H. Chun Masido Malang nian nasib bangunan berlantai empat itu. Berdiri di bekas Terminal Pasa Banto, Pasa Bawah, Bukittinggi. Sejak diresmikan pemakaiannya empat tahun lalu, sampai kini nyaris tak bergema. Berbagai upaya sudah dilakukan pengelola mall tersebut, namun tetap saja tak diminati pengunjung. Banyak diantara petak kios didalamnya tak dimanfaatkan. Ada apa sebenarnya yang menyungkup gedung mewah ini. Benarkah kawasan itu sudah kena santuang pilalai? Entahlah. Yang jelas, masyarakat enggan datang ke sana. Padahal, gedung itu dibangun untuk menampung pedagang di Bukittinggi yang kian hari jumlahnya terus membengkak. Ketika Terminal Pasa Banto dipindahkan ke Simpang Aua, awal 1980-an lalu, banyak pedagang yang protes dan tidak bersedia pindah. Bahkan, amai-amai yang menggalas di Pasa Banto waktu itu, melakukan unjuk rasa ke Walikota Bukittinggi, pakai singsingkan kodek bagai. Ketika itu suasananya memang panas. Maklum, menurut pedagang, waktu itu kawasan Simpang Aua (Aur Kuning), sepi dan tidak menjanjikan. Sumpah serapah pun muncrat dari mulut amai-amai itu. Tapi Pemko Bukittinggi tak bergeming. Program pemindahan terminal ke Simpang Aua tetap dilaksanakan. Apa yang terjadi setelah beberapa tahun kemudian? Kawasan Simpang Aua seluas 12 hektar, empat diantaranya terminal, terus berkembang dan maju dengan pesat. Pedagang dan pengunjung menyukai kawasan itu. Bahkan kini, Simpang Aua terkenal sebagai pusat konveksi di Sumatra, sehingga banyak yang beranggapan Simpang Aua adalah ‘tanah abang’-nya Sumatra. Kini sekitar 12.000 pedagang, baik pertokoan, kios maupun kaki lima mengadu nasib di sana , sampai-sampai pelataran terminal ‘dijarah’ untuk lokasi berdagang. Lalu bagaimana dengan nasib Pasa Banto. Begitu terminal dipindahkan, Pasa Banto merana. Pemko lalu membangunan pertokoan dua lantai. Nasibnya tetap tak berubah sepi. Bila malam menjadi tempat transaksi esek-esek oleh sementara kalangan. Bangunan bagian dalamnya bahkan dijadikan tempat buang hajat. Justru itulah pada 2004 lalu, Pemko Bukittinggi mendatangkan investor untuk membangun pusat perdagangan yang lebih elit. Bermodalnya hamper Rp120 miliar, bangunan berlantai empat itu rampung pada 2006, dan tahun 2007 diresmikan pemakaiannya. Tapi, bangunan yang menurut perjanjiannya setelah 30 tahun operasional itu menjadi milik Pemko Bukittinggi, tetap saja merana. Bak karakok tumbuah di batu, hidup segan mati pun tak hendak. Dari seluruh lebih 1.000 petakan kios yang dibangun tidak sampai 20 persennya yang beroperasi atau termanfaatkan sebagai tempat berdagang. Entah kenapa, pedagang lebih suka di pasar tradisional Pasa Bawah atau pasa Simpang Aua yang sudah terlanjur ramai. Mall megah Bukittinggi Trade Centre (BTC) ini, nyaris tak dilihat. Pihak pengelola sudah mendatang artis baik lokal maupun ibukota untuk menarik perhatian masyarakat. Bahkan berbagai permainan diadakan. Terakhir upaya memberikan tempat berdagang gratis kepada calon penghuni kios selama satu tahun, sebagai bentuk promosinya. Hasilnya sama saja, BTC tetap sepi. Hebatnya, di kaki bangunan itu tepatnya pada sisi depan jalan Soekarno-Hatta, ramai pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya. PKL ini terutama hari pekan, Rabu dan Sabtu, bahkan badadincik. Mereka menggelar sayuran, buah-buahan dan hasil tanaman lainnya. Kondisi ini memang sangat kontras dengan gedung megah nan sepi di samping gelaran dagang kaki lima tersebut. Rasanya cukup sudah upaya pengelola BTC untuk meramaikan gedung ini. Mau apa lagi? Di sana ada tempat parkir yang memadai. Lokasinya juga strategis, yakni di pusat kota. Sepertinya tidak ada yang salah. Hanya saja masyarakat belum meliriknya. Apakah ini yang dimaksud dengan kena santuang pilalai? Entahlah. Yang jelas banyak amai-amai yang terpaksa pindah ke pasa Simpang Aua mengeluarkan sumpah serapahnya. Apakah sumpah serapah amai-amai itu yang terkabul? Juga tidak jelas. Mungkin salah satu solusinya yang harus dijalankan Pemko adalah menutup habis parkir kendaraan di sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan, dan mengarahkannya agar di parkir di BTC. Ini memang perlu ketegasan. Seluruh kendaraan pemilik toko di Soekarno-Hatta dan Perintis Kemerdekaan diwajibkan parkir di BTC. Kedua ruas jalan itu juga sering macet dengan banyaknya kendaraan yang parkir di kiri kanannya. *** |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar