TATAPAN mata Fatmawati (27) penuh curiga saat Haluan menyapa dan mengajaknya berbincang-bincang. Sebab menurutnya, ditanya terkait kegiatannya tak akan ada ujungnya kalau hanya sebatas bertanya saja.
“Lai ado bantuan untuak awak Pak, kok ditanyo sajo panek awak dek nyo. Labiah rancak awak manjojokan galeh ko lai,” kata wanita beranak empat ini sembari menyusun ulang tumpukan kacang ramang dan pisang rebus, lepat, telur asin dan lain sebagainya yang disusunnya di dalam sebuah nampan bundar.
Apa yang disebutkan wanita yang akrab disapa Fat ini, bukan tanpa alasan. Menurutnya kalau berjualan menyusuri jalan utama Kota Padang selama satu jam, setidaknya dia bisa mengantongi sebesar Rp25.000. Namun kalau waktu tersebut hanya habis untuk berbicara, tentu jadwal pulangnya ke rumah juga akan terlambat.
Waktu bagi istri Malin ini memang sangat berharga. Ia tinggal di Kampuang Paneh Sigauang, Sicincin, tentu membuatnya harus berpacu dengan senja untuk sampai ke rumah.
Terkadang, ia juga harus berbelanja kebutuhan sehari-hari dan memasak untuk suami dan anak-anaknya, sehingga Fatmawati tak mau waktunya hanya tersita untuk berbincang-bincang saja tanpa jelas apa manfaat yang bisa didapatkannya.
Fatmawati memang pantas bicara menyangkut waktu dan manfaat, karena apa yang dilakukannya sejak setahun belakangan merupakan sebuah perjalanan yang harus dilakukannya demi mencukupi kebutuhan keluarganya. Apalagi suaminya hanya bekerja sebagai seorang petani di kampungnya.
Meski terlahir dan besar dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun hal itu tak mengganjal Fatmawati untuk tetap berusaha. Baginya, berusaha jauh lebih bermanfaat ketimbang hanya menunggu bantuan dari pemerintah.
“Awak tantu indak munafik kalau bantuan sangek dibutuhkan. Tapi kalau hanyo manunggu, labiah rancak manggaleh. Apolai nan ditunggu alun jaleh turunnyo,” kata dia dengan lugu.
Bekerja sebagai pedagang keliling yang harus meninggalkan anak dan suami bagi Fatmawati bukanlah sebuah pekerjaan ringan, apalagi dia harus meninggalkan rumah sejak pukul 07.00 WIB dan baru pulang kembali ke rumah sekitar pukul 19.30 WIB.
Selama rentang waktu itu pula, Fatmawati menyusuri meter demi meter jalanan utama di Kota Padang. Mulai dari Ulak Karang, Khatib Sulaiman, kawasan GOR H Agus Salim hingga ke Jalan Sudirman, disusuri Fatmawati dengan berjalan kaki.
Meski berdagang di luar daerah, namun itu tak menjamin dagangannya habis di tangan pembeli. Sebab, semuanya tergantung cuaca.
“Kalau hujan awak indak bisa bajalan, jadi otomatis diam di satu tampek. kalau iko nan tajadi, alamaik rasaki akan suruik. Padahal, kalau galeh habih kasadonyo, untuang nan awak dapek indak labiah dari Rp80.000 dan itu harus dipotong jo ongkos oto,” katanya merinci.
Waktu bagi Fatmawati memang berarti, karena tak tepat waktu alamat dia harus menanggung rugi. Sebab, semua dagangan yang dibawanya tidaklah buatan sendiri, namun punya orang yang harus dibayar begitu pulang ke rumah.
“Kalau habih lai untuang, kalau indak laku yo buntuang awak diak,” katanya tersenyum kecut.
Meski tak pernah menyandarkan hidupnya untuk menerima bantuan dari pemerintah, namun Fatmawati tidak menampik dia sangat membutuhkannya. Karena selain biaya hidup yang semakin tinggi, kebutuhan sekolah anaknya yang empat orang pun mulai besar dari waktu ke waktu.
“Sampai kini, awak indak tahu nan namonyo gakin, raskin dan lain sebagainyo. Nan ado baru jamkesmas itu pun ateh namo amak,” katanya mengakhiri. (Laporan Gustedria Chaniago)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar