Ditulis oleh Teguh |
Siapa tak kenal Dr Ahmad Khatib al- Minangkabau! Beliau disebut mujaddid wa al-mujtahid yang namanya bersipongang di Indonesia/Minangkabau. Murid beliau sangatlah banyak dari pelbagai sudut negeri. Sebut saja Abdul Karim Amrullah, alias Inyiak Rasul/Inyiak Deer/ayah Hamka; Muhammad Jamil Jambek; Abdullah Ahmad; Ibrahim Musa Parabek; H Agoessalim; KH. Ahmad Dahlan; dan sederet tokoh Islam lainnya (rijalu adda’wah). Kebesaran nama para refosmis dan modernis Islam bersayap nasionalisme di Jawa dan tanah Minang ini, bagaimanapun tak dapat direnggangkan dari kiprah seorang tokoh—yang justru banyak menyuguhkan gagasan-gagasan jitu lagi bernas dari tanah suci Makkah al-Mukarramah. Beliau adalah Dr. Ahmad Khatib al-Minangkabau ulama kharismatik plus substansialistik berdarah Koto Gadang Luhak Agam. Beliaulah yang menjadi guru hampir semua pembaru Islam Tanah Air pada awal abad ke-20 silam, Ahmad Khatib bersama adik sepupunya Thaher Djalaluddin inilah yang dikirim oleh petinggi Minangkabau guna menyauk al-Islam secara intens lagi menukik ke Makkah al-Mukarramah, sekitar tahun 1871 lampau. Mukim dan Menyauk ilmu di Makkah Menelusuri sejarah, Ahmad Khatib lahir pada 26 Mei 1860 M dari pasangan Abdul Latief, warga Koto Gadang dan Limbak Urai, asal Koto Tuo Balai Gurah, Ampek Angkek, Canduang, Bukittinggi. Masih “bujang jolong gadang” (remaja/11 tahun), Ahmad Khatib dibawa ayahnya menunaikan rukun Islam ke-5 ke Makkah. Di tanah Makkah, Ahmad Khatib tidak sekadar menunaikan ibadah haji. Tapi, ia mukim dan gigih menggumuli al-Islam secara mendalam (liyatafaqqahu fi Addin)—baik pendekatanlafzhiyah maupun ma’nawiyah. Dalam bahasa enak di kuping kaum kontemporer, itulah yang diistilahkan dengan metodologi kajian literal, tekstual dan kontekstual. Tidak begitu rumit bagi Ahmad Khatib muda melusuhkan diri dengan kitab-kitab kuning. Sebab, sebelumnya ia telah akrab dengan bahasa Arab. Agar mampu menyerap api dan semangat Islam secara substantif-aplikatif, Ahmad Khatib tidak ketinggalan menggelimangi apa yang disebut oleh “makhluk” sekuler “ilmu-ilmu umum”. Sebut saja ilmu falak, ilmu hitung/hisab, aljabar dan lain sebagainya. Lagi-lagi tidak begitu riskan bagi Ahmad Khatib mempelajari ilmu penunjang ini. Sebab, selain berotak brilian serta berlatar-belakang keluarga terdidik—sebelum menginjak tanah Makkah, ia telah merampungkan studinya di kweekschool Bukitinggi. Cuma dalam rentang waktu 9 tahun (1287 H/1871 M hingga 1296 H/1876 M), Ahmad Khatib mampu menyelesaikan pembelajaranya di bawah asuhan ulama Makkah terkemuka. Misalnya: Sayyid Zayn al- Dahlan, Syekh Bahr al-Syatta, Syekh Yahya al-Qabli dan lainnya. Harap mafhum! Guru bertaraf tinggi (faqihun wa al-hakimun) ini tidak hanya sayang pada Ahmad Khatib, lebih dari itu mereka berdecak-kagum atas kecerdasan plus keelokan budi sang murid dari jawi (panggilan Arab terhadap Indonesia/Melayu) ini. Bahkan, sejak Ahmad Khatib menyauk ilmu di tanah haram itu pula, pameo segelintir Arab yang berkonotasi sinis, mencibir dan mengejek orang Indonesia/Melayu berangsur redup—yang pada akhirnya punah. “Jawi ya’kul hanas: orang Melayu makan ular”. Begitu cemooh Arab tradisionalis pada Indonesia. Simpati yang diraup Ahmad Khatib tidak hanya dari para ulama berpikiran maju, Bangsawan Arab: Syekh Shalih al-Qurdi malah meminang Ahmad Khatib sebagai menantu, dengan mempersunting si sulung-nya bernama Khadijah (1879). Berkat tangan dingin mertua, Ahmad Khatib disuguhi peluang mentransformasikan segala kemampuannya di Masjidil Haram. Malah satu anugerah tidak ternilai, menjelang abad ke-20—si kutu kitab ini diamanahi menggenggam jabatan khatib dan Imam Besar Masjidil Haram. Dan, bila sang Imam dari tanah Minang ini, mengimami salat di masjid—yang dikunjungi jutaan umat Islam dari pelbagai penjuru dunia tersebut, meluncurlah suara penuh zauq (getaran) dari mulut beliau. Soalnya, selain amat sangat fashahah (fasih), malah melebihi kefasihan lidah orang Arab sendiri—beliau juga punya suara merdu, dan mengusai irama cukup beragam dan bervariasi—dengan model tartil (membaca cepat, tapi khidmat). Sebut saja irama: bayati, hijaz, tsiqah, shabah, ras, nahwan dan lainnya. Sekali lagi, bila pengagum Ibnu Thaimiyah ini, tampil mengimami salat, maka ribuan, bahkan jutaan jemaah, benar-benar salat dengan khusyu’. Bahkan banyak jemaah salat yang bulu kuduknya merinding dan menangis-terisak. Apalagi andai sang imam membaca ayat-ayat; kezaliman orang-orang kafir menindas umat Islam. Maklum, ketika itu sejumlah negara Islam—termasuk Indonesia—yang penduduknya mayoritas beragama Islam (fi’ah katsirah), masih bertekek-lutut di bawah imperialisme negara-negara barat. Padahal, tidak sembarang orang hingga kini bisa jadi khatib, imam apalagi guru di Masjidil Haram—kendati di kampungnya ia seorang qari bertaraf nasional/internasional. Lagi-lagi ini lantaran kecerdasan, keperibadian dan ketinggian ilmu yang bergayut pada diri seorang Ahmad Khatib. Seimbang Dakwah lisan dan Tulisan Sebagai seorang alim, Ahmad Khatib sadar, kalau ilmu tidak hanya dijuluk dalam batas dimensi ruang dan waktu pendek, dan tidak cuma terkebat pada konteks wacana dan wicara (taqriru al-lisan) antara ‘alim wal mu’allim (guru dan murid). Tapi, lebih jauh dari itu, Ahmad Khatib justru meneropong ke ranah al-mad’u (objek da’wah) dalam jangka yang lebih panjang. Makanya, jangan kaget, selain mengajar, Ahmad Khatib juga dikenal cukup produktif mencacahkan qalam lewat karangan ilmiah, bernas lagi mencukam. Bukti konkret, Ahmad Khatib menuangkan buah pikirannya dalam aspek ilmu seni, fiqih, ushul fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu berhitung, ilmu ukur, kewarisan dan ihwal adat Minangkabau—dengan jumlah tak kurang dari 49 judul. Hanya saja dokumen berharga yang ditorehkan Ahmad Khatib ini, sudah sulit ditemukan. Ada memang tersimpan sebagian kecil di Kutub Khannah/Perpustakaan Buya Hamka, Maninjau. Namun, yang membuat dahi bergerinyit—warisan bertaraf hight cuality (bermutu tinggi) itu, selain kurang dijamah oleh pengunjung—juga digerayangi oleh kapuyuak (lipas). Wal lahu a’lam bish shawab. H. MARJOHAN (Pemerhati Sosial-Keagamaan) sumber |
Rabu, 07 November 2012
IMAM MASJIDIL HARAM DARI MINANGKABAU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar