MENINGKATKAN KESIAPSIAGAAN BENCANA
Untuk mengantisipasi tsunami sebetulnya tidak terlalu sulit bila seseorang sudah berhasil terhindar dari bahaya gempa yang mendahului tsunami.
Tsunami yang datang ke daratan Sumatera Barat dari pemodelan yang dibuat oleh Dr. Hamzah Latif (2005) berjarak waktu sekurang-kurangnya 30 menit setelah gempa besar terjadi. Di Kepulauan Mentawai sendiri yang dekat dengan lokasi sumber tsunami, tsunami bisa sampai sekitar 10 menit atau paling lama 15 menit setelah gempa. Karena itu di Mentawai ini tentu saja waktu yang tersedia untuk evakuasi dari tsunami lebih sedikit dibandingkan dengan pesisir barat pulau Sumatera.
Di sebelah barat Pulau Sumatera terdapat banyak pulau kecil dan sedang, mulai dari Simeulue di utara, pulau Nias dan banyak pulau kecil di sekitarnya, Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, Sikakap sampai Enggano di selatan (tenggara). Pulau-pulau ini merupakan batuan sedimen yang terangkat akibat peristiwa tektonik serta subduksi (tumbukan) lempeng India-Australia dengan Eurasia, yang sudah berlangsung sejak puluhan juta tahun yang lalu. Karena pulau-pulau ini dekat dengan bidang pergesekan kedua lempeng, maka ia dekat dengan sumber gempa, sehingga gempa-gempa yang bersumber di dekat pulau ini biasanya kedalamannya sangat dangkal. Tentu saja resiko ancaman kerusakan akibat gempa menjadi lebih besar. Ditambah dengan adanya patahan-patahan/sesar naik (megathrust) di bawah pulau sampai ke batas lempeng, yakni palung (trench), maka di pulau-pulau terluar ini terdapat potensi tsunami.
Dari pulau-pulau terluar tersebut, maka wilayah kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan wilayah dimana terdapat lokasi sumber gempa yang dapat menimbulkan tsunami. Dalam sejarahnya, menurut data BMKG dan Geoteknologi LIPI, pernah terjadi tsunami yang melanda wilayah Sumatera Barat. Dari data itu disebutkan bahwa ada dua segmen lokasi potensi tsunami, yakni segmen Siberut dan segmen Sipora-Pagai. Di segmen Siberut tsunami terakhir terjadi pada 10-02-1797 dan di segmen Sipora-Pagai tsunami terbaru terjadi tahun lalu, tepatnya tanggal 25 Oktober 2010. Tsunami 25/10/2010 ini merupakan pengulangan dari tsunami yang terjadi pada 24-11-1833.
Sumber-sumber gempa yang berpotensi tsunami adalah Kepulauan Mentawai sebelah luar ke arah palung laut dalam (trench) di Samudera Hindia. Apabila di tempat ini terjadi gempa berkekuatan di atas 6,5 SR, maka gempa tersebut berpeluang menimbulkan tsunami. Sebab di tempat ini kedalaman pusat gempa di bawah 30 km dari permukaan laut, episentrumnya di dasar laut dan thrust (patahan tegak/miring) akan menyebabkan dislokasi atau pergerakan batuan secara vertikal, yang akan mengguncang air laut. Apabila pusat gempa di sebelah dalam dari Kepulauan Mentawai terhadap Sumatera Barat Daratan (Selat Mentawai), maka peluang terjadinya tsunami kecil sekali, karena bidang subduksi (benioff zone) yang miring menyebabkan pusat gempa ini lebih dalam, yakni di atas 30 km. Selain itu di dalam Selat Mentawai tidak terdapat thrust, sehingga tidak terjadi pergerakan batuan secara vertikal. Dengan demikian maka sekurang-kurangnya dua syarat untuk terjadinya tsunami sudah tidak terpenuhi. Contoh kasus ini adalah gempa 30 September 2009. Gempa dua tahun lalu itu menurut sumber BMKG berlokasi di Selat Mentawai, kira-kira 60 km sebelah timur pulau Siberut atau kira-kira 56 km baratdaya Pariaman, dengan kedalaman 71 km. Walaupun kekuatan gempa 7,9 SR, gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami.
Mungkinkah tsunami muncul di selat-selat antara pulau di Kepulauan Mentawai tersebut? Misalnya antara pulau Siberut dan Sipora, antara pulau Sipora dan Pagai Utara atau antara Pagai Utara dan Pagai Selatan? Jawabannya adalah mungkin. Sebab episenter gempa di selat ini tentulah di dasar laut, pusat gempa tentu masih dangkal dan ada thrust di sini. Kalau kekuatan gempanya di sini di atas 6,5 SR, maka tentu akan ada tsunami. Namun tsunami yang terjadi akibat gempa yang berepisentrum di selat-selat kecil ini gelombangnya kemungkinan tidaklah besar. Sebab, deformasi batuan yang terjadi di dasar selat tersebut tidak begitu besar, sehingga volume air laut yang terlibat juga tidak besar.
Tapi bagaimana dengan kemungkinan longsoran di timur Siberut yang diprediksi sebagian pakar dapat menimbulkan tsunami, bahkan tanpa didahului oleh gempa? Kemungkinannya kecil. Sebab, dengan sudah terjadinya beberapa kali gempa kuat, baik di segmen Siberut maupun segmen Sipora-Pagai, maka sangat kecil kemungkinan masih ada lereng-lereng dasar laut di timur Siberut, Sipora dan Pagai yang kritis. Kalau lereng-lereng tersebut kritis, maka kemungkinan ia telah longsor oleh gempa-gempa kuat tersebut. Kemudian, kalau pun masih ada lereng yang kritis di dasar laut, sangat kecil kemungkinan longsorannya menimbulkan tsunami yang besar. Sebab, selain volume tanah/batuannya tidak sebesar deformasi dasar laut yang ditimbulkan oleh gempa besar, kecepatan longsorannya juga tidak cukup besar untuk menimbulkan guncangan air laut. Analoginya adalah, kalau kita jatuhkan benda di dalam air, maka kecepatannya tidak sebesar kalau ia dijatuhkan di udara bebas.
Upaya Menghindari Tsunami
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindar dari tsunami adalah melalui dua cara, yakni evakuasi horizontal dan evakuasi vertikal. Evakuasi horizontal adalah berjalan kaki menjauhi pantai ke zona aman, yakni daerah yang memiliki ketinggian > 10 meter di atas permukaan laut. Evakuasi vertikal adalah upaya menghindar dari tsunami dengan naik ke bangunan tinggi di sekitar tempa t kita berada, atau memanjat pohon kelapa atau sejenisnya.
Ini dilakukan apabila seseorang kehilangan waktu cukup banyak menjelang gelombang tsunami datang, misalnya adanya keraguan bahwa gempa yang terjadi diikuti tsunami atau tidak, sedangkan ia tidak melihat (tidak mendapat informasi) tanda-tanda alam terjadinya tsunami, atau sirene untuk evakuasi tsunami tidak bekerja.
Salah satu tanda alam sebagai isyarat akan terjadi tsunami adalah air laut surut sangat cepat jauh ke tengah laut sesaat setelah terjadi gempa besar. Tsunami Early Warning System yang dibangun di pantai barat Sumatera akan membunyikan sirene apabila sebuah gempa diikuti oleh tsunami.
Meskipun gempa besar di laut yang memiliki periode ulang sekitar 200 tahun, namun pengulangan sebuah gempa di suatu tempat belum tentu menimbulkan pengulangan tsunami. Pengulangan tsunami tergantung kepada apakah terpenuhi syarat terjadinya tsunami atau tidak. Untuk memenuhi rasa aman masyarakat, terutama karena adanya prediksi pakar LIPI dan ITB bahwa ada potensi terjadi tsunami di segmen Siberut dari gempa 8,9 SR, maka perlu diselenggarakan sosialisasi tentang gempa dan tsunami ke berbagai lapisan masyarakat atau terus melakukannya untuk menjangkau masyarakat yang belum menerima sosialisasi sebelumnya, sehingga masyarakat semakin waspada terhadap gempa dan tsunami tersebut dan dapat semaksimal mungkin mengantisipasinya. Di samping itu perlu terus disiapkan dengan baik infra struktur untuk evakuasi seperti shelter (evakuasi vertikal) dan jalur jalan yang cukup lebar menjauhi pantai untuk evakuasi horizontal.
Sebagai catatan akhir, walaupun Jepang baru saja mengalami gempa besar dan tsunami dahsyat 11-03-2011 yang lalu, yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda, namun jumlahnya tergolong kecil untuk ukuran gempa 8,9 SR dengan kedalaman yang sangat dangkal tersebut. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kegempaan ini terbukti korban jiwa yang timbul dapat diminimalisir. Data statistik menyebutkan bahwa sejak gempa 1923 di Jepang yang menelan korban jiwa 140.000 orang, jumlahnya menurun tajam seiring meningkatnya kemajuan mitigasi. Jadi kita harus terus meningkatkan upaya persiapan kalau bencana gempa/tsunami datang, sambil mempelajari cara Jepang dalam mitigasi. n (Bagian II-Habis)
DR BADRUL MUSTAFA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar