Walaupun tidak mempunyai pijakan historis yang pasti, selalu saja kebanyakan umat Islam memperingati bahkan ada yang merayakan apa yang mereka sebut sebagai Maulid Nabi.
Maulid Nabi yang rutin diperingati setiap tanggal 12 Rabiul Awal diyakini sebagai hari lahirnya Nabi akhir zaman, Muhammad. Kelahiran Nabi merupakan rahmat agung untuk alam semesta dan sudah semestinya nikmat tersebut disyukuri dengan menampakkan kegembiraan. Di zaman ini, peringatan Maulid Nabi tersebut disemarakkan dengan berbagai macam acara mulai dari ceramah, pertunjukkan seni hingga beragam perlombaan.
Tanpa perlu mengulang berbagai penjelasan panjang lebar dari perbedaan para pakar tentang kapan bulan dan tanggal pasti lahirnya Nabi, tak ada salahnya bila dikutip penjabaran Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin dalam Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah ketika menyinggung tentang Maulid Nabi bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dijadikan pegangan dalam penentuan dengan pasti tentang kapan bulan lahir Nabi, dan tidak pula tentang hari lahirnya, bahkan dalam hal ini ada perbedaan yang tajam.
Pada catatan kaki pembahasan ini, Abdulah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menambahkan rincian perbedaan pendapat tersebut bahwa ada yang mengatakan Nabi lahir pada bulan Ramadan, ada pula yang berpendapat Nabi dilahirkan di bulan Rajab, dan juga yang menyatakan Nabi pada bulan Rabiul Awal. Orang-orang yang menyatakan Nabi lahir pada bulan Rabiul Awal sendiri pun berselisih tentang bilangan hari kelahiran Nabi, sebagaian mengatakan pada hari tanggal 2, sedangkan yang lain mengatakan pada tanggal 8. Begitu pula ada yang mengatakan pada tanggal 10 dan ada yang mengatakan pada tanggal 12. Tapi ada juga yang berpendapat pada tanggal 17 serta pendapat lain pada tanggal 21. Padahal tidak ada satu dalilpun yang dapat dijadikan pegangan dalam hal tersebut.
Tetapi belakangan ini ada beberapa pendapat yang memastikan bulan dan tanggal lahir Nabi. Seperi yang direkam oleh Shafiyyurrahaman Al-Mubarakfuri dalam Ar-Rahiiq Al-Maktuum bahwa penghulu para rasul dilahirkan pada hari Senin tanggal 9 bulan Rabiul Awal tahun Gajah atau bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April 571 Masehi, sesuai dengan perhitungan ilmuan besar Muhammad Sulaiman Al-Manshurfuri dan ahli falak Mahmud Basya. Hal ini juga diamini oleh Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad As-Sulaim dalam Taqwim Al-Azmaan fiy Tahqiiq Maulid An-Nabiy dan Shalih Al-Utsaimin dalam Al-Qaul Al-Mufiid ‘Alaa Kitaab At-Tauhiid.
Meskipun demikian, yang jelas Nabi sendiri tidak pernah memperingati ataupun merayakan hari kelahirannya. Baik semasa hidupnya ataupun sesudah wafatnya dengan mewasiatkan kepada para sahabat untuk melakukan kegiatan mengenang, memperingati, atau merayakan hari kelahiranya. Oleh karena itulah, kegiatan-kegiatan in memorian atau sejenisnya tentang Nabi tidak pernah dilakukan oleh para sahabat yang sangat besar cinta, pengorbanan, dan ketulusan mereka terhadap Nabi. Begitu pula yang dilanjutkan oleh generasi tabiin dan generasi tabiut tabiin sebagai representasi dari tiga masa terbaik sesuai isyarat Nabi.
Hingga, barulah pada abad ke-4 Hijriah, sekte Ubaidiyah (Syiah) yang pertama-tama merayakan Maulid Nabi, tepatnya tahun 363 Hijriah, ketika mereka memerintah Mesir. Walaupun Suyuthi dalam Husn Al-Maqshad, yang diukuti oleh sebagian ulama kontemporer, berpendapat bahwa yang pertama kali melakukan Maulid Nabi adalah Sultan Kaukabari Al-Ayyubi yang wafat tahun 630 Hijriah. Ini adalah kekeliruan karena Maulid Nabi telah dilakukan sebelum masa Sultan tersebut. (lihat Tahdziib Tashiil Al-‘Aqiidah Al-Islaamiyyah hal. 199-200)
Yusuf Al-Qaradhawi dalam Fiqh Al-Aulaawiyyaat saat menjelaskan tentang takaran prioritas yang benar dalam memberikan perhatian terhadap tema-tema yang diangkat di dalam Alquran menegaskan bahwa Maulid Nabi sama sekali tidak dibicarakan oleh Alquran. Hal ini menunjukkan bahwa perkara tersebut tidak begitu penting dalam kehidupan Islam, karena hal ini tidak berkaitan dengan mukjizat sebagaimana keterkaitan kelahiran Al-Masih terhadap ajaran agamanya. Maulid juga tidak berkaitan dengan amalan dan ibadah yang harus dilakukan oleh kaum muslimin atau sesuatu yang dianjurkan.
Memang benar, kelahiran Nabi bukanlah mukjizat ataupun kejadian besar seperti kelahiran ajaib Al-Masih yang tanpa seorang ayah. Adapun tentang runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra, padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi, dan runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah ketika Nabi lahir merupakan riwayat dari Thabrani dan Baihaqi dan selain keduanya tidak pula dapat dijadikan pegangan karena sanad-sanad periwayatannya tidak kuat. (Lihat Ar-Rahiiq Al-Makhtuum hal. 65)
Begitu pula mengkhususkan ibadah-ibadah tertentu seperti salat, puasa, sedekah, zikir, dan sebagainya ketika Maulid Nabi merupakan sesuatu yang tidak berdasar. Atau mengisi Maulid Nabi dengan mendendangkan selawat-selawat khusus yang berlebih-lebihan dalam memuji Nabi, serta membacakan kisah kehidupan Nabi dengan keyakinan bahwa arwah Nabi hadir dalam acara sedemikin jelas-jelas kejahilan terhadap sunah Nabi. Hal-hal itulah yang melatarbelakangi pembidahan sebagian ulama tentang hukum peringatan Maulid Nabi. Hal ini penting dicacat bagi mereka yang mengutip pendapat ulama yang memandang Maulid Nabi sebagai bidah karena ibadah-ibadah khusus tersebut yang dilakukan saat Maulid Nabi, bukan peringatan Maulid Nabi itu sendiri.
Selain itu, memperingati kelahiran Nabi menyerupai tradisi kaum Nasrani yang memperingati dan merayakan Natal yang dipercayai sebagai hari kelahiran Al-Masih. Umat Nasrani menjadikan Natal tersebut sebagai ibadah yang tentu saja kaum muslimin dilarang menyerupai dan meniru-niru tradisi agama lain yang mengandung unsur peribadatan. Nabi besabda, “Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum tersebut) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu.”
Akan tetapi, ketika Rabiul Awal diisi dengan berbagai kegiatan penuh keriangan dengan dalih bergembira atas nikmat Allah bahwa inilah bulan kelahiran Nabi, maka sadar ataupun tidak orang-orang tersebut lupa bahwa di bulan ini pulalah Nabi meninggal dunia.
Jika sebelumnya telah disebutkan ada banyak pendapat tentang di bulan apa Nabi dilahirkan, tidak demikian dengan di bulan apa Nabi wafat berdasarkan keterangan dari Shafiyyurrahaman Al-Mubarakfuri dan Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin. Tidak tanggung-tanggung, Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin menegaskan tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini.
Wafatnya Nabi merupakan musibah terbesar bagi kaum muslimin. Seperti dalam hadis dari beberapa redaksi riwayat yang berbeda, namun dengan makna yang sama. Di antaranya riwayat dari Ibnu Abbas dan Sabith Al-Jumahi, mereka berkata, ‘Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ditimpa musibah, hendaklah ia mengingat musibahnya itu dengan (kematian) ku, karena (kematianku) itu adalah musibah terbesar.”’ (H.R Ath-Thabrani, Ibnu Sa’d, Ad-Darimi, Malik dan lainnya, sebagaimana tercantum dalam Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah, hadis nomor 1106)
Husain bin Audah Al-Awayisah dalam Mushiibah Mautin Nabiy Wa Atsaaruhaa fiy Hayaah Al-Ummah menafsirkan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa dari hadis tersebut jelaslah bagi kita kematian Nabi merupakan musibah terbesar yang telah menimpa dan tetap akan menimpa kaum muslimin. Rasul sendiri memerintahkan kita untuk mengingat musibah kematiannya sehingga dengan hal itu musibah-musibah yang menimpa kita akan terasa ringan.
Sebelumnya, masih dalam tulisan yang sama Husain bin Audah Al-Awayisah berpendapat bahwa wajib bagi kita untuk menadaburi dampak wafatnya Nabi terhadap pribadi dan umatnya.
Lalu bagaimana bisa Rabiul Awal diperingati dengan semarak dan suka ria sedangkan musibah terbesar terjadi di bulan itu? Faktanya, berbagai kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Maulid Nabi tak lebih dari seremonial belaka. Beragam agenda terjadwal memeriahkan bulan dan hari lahir penutup para Nabi dan Rasul itu telah kehilangan ruh dan substansi peringatan itu sendiri. Padahal peringatan itu semestinya dijadikan sebagai momentum untuk mengenang kembali sosok yang diperingati. Ya, mengenal kembali sosok Muhammad, teladan sempurna sepanjang zaman. Mengenang untuk kemudian mencontoh keagungan pribadinya yang dipuji kawan dan diakui lawan. Karena itu sangat tidak pantas bila tokoh seagung Muhammad dimaknai sebatas seremonial yang kering makna dan agenda sekali setahun saja.
Di luar wacana memperingati dan merayakan Maulid Nabi atau berduka atas wafatnya, sudah seharusnya kaum muslimin yang mengaku sebagai pengikut Muhammad menggali sejarah kehidupannya, ajaran-ajaran luhurnya, dan medakwahkan risalahnya.
Sudahkah menamatkan membaca kitab kumpulan hadis sahih yang dikumpulkan oleh Imam Bukhari dan Muslim sebagai dua referensi terpercaya tentang peri kehidupan Nabi? Telahkah ditelusuri segala sesuatu tentang Muhammad dalam kitab kitab hadis muktabar lainnya seperti kitab sunan yang empat karya Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Nasa’i? Atau paling tidak pernahkah melahap dengan tuntas buku-buku sirah nabawiah mulai dari yang tebal dan detil hingga yang tipis dan ringan?
Allah berfirman, “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri teladan yang baik bagi orang yang berharap kepada Allah, hari akhir, dan bagi orang yang banyak mengingat Allah.” (Q.S Al-Ahzab [33]: 21) Nabi bersabda, “Tidaklah beriman seseorang di antara kalian sehingga aku lebih dicintainya daripada anaknya, ayahnya (orang tua), dan manusia seluruhnya.” (H.R Bukhari, Muslim, dan lainnya).
WAHID MUNFARIDhttp://www.harianhaluan.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar