SAWIR PRIBADI
‘Jika tidak terlalu penting, janganlah lewat di Sitinjau Lawik’. Agaknya kalimat seperti ini tidaklah berlebihan dalam kondisi sekarang. Karena siapa saja yang lewat di tanjakan sepanjang 7 kilometer itu dipastikan akan menemui antrean macet berjam-jam.
Ya, kalau bersikeras juga untuk melewati jalur itu, maka harus memiliki kesabaran yang tinggi dan tidak memiliki kepentingan mendesak. Di tanjakan itu, sudah pasti ditunggu oleh ratusan kendaraan bermotor yang menunggu kendaraan bermotor lain dari arah berlawanan.
Saat ini tengah berlangsung perbaikan jalan di dua titik persis pada tanjakan berbahaya Sitinjau Lawik. Titik pertama berada pada posisi antara Taman Hutan Raya Bung Hatta dengan Kelok ‘S’ atau menjelang panorama 2 dari arah Padang. Sedangkan titik kedua, persis di tanjakan berbahaya selepas panorama 2 tersebut.
Guna mengalirkan kendaraan, sejumlah pemuda melakukan pola buka-tutup. Sayangnya pola itu tidak diawasi dan tidak dilakukan dengan pertimbangan logis. Kendaraan yang sedang dialirkan, dilewatkan seluruhnya. Jika ada kendaraan yang tengah menanjak sekitar dua ratus unit, dialirkan seluruhnya dulu, baru dibuka pula yang dari arah berlawanan. Kondisi inilah yang membuat lamanya antrean.
Seorang teman, Senin kemarin mau menghadiri suatu pesta penikahan di Solok. Berangkat pagi-pagi benar dari Padang dengan harapan bisa kembali siang. Tapi apa hendak dikata, di Indarung ia sudah menemukan ujung antrean.
Bayangkanlah antrean dari Sitinjau Lawik sampai ke Indarung. Akhirnya sang teman urung ke Solok, lantas balik kanan saja untuk kembali ke kantor.
Begitu juga seorang warga Solok Selatan yang ingin membezuk familinya yang tengah dirawat pada salah satu rumah sakit di Padang telah menemukan ekor antrean tidak jauh dari Lubuk Selasih. Barangkali kalau diukur jarak dari tempat penutupan jalan hingga ujung antrean sekitar 5 hingga 6 km. Luar biasa!
Inilah realita yang ada. Pengerjaan jalan di Sitinjau Lawik tidak dibarengi dengan dukungan pihak berkompeten lain. Harusnya yang mengendalikan sistem buka tutup tersebut adalah polisi atau petugas Dinas Perhubungan berpakaian seragam, bukan para pemuda. Pola yang diberlakukan harusnya mengalirkan beberapa jumlah tertentu, setelah itu tutup untuk mengalirkan dari arah berlawanan. Umpamanya dialirkan sepuluh atau lima belas unit kendaraan saja, setelah itu tutup dan begitu selanjutnya. Dengan pola demikian, kemacetan tidak meluber hingga berkilo-kilo meter panjangnya.
Kondisi yang terjadi sekarang sangat merugikan pengguna jalan. Tidak saja kerugian soal waktu, tetapi juga materi. Setidaknya kendaraan bermuatan berat yang datang dari arah Padang akan mengalami haus kopling.
Selain itu, yang paling penting adalah sangat rawan. Bayangkan, kendaraan yang datang dari arah Solok harus parkir menunggu antrean berjam-jam dibayang-bayangi maut. Sebelah kanan terdapat bukit labil, sedangkan di kiri ada jurang dalam yang menganga. Bukit tersebut suatu waktu bisa saja longsor, sekaitan dengan musim hujan saat ini.
Cara lainnya adalah dengan melarang truk melewati jalur itu. Truk-truk bermuatan apa saja dialihkan melewati Lembah Anai dan terus ke Singkarak.
Karena itu, kepada pimpinan Kepolisian Kota Padang dan Dinas Perhubungan diharapkan menempatkan anggotanya di sana untuk mengatur lalu lintas. Kita tidak ingin mendengar ada korban di Sitinjau Lawik lantaran menunggu antrean yang berjam-jam itu. (*)(SINGGALANG)
‘Jika tidak terlalu penting, janganlah lewat di Sitinjau Lawik’. Agaknya kalimat seperti ini tidaklah berlebihan dalam kondisi sekarang. Karena siapa saja yang lewat di tanjakan sepanjang 7 kilometer itu dipastikan akan menemui antrean macet berjam-jam.
Ya, kalau bersikeras juga untuk melewati jalur itu, maka harus memiliki kesabaran yang tinggi dan tidak memiliki kepentingan mendesak. Di tanjakan itu, sudah pasti ditunggu oleh ratusan kendaraan bermotor yang menunggu kendaraan bermotor lain dari arah berlawanan.
Saat ini tengah berlangsung perbaikan jalan di dua titik persis pada tanjakan berbahaya Sitinjau Lawik. Titik pertama berada pada posisi antara Taman Hutan Raya Bung Hatta dengan Kelok ‘S’ atau menjelang panorama 2 dari arah Padang. Sedangkan titik kedua, persis di tanjakan berbahaya selepas panorama 2 tersebut.
Guna mengalirkan kendaraan, sejumlah pemuda melakukan pola buka-tutup. Sayangnya pola itu tidak diawasi dan tidak dilakukan dengan pertimbangan logis. Kendaraan yang sedang dialirkan, dilewatkan seluruhnya. Jika ada kendaraan yang tengah menanjak sekitar dua ratus unit, dialirkan seluruhnya dulu, baru dibuka pula yang dari arah berlawanan. Kondisi inilah yang membuat lamanya antrean.
Seorang teman, Senin kemarin mau menghadiri suatu pesta penikahan di Solok. Berangkat pagi-pagi benar dari Padang dengan harapan bisa kembali siang. Tapi apa hendak dikata, di Indarung ia sudah menemukan ujung antrean.
Bayangkanlah antrean dari Sitinjau Lawik sampai ke Indarung. Akhirnya sang teman urung ke Solok, lantas balik kanan saja untuk kembali ke kantor.
Begitu juga seorang warga Solok Selatan yang ingin membezuk familinya yang tengah dirawat pada salah satu rumah sakit di Padang telah menemukan ekor antrean tidak jauh dari Lubuk Selasih. Barangkali kalau diukur jarak dari tempat penutupan jalan hingga ujung antrean sekitar 5 hingga 6 km. Luar biasa!
Inilah realita yang ada. Pengerjaan jalan di Sitinjau Lawik tidak dibarengi dengan dukungan pihak berkompeten lain. Harusnya yang mengendalikan sistem buka tutup tersebut adalah polisi atau petugas Dinas Perhubungan berpakaian seragam, bukan para pemuda. Pola yang diberlakukan harusnya mengalirkan beberapa jumlah tertentu, setelah itu tutup untuk mengalirkan dari arah berlawanan. Umpamanya dialirkan sepuluh atau lima belas unit kendaraan saja, setelah itu tutup dan begitu selanjutnya. Dengan pola demikian, kemacetan tidak meluber hingga berkilo-kilo meter panjangnya.
Kondisi yang terjadi sekarang sangat merugikan pengguna jalan. Tidak saja kerugian soal waktu, tetapi juga materi. Setidaknya kendaraan bermuatan berat yang datang dari arah Padang akan mengalami haus kopling.
Selain itu, yang paling penting adalah sangat rawan. Bayangkan, kendaraan yang datang dari arah Solok harus parkir menunggu antrean berjam-jam dibayang-bayangi maut. Sebelah kanan terdapat bukit labil, sedangkan di kiri ada jurang dalam yang menganga. Bukit tersebut suatu waktu bisa saja longsor, sekaitan dengan musim hujan saat ini.
Cara lainnya adalah dengan melarang truk melewati jalur itu. Truk-truk bermuatan apa saja dialihkan melewati Lembah Anai dan terus ke Singkarak.
Karena itu, kepada pimpinan Kepolisian Kota Padang dan Dinas Perhubungan diharapkan menempatkan anggotanya di sana untuk mengatur lalu lintas. Kita tidak ingin mendengar ada korban di Sitinjau Lawik lantaran menunggu antrean yang berjam-jam itu. (*)(SINGGALANG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar