MUSRIADI MUSANIF
SATU dari beberapa topik hangat di Sumatra Barat kini adalah soal pengembalian uang rapel guru-guru di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag). Perkaranya bermula dari ‘perintah’ lisan tim Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemenag kepada Kepala Kanwil, Kepala Kantor Kamenag kota/kabupaten dan kepala madrasah di lingkungan kementerian itu, agar guru-guru calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan PNS yang diangkat sejak Januari 2007, diperintahkan mengembalikan uang rapel yang mereka terima. Tim Irjen Kemenag yang turun ke Sumbar pada awal 2010 itu ada beberapa orang. Mereka langsung menginterogasi para guru di madrasah (sekolah). Satu persatu guru itu dimintai keterangan. Kepala madrasah dan kepala kantor Kamenag kabupaten/kota asik ketakutan saja. Malah ada seorang kepala madrasah di Padang Panjang yang tega bersekongkol dengan kepala kantor Kamenag menekan pahlawan tanpa tanda jasa dengan ancaman yang sangat mengerikan: kalau belum disetor juga uang itu ke kas negara sebelum saya berangkat menunaikan haji ke Mekah, tanggung sendiri risikonya. Begitu kira-kira ucapan sang kepala kantor kepada puluhan guru yang dikumpulkan di kantornya. Negeri ini benar-benar buncah. Dari beberapa daerah, ada guru yang mau jadi narasumber. Beritanya keluar di koran. Tapi sudah terlanjur. Mereka sudah menyetorkannya ke nomor rekening yang disebut-sebut sebagai kas negara, rekening nomor 501.000.000 sebagai setoran bukan pajak. Selaku wartawan yang bertugas di lapangan, saya menyaksikan betapa kalangkabutnya puluhan guru di Padang Panjang. Di bawah ancaman akan dicabuik tali akinya sebagai PNS oleh pejabat yang seharusnya membela mereka, guru-guru itu kaca-kacai meminjam uang ke sana-ke mari. Koperasi, bank, keluarga dekat adalah sasaran utama mereka untuk mendapatkan uang guna mengembalikan rapel yang telah digunakan untuk pembayar utang. Maklum, selama berstatus guru honor, mereka dibayar dengan tidak manusiawi. Akibatnya, utang bertebaran di mana-mana. Ke sanalah uang rapel itu dibayarkan. Kendati hiba melihat, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa, sebab ketika saya meminta mereka bersedia jadi narasumber dalam pemberitaan yang akan saya buat, mereka semua menolak. Takut akan ditekan pula oleh atasannya. Ini menjadi indikasi, sebenarnya ada persoalan serius dalam hubungan guru-guru di madrasah dengan kepala sekolah dan kepala Kamenag kota/kabupaten di mana mereka bertugas. Dalam konteks ini, tentu perlu investigasi mendalam. Kepala madrasah yang sok mantap dan kepala Kamenag kota/kabupaten yang sok berkuasa, mesti disikat habis. Mereka tidak layak jadi pejabat di situ. Mereka hanya kian memperkeruh wajah lembaga yang mengurusi soal keagamaan masyarakat itu saja. Saya masih teringat, lebih sebulan tim Irjen Kamenag berputar-putar di Sumbar “meneror” para guru yang menerima rapel itu. Padahal uang rapel tersebut tidak mereka nikmati sendiri, hampir seluruh pejabat mulai dari tingkat provinsi sampai madrasah, kecipratan uang itu sebagai tanda terima kasih. Coba tidak diberi, sampai pensiun si guru akan didera tekanan. Cobalah bantah, saya umbar semua bukti. Setelah tim Irjen tersebut keluar dari satu madrasah, “terornya” dilanjutkan kepala madrasah dan kepala kantor Kamenag kota/kabupaten setempat. Bahkan, sebuah kendaraan yang ditumpangi tim irjen tersebut, sempat pula mengalami kecelakaan di jalur Padang Panjang-Bukittinggi, persisnya di Koto Baru karena ada masalah pada rem kendaraan itu. Naluri wartawan saya berkata lain. Ini adalah sebuah kegilaan. Orang Irjen yang tugasnya hanya melakukan investigasi terhadap suatu perkara, malah mengambil keputusan. Mestinya, kalau memang ada penyimpangan di lapangan, mereka tidak memerintahkan perbaikan atas penyimpangan itu. Mereka hanya bertugas melaporkan kepada instansi terkait. Barulah pihak berwenang yang akan menentukan sikap. Ini tidak, mereka pula yang memerintah pengembalian. Lisan pula lagi. Kini apa yang terjadi? Setelah setahun kemudian, batas akhir pengembalian uang rapel yang ditetapkan Irjen, 2 Oktober 2009, baru kita ribut. Rupanya anggota DPR mencium perbuatan keji itu. Bermiliar-miliar rupiah uang para guru yang mereka peroleh dengan tetesan air mata, ternyata hanya mengendap saja di rekening Kemenag. Untuk perkara uang rapel guru di lingkungan Kemenag Sumbar yang diminta lagi itu, kita mendesak DPR untuk serius melakukan investigasi. Selain itu, kita meminta jajaran penegak hukum, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jajaran Kejaksaan segera bertindak. Uang bermiliar-miliar rupiah di rekening dalam setahun, jelas telah menghasilkan bunga yang luar biasa besar. Kepala-kepala madrasah, kepala kantor Kamenag kabupaten/kota dan kepala Kanwil Kamenag Sumbar harus diperiksa. Mereka harus bertanggungjawab atas prilaku mereka meneror para guru, guna mendukung perintah lisan tim irjen untuk mengembalikan uang itu. Sekarang kita menanti, siapa yang akan dulu bertindak antara DPR RI, KPK dan kejaksaan. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar