Haluan, (14/10), menyuguhkan berita cukup menarik bahkan menggelitik bertajuk: “Menuju Sentra Kelautan dan Perikanan Terkemuka di Sumatera pada 2015”.
Dikatakan, sektor perikanan di Sumatera Barat memiliki peluang besar untuk dikembangkan. Potensi yang ada baik perikanan laut maupun perikanan air tawar, bila dikelola dengan optimal bakal mampu meningkatkan perekonomian masyarakat. Soalnya, kekayaan negeri kita yang dijuluki “gimah ripah loh jinawi ini”termasuk Sumatera dan Sumatera Barat, mulai dari dasar hingga permukaan laut tersebar memukau di dua pertiga wilayah Indonesia. Makanya, Indonesia disebut negara maritin. “Nenek moyang kita seorang pelaut.
Mari kita kembali ke khitah dengan menjaga plus mengoptimalkan potensi laut guna merajut kesejahteraan rakyat. Begitu imbauan Komandan Pangkalan Utama Angkatan Laut (Danlantamal) II Padang, ketika dijabat Laksamana Pertama (Laksma) TNI Aswad, satu ketika. Berita yang dihidangkan Haluan, edisi (14/10) tersebut, serta komitmen Gubernur Irwan Prayitno, untuk mengembangkan budi daya perikanan laut dan perikanan air tawar di daerah iniagaknya perlu kita apresiasi dengan baik. Sebab, komitmen sang Gubernur ini, sekaligus mengingatkan kita terhadap pesan sakralitas Alquran ihwal kelautan. Soalnya, dari 6.666 ayat yang terpaut sarkastik dalam Alquran, 18 ayat di antaranya bicara soal laut dengan segala hikmah, isi dan kandunganya.
Satu di antara ayat laut tersebut, termaktub penuh zauq/getaran dalam surat An-Nahl ayat 16: “Allah-lah yang telah membentangkan lautan bagimu – supaya kamu dapat menikmati daging dan ikan-ikan segar. Bahkan dari laut juga, kamu dapat mengeluarkan berbagai perhiasan untuk kamu pakai. Kamu rancang atau kamu lihat kapal mengharungi lautan – agar kamu menggali rezki dan kurnia-Nya yang tak terhingga. Mudah-mudahan kamu menjadi hamba-Ku yang bersyukur”.
Jauh sebelum Gubernur Irwan Prayitno, Dr. Muchtar Naimketika itu menjabat anggota DPD RI, telah pula mengajak kita di Sumatera Barat hijrah ke laut sebagai alternatif penggalian rezki dan pendapatan. Ajakkan bernas dan cemerlang ini–ditulis Ketua Minangkabau Study Club itu, di Haluan, (29/4/2006). Agaknya, ajakan/komitmen Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim ini, tidak saja menjadi sangat relevan dengan kondisi sosial objektif Sumatera Barat kini, tapi sebuah tantangan berat yang menghadang di pelupuk mata. Terutama bagi habitat eksekutif dan legislatif serta stakeholders kelautan daerah ini.
Rasanya kita sependapat dengan ajakkan/komitmen Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim ini: “Saatnya kini kita menjamah potensi laut”. Soalnya, sumber pendapatan dari sektor lain tak banyak yang bisa diharapkan guna mendaya-ungkit pendapatan daerah. Termasuk dari hutan yang idealnya juga sebagai sumber hidup kita dan anak cucu kelak.
Pasalnya? Dari 120 juta hektare hutan Indonesia tak kurang dari 59 juta hektare terdegradasi dengan ancaman pengundulan seluas 2,8 hektare tiap tahun. Kondisi runyam ini, menyebabkan hutan kita—seperti diprediksi Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan: “Hanya untuk 15 tahun lagi”. Maklum, lah bagalanggang mato rang banyak: pengrusakkan hutan di Bumi Indonesia–tak terkecuali di Sumatera Barat hingga kini ibarat kanker sudah memuncak pada stadium empat.
Dan, dataran tinggi kita yang relatif subur di beberapa dearah sudah digarap dan ditanami penduduk setempat – walau dengan teknologi apa adanya. Bahkan tanah-tanah ulayat, terutama di Pasaman Barat (Pasbar); Agam; dan Sijunjung serta Dharmasraya, telah pula dirancah dan digarap perusahaan perkebunan nasional dan multi-nasional.
Terperangah dengan Potensi Kita
Pertimbangan lain sebagai “asababul wurud” agar Pemvrop Sumatera Barat melirik potensi laut, di satu pihak pantai kita terhampar luas melebihi 1500 km, namun pada sisi lain, nelayan kita secara kuantitatif tak lebih dari 1 persen dari populasi penduduk Sumatera Barat terpaut angka sekitar 4,5 juta jiwa. Yang membuat banyak pihak gerah, gelisah bahkan “tapurangah”, para nelayan ini pun terperangkap ke dalam kepompong sempit tradisionalisme, dan dengan alat yang tradisional pula.
Padahal, jika melaut secara profesionalselain memperoleh hasil secara maksimal, para nelayan tidak lagi akan “takicuah-tagak” oleh nelayan Sibolga (yang merancah sampai ke perairan Sumatera Barat). Sebab, mereka memang lebih lincah dan punya peralatan lebih lengkap dan canggih. Dan, yang tak kalah penting: tanah kita yang tertanami dan dapat ditanami tak lebih dari 5—10 persen. Akibat yang terlihat terang-benderang, penduduk cenderung urban ke kota atau merantau menyeberang laut ke negeri orang mengadu nasib dengan pelbagai gawe yang digumuli. Kebanyakkan bergelut di sektor informal, bisnis kecil-kecilan atau jasa dan usaha.
Terlepas dari itu, genderang yang telah ditabuh Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim itu, agaknya memotivasi kita untuk melirik andalan satu-satunya hijrah atau mengarah ke laut dengan menggali potensinya dari pelbagai lini. Sebut saja perikanan, pariwisata, impor–ekspor, perdagangan, pelayaran dan lalinnya. Dan, pada 2006 lalu, telah digelar ADB alias acara duduk bersama (raker) antar stakeholders yang bersangkut-paut dengan potensi lini kelautan tersebut.
Tak terkecuali para investor, ahli kelautan IPB, serta Menteri Kelautan dan Perikanan. Untuk merealisasikan hasil raker ke ranah realita, telah pula direntang tali koordinasi dengan Pemrov Sumatera Barat dan pihak lain yang bersentuhan dengan laut/kelautan.
Ketika itu, banyak pihak cukup optimis dengan program yang satu ini. Apalagi, selain rencana starategisnya (renstra) sudah ada – kerja sama dengan investor akan dirajut dengan sistem syirkah (wasyarikhum fil amwal/kerja-sama dengan sistem bagi hasil). “Dengan kerja sama syirkah itu, tidak ada lahan yang beralih tangan seperti kekeliruan yang diayunkan Pemerintah Orde Baru selama ini. Sebut saja di Agam, Pasbar, Sijunjung dan Dharmasraya—dimana para investor, lebih memperioritaskan menggarap kebun sawit inti ketimbang plasma (milik rakyat). Sikap optimis yang bergayut di hati banyak pihak—sekitar sepuluh tahun lalu itu, boleh-boleh saja bahkan wajib hukumnya secara syar’iyah (la taiasu fi rahmatillah). Hanya saja, melacak kurenah dan kakobeh segelintir makhluk eksekutif dan juga legislatif – tak terkecuali sebagian pejabat karir baik di level provinsi maupun di tingkat kabupaten “salaruik salamo-nangko” sepertinya belum memperlihatkan profesionalisme dalam makna sesungguhnya. Termasuk pejabat di daerah pantai–seperti yang kerap disinyalir media ctak dan elektronik.
Harap mafhum! Kondisi runyam tadi justru diapungkan Gubernur Irwan Prayitno sendiri. Di era otonomi ini, kata Gubernur hanya sekitar 20 persen saja dari pejabat karir yang ada bisa diajak berlari dalam menggapai tujuan, serta “beriya-bertiada” untuk memajukan Sumatera Barat ke depan,”. Statemen Gubernur ini dilansir surat kabar daerah berkatuntang nyaris “tiok-cecah” Masih otonomi yang kebablasan, seorang Bupati—yang wilayahnya punya laut, pada 2001 lalu, beraninya mengemas surat sakti (memo) terhadap anak buahnya agar bantuan pemberdayaan masyarakat pantai yang dikucurkan Menteri Kelautan dan Perikanan dalam jumlah ratusan juta dikelola satucorporate di bawah ketiaknya.
Akibat yang tampak terang-benderang, para nelayan itu bukannya semakin cegak secara sosial ekonomi tapi kian terpuruk nyaris ke titik nadir. Kenapa? Program Menteri Kelautan dan Perikanan itu, banyak disunat di sana-sini. Sekali lagi jauh panggang dari api dalam konteks empowerment of society yang acapkali dipidatokan dengan mulut berbuih itu.
Setali tiga uang dengan itu, ikhwan kita di habitat legislatif pun tak kalah nekadnya. Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau tiap sebentar mereka baik di tingkat provinsi maupun di level kabupaten/kota menyeberang laut dengan dalih studi banding, kuker, turlap alias turun lapangan dan entah apa lagi terminologinya. Sudah lazim pula, setiap menyeberang laut ikut di dalamnya beberapa pejabat karir bereselonering.
Yang membuat banyak orang dan orang kebanyakan (grass root level) mengurut dada, raun-raun melintas laut itu dikemas apik pada saat masyarakat sedang bergulat dengan kemiskinan. Tidak saja kemiskinan material, tapi lebih dari itu juga kemiskinan kultural, kemiskinan struktural, kemiskinan intelektual, kemiskinan moral dan bahkan mereka terbenam ke dalam kawah kemiskinan spritual (miskin tentang kemiskinan).
Selain merakit kebohongan publik dengan berbagai dalih yang didalilkan, ranah yang satu ini (termasuk sebenarnya ranah eksekutif) tidak banyak yang mampu dan mau melusuhkan diri dalam konteks mempelajari secara tekun aspirasi yang bardenyut dan menggeliat di tengah masyarakat.
Akibatnya? Terus terang dan berterang-terang terus, sebutan kehormatan yang bertengger pada diri makhluk yang bernama wakil rakyat itu, bukanlah kehormatan substansial dan intelektual, tapi hanyalah sebuah kehormatan formal yang nota-bene beraroma semu!
Bertolak-dasar dari semua itu, obsesi besar Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim: kiranya Sumatera Barat “hijrah” ke laut, jangan-jangan jadinya hanya sebuah angan-angan panjang tanpa bisa diaplikasikan dalam arti yang sebenarnya.
Lebih dikerucutkan lagi, jangan-jangan pula di saat Gubernur Irwan Prayitno dan Muchtar Naim sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing sudah berbenar-benar, pada saat yang sama penggawe renstra yang kerap dikatakannya: “no problem” itu justru tergelicik lagi ke dalam lorong-lorong sempit pragmatis, self orinted dan berpikir sejengkal ke depan. Ketika investor diajak bersistem syirkah menggarap laut mereka itu, pun berulah dan berganyi lagi.
Satu lagi yang membuat kita gamang, masyarakat dan komunitas pantai seperti yang sering dikeluhkan banyak orang nyaris kehilangan harga diri. Semangat komunaliti, egaliti dan fraterniti yang dulu-dulu masih bergayut utuh di diri mereka, kini nyaris tinggal kerabang!
Khatimah! Kalau memang itu yang terjadi, maka jadilah laut sebagai anugerah Allah kepada manusia (masyarakat Sumatera Barat) seperti yang dikedepankan di muka – tidak diapa-apakan dan tidak memberikan apa-apa (plus of value) terhadap Sumatera Barat kini dan nanti. Kesudahan kaji, lagu “nenek moyangku orang pelaut”, cukup disenandungkan di tepi laut sembari menggumam telur katung – binatang laut. Fa’tabiru ya ulil albab.
H MARJOHAN
(Pemerhati Sosial-Keagamaan)HALUAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar