Oleh: Hafidz Muftisany
Hari Raya Idul Adha adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin di seluruh dunia. Kaum Muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah menunggu momen ini sebagai rangkaian puncak ibadah haji.
Hari Raya Idul Adha adalah salah satu momen yang ditunggu-tunggu kaum Muslimin di seluruh dunia. Kaum Muslimin yang sedang menunaikan ibadah haji di Baitullah menunggu momen ini sebagai rangkaian puncak ibadah haji.
Sementara umat Islam yang tidak menunaikan ibadah haji mengamalkan puasa sunah Arafah kemudian berkurban pada hari nasr sesudahnya.
Kurban adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat yang diberikan. Utamanya nikmat pada harihari di bulan Dzulhijjah. Kurban juga menjejak syukurnya Nabi Ibrahim AS atas anaknya yang masih hidup Ismail AS dengan memotong seekor kambing jantan. Ibadah kurban juga diperintahkan Allah SWT, “Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah,” (QS al-Kautsar [108]: 2).
Perintah kurban juga dikuatkan dalam sunah Nabi SAW. Dalil sunah tentang kurban diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa memiliki kemampuan sedangkan dia tidak menyembelih kurban, maka jangan mendekati tempat shalat kami.” (HR Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Hakim).
Dalam riwayat Muslim, Anas bin Malik RA berkata, “Nabi SAW menyembelih kurban berupa dua ekor kambing jantang yang besar dan bertanduk. Beliau menyembelih sendiri keduanya. Ketika menyembelih, beliau membaca basmalah dan bertakbir serta meletakkan kaki beliau di atas sisi tubuh keduanya.”
Momen beryukur dalam kur ban juga tecermin dari diberikannya daging kurban kepada para fakir miskin. Lalu bolehkah daging kurban dibagikan kepada non-Muslim?
Ustaz Ahmad Sarwat dari Rumah Fikih Indonesia menjelaskan, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hal ini. Beberapa kalangan ulama membolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam (ahlu zimmi). Sebagian lain tidak membolehkan.
Ibnu Qudamah mengatakan, boleh hukumnya memberi daging kurban kepada non-Muslim.
Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Imam al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat, daging kurban boleh dibagikan kepada non-Muslim yang fakir miskin. Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.
Al-Laits berpendapat jika daging itu dimasak kemudian non-Muslim dari kalangan ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunah dengan kurban wajib. Kurban wajib di antaranya adalah kurban nazar. Jika daging kurban berasal dari kurban sunah seperti saat Idul Adha karena ada kemampuan, maka boleh daging kurban dibagikan kepada Non-Muslim. Sementara jika kurbannya termasuk wajib maka memberikannya kepada non-Muslim dilarang.
Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat, yang paling kuat adalah kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim. Terlebih kondisi mereka kekurangan. Hikmahnya adalah dengan kebaikan yang diberikan ada nilai positif kepada umat Islam.
Dengan itu siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim. Dalam ahkamul fukaha disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.
Kitab kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini menyebut diperbolehkannya memberikan daging kurban kepada non-Muslim zimmi. Namun, syaratnya daging kurban itu dari kurban sunah bukan yang wajib.
Al-Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya tidak memberikan bagian apa pun dari kurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika seorang fakir miskin Muslim menerima daging kurban, ia tetap tidak boleh memberikan daging tersebutkepada non-Muslim.
Kebolehannya ini dinisbatkan kepada bolehnya memberikan makanan dalam bentuk lainnya kepada mereka. Memberi daging kurban kedudukannya sama dengan memberi sedekah pada umumnya yang hukumnya boleh.
Imam al-Hasan al-Basri, Imam Abu Hanifah, dan Abu Tsaur berpendapat, daging kurban boleh dibagikan kepada non-Muslim yang fakir miskin. Sedangkan Imam Malik berpendapat sebaliknya, beliau memakruhkannya, termasuk memakruhkan bila memberi kulit dan bagian-bagian dari hewan kurban kepada mereka.
Al-Laits berpendapat jika daging itu dimasak kemudian non-Muslim dari kalangan ahlu zimmi diajak makan bersama, maka hukumnya boleh.
Imam Nawawi berpendapat umumnya ulama membedakan antara hukum kurban sunah dengan kurban wajib. Kurban wajib di antaranya adalah kurban nazar. Jika daging kurban berasal dari kurban sunah seperti saat Idul Adha karena ada kemampuan, maka boleh daging kurban dibagikan kepada Non-Muslim. Sementara jika kurbannya termasuk wajib maka memberikannya kepada non-Muslim dilarang.
Ustaz Ahmad Sarwat berpendapat, yang paling kuat adalah kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim. Terlebih kondisi mereka kekurangan. Hikmahnya adalah dengan kebaikan yang diberikan ada nilai positif kepada umat Islam.
Dengan itu siapa tahu menjadi jalan hidayah bagi non-Muslim. Dalam ahkamul fukaha disebutkan ada beberapa pendapat tentang hal ini.
Kitab kumpulan putusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama ini menyebut diperbolehkannya memberikan daging kurban kepada non-Muslim zimmi. Namun, syaratnya daging kurban itu dari kurban sunah bukan yang wajib.
Al-Adza’i menilai, pendapat itu tidak kuat. Mutlak hukumnya tidak memberikan bagian apa pun dari kurban kepada selain Muslim. Bahkan, jika seorang fakir miskin Muslim menerima daging kurban, ia tetap tidak boleh memberikan daging tersebutkepada non-Muslim.
Mantan mufti Mesir Syekh Dr Ali Jum’ah Muhammad ketika ditanya tentang pemberian daging kurban kepada pengungsi non-Muslim, beliau memperbolehkannya.
Diperbolehkan juga menurut beliau memberikan daging kurban keseluruhannya karena mereka sangat membutuhkan. Beda halnya dengan zakat yang hanya boleh diberikan kepada Muslim saja.
Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi berpendapat bolehnya memberikan daging kurban kepada non-Muslim mu’ahad (yang terikat perjanjian dan tunduk kepada negara Islam) maupun yang menjadi tawanan kaum Muslimin.
Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Mumtahanah ayat 8, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Dasar lainnya adalah Nabi SAW pernah menyuruh Asma binti Abu Bakar RA untuk tetap memberikan uang kepada ibunya meski ibunya saat itu masih dalam keadaan musyrik.
Dia boleh diberi daging kurban karena kondisinya yang miskin, atau ada hubungan kerabat atau bertetangga ataupun untuk menarik hatinya. Karena yang terhitung ibadah adalah dalam menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepada- Nya.
Adapun dagingnya, yang paling utama adalah sepertiganya dimakan (oleh yang berkurban), sepertiga dihadiah kan kepada kerabat, tetangga dan teman-teman, dan sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin.
Jika dia melebihkan atau mengurangi dalam pembagian ini atau mencukupkan dengan sebagian saja maka menurut Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi hukumnya tidak apa-apa.
Jika non-Muslim itu adalah kelompok yang memusuhi umat Islam, Lajnah Daimah secara terang melarang memberikannya daging kurban atau sedekah.
Diperbolehkan juga menurut beliau memberikan daging kurban keseluruhannya karena mereka sangat membutuhkan. Beda halnya dengan zakat yang hanya boleh diberikan kepada Muslim saja.
Lajnah Daimah Kerajaan Arab Saudi berpendapat bolehnya memberikan daging kurban kepada non-Muslim mu’ahad (yang terikat perjanjian dan tunduk kepada negara Islam) maupun yang menjadi tawanan kaum Muslimin.
Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam surah al-Mumtahanah ayat 8, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Dasar lainnya adalah Nabi SAW pernah menyuruh Asma binti Abu Bakar RA untuk tetap memberikan uang kepada ibunya meski ibunya saat itu masih dalam keadaan musyrik.
Dia boleh diberi daging kurban karena kondisinya yang miskin, atau ada hubungan kerabat atau bertetangga ataupun untuk menarik hatinya. Karena yang terhitung ibadah adalah dalam menyembelihnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan beribadah kepada- Nya.
Adapun dagingnya, yang paling utama adalah sepertiganya dimakan (oleh yang berkurban), sepertiga dihadiah kan kepada kerabat, tetangga dan teman-teman, dan sepertiganya lagi disedekahkan kepada fakir miskin.
Jika dia melebihkan atau mengurangi dalam pembagian ini atau mencukupkan dengan sebagian saja maka menurut Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi hukumnya tidak apa-apa.
Jika non-Muslim itu adalah kelompok yang memusuhi umat Islam, Lajnah Daimah secara terang melarang memberikannya daging kurban atau sedekah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar