Padang, Singgalang Otonomi nagari di Sumbar masih melahirkan berbagai macam persoalan, khususnya penguasaan sumberdaya dan aset alam milik nagari. Ada berbagai kendala terkait kewenangan mengolah sumberdaya yang perlu didudukkan.
Persoalan ini, pada Rabu (21/9) dibahas secara intensif oleh Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, di FH Unand. Perwakilan dari LBH Padang, LKAAM Padang, Badan Musyawarah Nagari, Kerapatan Adat Nagari (KAN) ikut berkontribusi dalam memecahkan persoalan. Hasil dari diskusi ini direkomendasikan kepada DPD RI untuk ditindaklanjuti. Dari hasil pembahasan, yang dipimpin oleh Saldi Isra dan Kurnia Warman dari Pusako FH Unand, terungkap bahwa peraturan perundang-undangan yang menyangkut sumberdaya alam tidak mengatur secara rinci bagaimana seharusnya hak ulayat itu dikelola. Undang-undang hanya mengakui secara umum keberadaan tanah ulayat. Akibatnya, pengingkaran terhadap hak ulayat masih terbuka. “Celakanya, UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No.14 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, secara terang-terangan tidak mengakui dan mengabaikan adanya hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini terjadi karena pemerintah menganggap hukum adat sudah pudar,” kata Saldi Isra. Diharapkan, pemerintah nagari seharusnya diberi wewenang untuk mengolah sumberdaya yang berada di nagarinya sendiri, karena itu sudah diakui oleh UU No.32 tahun 2004. Namun sayangnya ketika investor masuk, hak ulayat tersebut diabaikan. Hal ini terjadi pada beberapa kasus perusahaan air minum kemasan di Sumbar. Untuk itu, Pusako merekomendasikan kepada DPD RI agar nagari diberi wewenang khusus dan istimewa untuk mengolah sumberdayanya. Pusako meminta adanya penegasan UU dari negara untuk pengolahan sumberdaya oleh pemerintahan nagari. Senada dengan Saldi, Kurnia Warman menilai, DPD RI perlu mendorong pemerintah daerah untuk segera mengidentifikasi dan memetakan hak ulayat masyarakat hukum adat yang ada di wilayahnya. Identifikasi tersebut seyogyanya ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. “Dengan adanya pemetaan ini, potensi konflik terkait hak ulayat bisa dieliminasi. Selain itu, masyarakat hukum adat bersangkutan tak bisa lagi mengklaim secara sepihak keberadaan ulayatnya,” jelas Kurnia Warman. Ia berpendapat perlunya kejelasan tentang pemerintahan nagari karena pengertian nagari berbeda dengan desa di Sumbar. Meski pun pada prinsipnya kedua hal ini sama, namun Kurnia menilai pengertian nagari di Sumbar perlu dibedakan dengan desa yang ada di Jawa dan Madura. Kurnia berharap, seluruh rekomendasi ini bisa dikaji serius oleh DPD RI, yang berujung pada peraturan yang jelas dan rinci tentang kewenangan masyarakat adat untuk mengelola sumberdaya alam di nagarinya. (arif) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar