Prihatin, itulah kata yang paling pas jadi pembuka tajuk rencana ini tatkala kita simak kejadian amuk massa di kantor Bupati Agam (Haluan, 04/02). Sedih dan ironis sekali, jangan-jangan pemerintah selama ini benar-benar tidak pernah mengurus dan respons terhadap masalah yang sedang dihadapi rakyatnya.
Konflik lahan merebak di hampir seantero negeri. Korban tewas juga sudah banyak. Baik dari perusahaan maupun para petani. Dan celakanya, entah sampai kapan kita lelah dan berhenti dengan konflik yang hampir sama polanya dengan kasus sangketa lahan daerah lain.
Seringkali ketika pengusaha, petani, dan pemerintah sudah berkumpul untuk duduk bersama melalui forum musyawarah, seringkali yang dirugikan dalam pertemuan tersebut tetap rakyat. Pemerintah melempem, konflik lahan kian marak, sudah banyak lahan rakyat yang sudah dirampok melalui legalitas hukum.
Femomena seperti itulah yang seringkali terjadi, dan puncaknya ketika gerakan petani menguat karena pendudukan lahan mereka yang diambil oleh perusahaan, mereka memprotes elit agar hak-hak mereka dibela, namun terkadang bupati/walikota dan gubernur tidak menemui dan turun untuk mendengar aspirasinya, akhinya muncullah kemarahan, seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Agam yang merusak Kantor Bupati, sebab massa mulai gerah karena Bupati Indra Catri dan pejabat lainnya tidak ada yang mau menemui mereka.
Dari berbagai penjuru nusantara, masalah konflik lahan antara perusahaan dengan rakyat muncul satu demi satu di berbagai media. Kasus Mesuji di perbatasan Lampung dan Sumatera Selatan, kasus Desa Senyerang Kabupaten Tanjung Jabung Barat, kasus Kabupaten Seruyan di Kalteng, kasus Pulau Padang, Kepulauan Meranti, kasus Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, dan yang sedang saya tulis dalam tulisan ini konflik lahan antara PT Mutiara Agam dengan Pasukuan Tanjung Manggopoh, tepatnya di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Persengkongkolan dan Kejahatan Negara
Seorang mantan “pemain” IMF, Jhon Perkins, dalam bukunya Confussion Of an Economic Hit Man, pernah berkisah, tentang bagaimana caranya sebuah korporasi atau sekelompok pemilik modal masuk dan menguasai sebuah wilayah yang melimpah potensi sumber daya alamnya. Jhon perkins menjelaskan, sebuah korporasi tidak akan bisa menguasai sebuah lahan pertambangan, industri, perkebunan jika tidak ada kerjasama atau izin dari pemerintah atau stack holder (Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat atau kepala desa) setempat. Kerjasama yang di maksudkan oleh Jhon Perkins, adalah sebuah bentuk kerjasama transaksional, yang berujung pada keuntungan Pemodal dan penguasa.
Pemerintah di daerah selalu gamang dan loyo dalam menyelesaikan konflik antara pemilik modal dalam hal ini pengusaha dengan masyarakat pemilik lahan mereka yang diambil, merindukan sekali bupati/walikota dan gubernur yang menjadi mediator yang adil, tapi dalam banyak kasus pemerintah cenderung berpihak kepada pengusaha, sehingga kuasa rakyat tercabut, akibatnya pemilik modal dimenangkan di putusan pengadilan, ini adalah bentuk kejahatan negara terhadap rakyatnya yang dilegitimasi melalui putusan pengadilan.
Konflik lahan antara masyarakat Pasukuan Tanjung Manggopoh sudah terjadi sejak tahun 1984, padahal sudah ada itikad baik untuk melakukan pengukuran ulang lahan yang ada dalam kecamatan Tanjung Mutiara, namun dalam realitasnya tidak pernah pengukuran ulang dilakukan, respon pengusaha dan pemerintah melemahkan semua keinginan tersebut, bisa saja pemerintah telah masuk angin. Beginilah jadinya, sebagian besar konflik tersebut adalah konflik antara masyarakat setempat dengan perusahaan perkebunan. Malangnya, masyarakat sering berada di pihak yang lemah karena status legalitas formal kepemilikan lahan.
Banyaknya ditemukan kejanggalan dan indikasi putusan Pengadilan yang relatif putusannya merugikan rakyat dalam konflik lahan, ini juga akar masalah sehingga munculnya perlawanan pemilik lahan terhadap tanah yang diambil oleh perusahaan dengan cara legitimasi pengadilan yang memenangkan pengusaha.
Pola yang sama juga terjadi antara PT Muatiara Agam dengan masyarakat Pasukuan Tanjung Manggopoh. Di tingkat Pengadilan Negeri masyarakat Tanjung Manggopoh menang, namun di tingkat Pengadilan Tinggi, perusahaan PT Mutiara Agam yang menang. Masyarakat tidak dapat menerima keputusan itu, karena dinilai penuh dengan kejanggalan. Ini adalah bentuk kejahatan negara terhadap rakyatnya, beginilah nasib petani dan rakyat yang menyedihkan sekali.
Jadi menurut saya, Bupati Agam harus menyelesaikannya secara konferehensif, jangan terjebak kepada legalitas hukum formal yang kaku, tapi harus sampai kepada substansi hukum, yaitu keadilan bagi rakyat kecil, jangan lagi keadilan melukai hati kecil rakyat. Cabut saja izin perusahaan kalau tidak pernah menguntungkan rakyat selama ini. Sekali lagi jangan sampai masyarakat marah hingga melakukan tindakan anarkis baru.
Peristiwa kekerasan di Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat, hendaknya menjadi acuan dan pembelajaran bagi daerah lainnya, khususnya Bupati Agam dalam megantisipasi konflik lahan pertanian antara masyarakat dengan perusahaan swasta. Pada konflik lahan di Bima Nusa Tenggara Barat, misalnya Bupati Bima akhirnya menyerah dan mencabut surat keputusannya guna memenuhi tuntutan masyarakat, tapi tindakan terlambat karena kantor pemerintah daerah sudah terlanjur dibakar. Perlu keberanian dan itikad baik seorang elit di tingkat daerah, sehingga integritas dan kedamain terwujud di daerah-daerah.
Pembaharuan dan reformasi agraria bisa menjadi jalan keluar konflik kekerasan lahan di dalam sektor agraria tersebut. Konflik agraria terus berlangsung sepanjang pembaharuan agraria dan reformasi agraria yang menjadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dijalankan pemerintah. Kembalikan lagi apa yang menjadi hak masyarakat, sebelum revolusi hijau kembali terjadi, jangan rampok lagi tanah rakyat. Semoga!
PANGI SYARWI
(Peneliti di Indonesian Progressive Institute Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar