Sore itu sekitar pukul 16.45 WIB, wanita paruh baya itu sibuk mengipas-ngipas bara api di tungku 2 meter. Di atas tungku terlihat bungkusan-bungkusan kecil dengan daun pisang. Setiap ia mengipas, asap yang ditimbulkan dari bara api berterbangan ke sana ke mari terbawa angin. Dari gumpalan asap itu menyelinap aroma wangi, harum. Bau apakah ini ?
Usut punya usut, ternyata aroma wangi tersebut barasal dari sebuah pondok di pinggiran Jalan Belimbing, Kuranji. Setiap orang melintasi jalan tersebut mereka selalu menoleh ke arah pondok yang menebarkan aroma harum itu. Bahkan tak jarang mereka berhenti dan mengahampiri pondok.
“Beli Rp10 ribu, Mak,” terdengar suara seorang pembeli dari mobil Avanza. Belum sempat mengambilkan punya si pembeli dari dalam mobil, terdengar lagi suara lainnya. “Saya beli Rp5 ribu, Mak,” suara itu datang dari seorang pengendara roda dua yang berhenti di depan pondok.
Wanita paruh baya itu Suriana, 59, mengaku karena terbelenggu jeratan ekonomi, ia mengambil inisiatif berjualan lompong sagu. Ia sudah berjualan lompong sagu, kurang lebih 4 tahun. Dengan berjualan lompong sagulah ia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Memanfaatkan selokan lahan kosong yang berada didepan rumah, ia membuka usaha. Selokan ia lantai dengan papan, dan ia dirikanlah sebuah pondok kecil sebagai modal awal membuka usaha. Kini berjualan lompong sagu menjadi mata pencariannya. Ia berjualan setiap harinya mulai Senin hingga Minggu. Ia mulai berjualan dari pukul 15.30 sampai dengan pukul 21.00 WIB. Jika berhenti satu hari saja berjualan berarti ia juga berhenti makan hari itu.
Kepandaian dalam membuat lompong sagu diperoleh wanita berbadan kurus ini dari mendiang ibunya. ”Dalam sehari mampu membuat lompong sagu sekitar 400 sampai dengan 500 bungkus. Satu bungkusnya dijual seharga Rp 1.000,” sebutnya seraya mengatakan dalam berjualan, ia dibantu suaminya, Sarduan, 65.
Ia mengatakan, omzet yang didapatnya tidaklah banyak. Kadang ia dapat Rp 300 ribu kadang dapat Rp400 ribu, bahkan kadang bisa lebih. “Alhamdulillah, bisa untuk makan dalam sehari,” ujarnya.
Bahan-bahan yang digunakannya dalam membuat lompong sagu berupa pisang, tepung sagu, gula enau, kelapa yang telah diparut, dan daun pisang. Cara membuatnya pun mudah. Bahan tersebut ia aduk rata, sesuai takarannya. Biasanya ia bisa menghabiskan, 3 gantang tepung sagu dalam sehari, serta 4 buah kelapa, 6 pelepah daun pisang.
Setelah selesai diaduk, ia pun membungkusnya dengan daun pisang lalu membakarnya di atas tungku yang sudah dilapisi seng. Bahan bakar berupa sabut kelapa yang sudah kering. “Dalam pembakaran, hanya dibutuhkan bara api, dan tidak dibutuhkan api yang menyala tidak lebih dari 20 menit. Atau batas minimalnya 51 menit,” tukasnya.
Begitulah yang dilakukan Suriana setiap harinya. Ia tak menyerah dengan kerasnya kehidupan. Dan ia pun tidak butuh, tak perlu mengharapkan pemerintah agar menengok masyarakat kalangan bawah seperti dirinya. (mg10)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar