porno oleh pemerintah hanya sekitar 0,1 persen. Hal itu menunjukkan bahwa program Tifatul Sembiring gagal. Dengan kata lain, pornografi di negara yang terkenal beragama ini malah semakin menjadi-jadi. Bahkan, pornografi sudah masuk dikalangan anak-anak sekolah (SMA dan SMP).
Pada masa kini pornografi tidak lagi dianggap tabu, membicarakannya dengan terang-terangan tanpa rasa malu. Orang yang mengoleksi video porno dianggap adalah hal yang biasa. Di tempat pendidikan sering kali anak sekolah tertangkap oleh guru karena menyimpan video porno. Di kampus juga tidak sedikit menemukan mahasiswa yang punya koleksi video porno. Ya, dikoleksi! Miris kita, tapi itu kenyataan.
Pornografi, percabulan, erotis/striptis menjadi pemberitaan hangat di beberapa media belakangan ini. Tak tanggung-tanggung anak dibawah umur pun sudah mengkonsumsi barang haram itu. Hasil penelitian Yayasan Kita dan Buah Hati menyebutkan sejak 2008 hingga 2010, sebanyak 67 persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) kelas 4, 5, dan 6 di wilayah Jabodetabek mengaku pernah mengakses informasi pornografi (vivanews. com, 3/10/2010).
Baru-baru ini, tiga pasang pelajar kedapatan tengah mesum di ‘warung ceper’ di Kampung Tinggam Talu, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat. Hari yang sama, sembilan wanita muda dibekuk polisi beberapa lalu di Padang.
Gejala yang Mengkhawatirkan
Masih segar dalam ingatan kita dua orang penari striptis yang ditangkap disebuah cafe kota Padang. Tiada lagi kepastian dalam membangun lingkungan yang bersih dari perbuatan maksiat. Di daerah pantai padang misalnya, sepertinya sengaja dijadikan lokalisasi. Tenda-tenda ceper sengaja dibuat oleh pemiliknya untuk orang yang berpasangan dengan lampu redup bahkan hampir tidak kelihatan lagi. Jadilah pasangan itu bebas beraksi. Satu lagi, di daerah belakang pondok, ada sebuah “lokasi persinggahan” yang berkedok salon. Satpol PP datang namun hanya sekadar kunjungan saja, lalu pergi.
Pemerintah daerah dalam hal ini Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) harus jujur dalam melaksanakan tugas pokoknya. Satpol PP terkesan pilih kasih dan setengah-setengah dalam razia membersihkan penyakit masyarakat. Anehnya, hari ini suatu daerah dibersihkan, besoknya daerah yang dibersihkan itu beraktivitas kembali dengan kejadian yang sama. Bukankah seharusnya pemilik cafe/lapak tidak berani lagi melakukan hal yang salah itu? Barangkali ada yang sesuatu yang tersembunyi, biasanya ada oknum dibalik itu.
Pemerintah dan masyarakat pun hanya sekadar melakukan pengobatan, lemah dalam pencegahan. “Lebih baik mencegah daripada mengobati” mungkin sekadar jargon. Membangun moral dengan kesungguhan dan kebersamaan mestinya harus terus diuar-uarkan. Lingkungan keluarga, sekolah dan rumah ibadah harus lebih berperan maksimal dalam memecah gelombang percabulan.
Gelombang percabulan di negeri ini harus dipecahkan. Dalam buku Memandu Bangsa (Samuel Tumanggor, 2008) saya sangat terkejut ketika membaca tema berjudul “Memecah Gelombang Percabulan”. Dalam tulisannya mengutip kajian Sony Set, yang mengamati bahwa hal-hal yang tabu bagi industri filem dan televisi tahun 1970-an—berciuman, berpelukan, dan hubungan badan—telah menjadi tayangan ‘wajar’ di tahun 2000-an. “Obrolan tentang seks dan dialog semiporno yang terlarang di mssa dulu,” katanya, “kini menjadi santapan sehari-hari dan diperlukan sebagai kebutuhan komunikasi. Dari 500 lebih film cabul dalam negeri, 90%-nya dibuat oleh mahasiswa dan pelajar (ada yang SMP!).
Lebih lanjut, wawancara Sony Set dengan banyak anak muda mengungkapkan gejala yang amat mengkhawatirkan. Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, seorang pelajar menanggapi risetnya demikian, “Ini sudah trend, Mas. Nggak usah kaget! Ngapain harus nyari filem porno? Bikin sendiri aja, lebih seru! Banyak pula orang Indonesia yang sudah masuk taraf kecanduan percabulan. Kecanduan yang satu ini mampu mengubah “pria baik-baik” jadi monster ganas yang tak terkendali nafsu birahinya. Itulah sebabnya kasus perkosaan di Indonesia kian menjadi-jadi—khususnya terhadap anak kecil, yang sering dilecehkan oleh orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi mereka.
Otak Pria Terbajak
Banyak pengamatan menunjukkan bahwa segala sesuatu tentang pornografi menarik dan mendorong dalam jiwa kaum pria. Pornografi telah merusak banyak pria sampai ke akar-akarnya. Banyak pria dapat menghabiskan waktu berjam-jam melihat pornografi atau video porno, secara terus menerus. Pornografi menyebabkan pria salah mengerti di mana otak mereka sangat rentan terhadap eksploitasi. Pornografi adalah racun seksualitas yang dikonsumsi hingga akhirnya menjadi bagian dari struktur pikiran. Jangan terkejut, pornografi saat ini telah menjadi bagian hidup yang diterima di banyak lingkungan masyarakat (William Struther, Dirancang untuk Keintiman: Bagaimana Pornografi Membajak Otak Pria, 2009).
Tangkal Bersama
Kita tidak bisa sekadar menghalau banyaknya situs-situs porno yang masuk di internet. Perlu usaha yang lebih dalam membentengi masyarakat, keluarga, dan diri sendiri. Orang tua harus lebih peka dan dekat dengan anak-anaknya. Lindungi anak kita dari tontonan televisi yang berbau porno. Kemudian juga orang tua memberikan pengawasan dan batasan kepada anaknya dalam memakai teknologi informasi dan komunikasi (internet dan telepon gengam).
Orang tua juga tak perlu canggung dalam memberitahu anaknya soal seks. Dunia anak dan remaja rasa ingin tahunya sangat tinggi, karenanya peran orang tua sangat penting memenuhi keingintahuan anak itu. Jangan sampai anak kita mencarinya di lingkungan luar yang justru bisa membahayakan.
Para mahasiswa pun perlu menyadari begitu banyak cobaan dan godaan di lingkungan kampus. Mahasiswa atau pelajar harus mencari kegiatan positif sesuai dengan minat masing-masing, jangan biarkan pikiran-pikiran negatif masuk dalam pikiran. Banyak kegiatan di kampus yang bisa mengisi kegiatan positif seperti: kelompok diskusi, menulis, pencinta alam, olahraga, seni dan sebagainya. Bisa dipastikan mahasiswa yang kurang beraktivitas akan mudah terbawa godaan negatif. Sedapat mungkin hindari kegiatan yang tidak bermanfaat terutama perbincangan yang mengarah pada porno.
Penting juga diadakan pendidikan tentang seks atau bahaya pornografi dikalangan masyarakat luas. Pendikan semacam ini bukan untuk memperlihatkan sesuatu yang tidak sopan melainkan untuk memberitahukan apa risiko yang terjadi. Dengan begitu, masyarakat disadarkan bahwa pornografi itu sifatnya ketagihan yang tidak sekadar merusak kesehatan namun juga psikologi/mental. Oleh karena itu, sama-sama kita tangkal bahaya itu di lingkungan sekitar kita.
FEBRONI PURBA
(Pemerhati Masalah Sosial)
(Pemerhati Masalah Sosial)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar