MUHAMMAD BAYU VESKY
ailala kutang barendo
nan tampuruang sayak babulu
lah tamanuang gaek agogo
takana mudo dahulu.
saroman sajo kasadonyo
baiak jantan baiak batino
dek tak tantu ujuang pangkanyo
sansaro juo jadinyo...
Inilah penggalan lagu yang hafal oleh hampir semua orang sampai sekarang. Di dekade 1970-an silam, album ‘Kutang Barendo’ yang didendangkan Melati, penyanyi Minang asal kaki Gunuang Sago, Nagari Situjuah Ladang Loweh, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Limapuluh Kota, meledak di pasaran.
Pencipta ‘Kutang Barendo’, adalah Almarhum Rasyd Efendi Dt. Bagindo Bodi. Datuak Bagindo, merupakan orangtua laki-laki Melati. Semenjak berusia 5 tahun, Melati sudah turun naik panggung. Dia tidak tamat sekolah dasar. Hanya sampai Kelas III saja.
“Di usia 11 tahun, saya sudah rekaman. Album perdana saya, judulnya ‘Cinto Nan Suci’ pada 1975,” ujar Melati, kepada Singgalang Senin (14/11) di kediamannya.
Rumah bertingkat dua yang didiami Melati bersama empat anak-anaknya saat ini, merupakan royalty dari Tanama Record Padang pada 1997 silam. Jelang Singgalang mendatangi kediamannya yang terletak lebih kurang 25 kilometer dari jantung Kota Payakumbuh, janji wawancara sebenarnya sudah semenjak dua pekan terakhir dikabarkan.
Tapi, karena sering pulang tengah malam selepas berdendang, Melati nyaris tidak punya waktu luang. Maklum, hingga hari ini nama Melati masih ‘harum’. Agak berbeda bila dibandingkan dengan gaung penyanyi Minang lain yang berangsur tenggelam dilindas zaman. “Nah, pada 1977, album saya bertambah menjadi 7 buah. Termasuk ‘Kutang Barendo’. Inilah album yang paling booming,” sambung wanita kelahiran 1964 tersebut.
Dengan demikian, jadilah bagi Melati, ‘Kutang Barendo’ bukan sekadar dendang, tapi, inspirasi untuk berkarya di atas kepingan music VCD Minang. Buktinya, hingga 2011 ini, album Melati sudah mencapai hitungan 400.
Adapun maksud ‘Kutang Barendo’ menurut dia bukanlah bercerita tentang Be-ha (Bra- dari Bahasa Belanda-red) atau pakaian dalam wanita. Namun kutang di sini, merupakan pakaian kaum ibu Minangkabau zaman doeloe.
“Antah manga gadih jo bujang/ Bairiang-iriang nyo baduo. Talingo samo basubang/ Imitasi nan dipakainyo. Lailala kutang barendo/ Tampuruang sayak babulu/ Rancak manjadi sopir oto/ Tiok bulan ba ibuk baru,” untuk mecairkan suasana wawancara, Melati spontan mendendangkan ‘Kutang Barendo’.
Merdu benar kedengarannya. Lebih indah dibandingkan lagu anak layangan (alay) zaman sekarang.
Lebih lanjut dikisahkan Melati, bila diinap-inapkan, lirikan lagu ‘Kutang Barendo’ yang menghantarkannya manggung ke beragam negara di Asia serta seluruh daerah di Indonesia, diciptakan almarhum ayahnya untuk menyindir tingkah laku anak muda zaman sekarang. Betapa gamangnya orangtua melihat perangai anaknya. Ada lelaki yang meniru wanita, pun wanita meniru laki-laki.
Orang biasa
Tidak hanya bercerita tentang ‘Kutang Barendo’. Dalam kesempatan itu, Melati juga membagi suka duka hidupnya, semenjak melangkah menjadi pedendang, tidak tamat sekolah dan dinikahi dua orang laki-laki. “Saya itu hanya orang biasa. Sekolah saja tidak tamat. Hanya sampai kelas III SD. Bagaimana mau belajar, pulang berdendang saja sudah pagi buta,” ulas Melati.
Kendati tidak mempunyai ijazah SD, namun Melati kecil tidaklah sedih. Sebab, di kampung cerita ‘Si Bungsu’ karangan Makmur Hendrik itu, masih banyak teman sebayanya yang senasib dengan dia.
“Kata ayah, kalau sudah pandai mencari uang, tidak perlu sekolah lagi. Nah, saat kelas II sampai kelas III SD, jujur saja, uang saya cukup dari hasil berdendang,” paparnya dengan polos.
Dicerai
Bertahun-tahun berdendang, akhirnya di usia 19 tahun, Melati dilamar oleh kekasihnya Indra. Indra, merupakan pemuda Ladang Loweh. Tidak berjarak jauh rumah Melati dengan rumahnya. Al-hasil, lamaran Indra direspon baik oleh kedua orangtua Melati. Baik itu almarhum seniman Situjuah Rasyd Efendi Dt. Bagindo Bodi maupun orang tua perempuannya Syamsurilas,70.
Pernikahan Melati dengan Indra pada 1983, ternyata tidak bertahan lama. Karena terjadi silang sangketa dalam rumahtangga, serta tidak bisanya membangun rumahtangga dengan baik, akhirnya mereka bercerai pada 1989. Enam tahun bersama Indra, Melati dikarunia seorang anak laki-laki. Nama darah dagingya itu Ibang,25. Kini, bekerja di rantau orang.
Tidak tahan lama-lama menyandang status janda, akhirnya pada 1990 Melati dilirik lelaki asal Tanah Datar bernama Isur. Perkenalannya dengan Isur, berawal dari atas panggung, sewaktu tampil bersama personel group music tradisional ‘Taruna’, warisan almarhum ayahnya.
“Saya dilamar juga saat itu. Tahun 1990 saya menikah dengan Isur,” ulas dia.
Sekian lama menjalin rumahtangga dengan Isur, Melati sudah membulatkan keyakinannya, kalau tipikal Isur bukanlah seperti mantan suaminya Indra. “Awalnya, Isur itu sangat pengertian. Dia tidak banyak masalah. Kami saling berbagi. Makanya sayang saya itu tumbuh kepada dia. Tapi, genap 14 tahun berumahtangga, kami didera nestapa,” kenang Melati.
Nestapa yang dia maksud adalah, rumahtangganya tiba-tiba goyang. Pada 2004, dia dan Isur terlibat perselisihan dan tidak berkeenakan hati, hingga akhirnya luka lama Melati berdarah lagi. Untuk kali yang kedua, dia ditinggal cerai oleh suaminya.
“Saya memang pedendang. Tapi, bagi saya harga diri nomor satu. Waktu itu saya bercerai lagi,” kenang dia.
Selama 14 tahun bersama Isur, Melati dikaruniai oleh Allah tiga orang anak wanita. Mereka Rani, Dinda dan Aisyah. Tidak hanya memiliki empat orang anak dari dua suami, keluarga besar Melati juga bertambah seorang lagi setelah Rani, anak keduanya, menikah dan memiliki seorang anak pula. Kini, Melati sudah punya cucu.
Risih
Di akhir perbincangannya, Melati mengaku agak risih sekaligus sedih, melihat perjalanan musik Minang di mata masyarakat dan pelaku musik itu sendiri. Dia mencontohkan, saat ini seniman Minang, lebih cenderung mengkolaborasikan musik tradisional dengan digital. Padahal, secara ke-adaban pola seperti itu serasa instan.
“Saya tidak punya misi apa-apa. Tapi, saya agak malu, risih, sedih dan serasa kena tampar, melihat gaya bermusik Minang saat ini. Orang-orang dengan gampang, mengaduk musik Minang dan dendang dengan organ tunggal. Padahal, itu musik warisan nenek moyang. Apa salahnya, kalau mau berdendang pakai saja alat tradisional seperti kecapi, saluang, gendang dan krinciang. Itu lebih enak didengar,” tandas Melati, sembari menawarkan segelas kopi. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar