Pernahkah kita bertanya dan berpikir secara jujur, setelah beberapa kali dilaksanakan Pekan Budaya Sumatera Barat, apa telah memberikan manfaat bagi pengembangan kebudayaan Sumatera Barat itu sendiri atau malahan sebaliknya.
Pertanyaan itu penting, sebab iven yang diselenggarakan sejak tahun 1983 dan sempat berhenti beberapa tahun, lalu digelar kembali tahun 2004 dan sejak tahun 2006 rutin dilakukan sampai sekarang ini merupakan iven yang besar–notabenenya dananya berasal dari uang rakyat dan sebagai konsekuensinya memang harus memberi manfaat bagi rakyat itu sendiri khususnya bagi pengembangan kebudayaan Sumatera Barat.
Sebagai sebuah iven besar, kegiatan ini memang menjadi muara, yang menyuguhkan representasi dari pertumbuhan seni budaya yang ada di kabupaten/kota serta memberi tempat penting pada seni budaya yang tumbuh dalam masyarakat Sumatera Barat. Kalau tidak, pekan budaya hanyalah sebuah iven rutinitas yang tak memberi apa-apa bagi rakyat.
Namun itu sebetulnya tidak cukup sampai di situ saja menyigi perspektif urgensi pekan budaya itu sendiri. Sebagai sebuah kegiatan yang sarat dengan masalah budaya dilaksanakan dalam satu minggu dan memunculkan nama pekan budaya memang harus kita letakkan pada tataran kebudayaan itu sendiri. Bobot kebudayaan sebagai sebuah nilai harus menjadi perioritas. Bukan hanya sekadar pementasan seni budaya, lomba, festival, pameran produk kerajinan dan sebagainya namun lebih dari itu, yakni membentuk karakter orang kita untuk berbudaya yang berpondasikan kepada nilai-nilai agama, adat dan budayanya.
Ini penting sebab di dalam kecepatan irama (tempo) yang berbeda-beda unsur-unsur kebudayaan telah berubah. Kecangihan teknologi yang diselimuti dengan modernitas sebagai teknik dan unsur pembawanya yang diterapkan di dalam mengubah alam bagi keperluan di masyarakat kita berubah dengan cepat. Apa yang kini modern, lima tahun yang akan datang telah menjadi kuno, kolot, usang. Tapi moral dan nilai budaya bertahan jauh lebih lama. Seiring dengan itu nilai-termasuk nilai budaya pun dipertanyakan karena hal tersebut. Rembesan-rembesan kemampuan tekhnologi dan modernitas itu sendiri telah membuat sebagian kita telah terjerembab pada persoalan orang yang berbudaya dan tak berbudaya. Ketika rembesannya telah merubah semuanya maka posisinya pada orang yang tak berbudaya begitu pula sebaliknya.
Pekan Budaya, sesungguhnya haruslah menjawab persoalan di atas. Bagaimana meletakkan budaya itu sendiri dalam posisi membudayakan orang atau lebih jauh lagi membuat orang berbudaya. Ini tidak bisa dilakukan hanya dalam waktu sepekan. Perlu proses untuk itu sebetulnya. Walaupun Pekan Budaya itu sendiri hanya sebuah “letupan” awal untuk memulainya. Namun ini merupakan batu loncatan ke arah tersebut.
Hal ini tidak terlepas bahwa kalau kita setuju kebudayaan itu sendiri tidak lain merupakan suatu “organisme hidup” yang berubah-rubah di dalam ruang dan waktu, menjawab keperluan-keperluan insani serta di satu pihak memperbaharui dan di pihak lain melestarikan nilai-nilai. Tradisionalitas yang ditonjolkan bersifat mengawetkan (preservatif) atas sistem nilai yang ada. Tapi semata-mata mengawetkan akan membuat sistem nilai itu bertabrakan dengan keperluan-keperluan obyektif masyarakat pada suatu ketika. Oleh karena itu harus ada koreksi yang bersifat memperbaharui (inovatif), sehingga hajat keperluan manusia tetap dapat berdiri kukuh. Begitulah Talcot Person (1983), memahami gerak kebudayaan itu sendiri.
Sebagai langkah awalnya, Sumatera Barat yang memiliki keanekaragaman seni budaya yang unik, spesifik dan dinamis haruslah “dikemas” dimulai dari nagari. Hingga dasar berpijak iven ini haruslah melihat posisi nagari sebagai sebuah kekuatan. Ini juga terkait dengan kondisi dimana budaya itu tumbuh dan berkembang di daerah ini pada setiap nagari-nagari. Kita tahu bahwa setiap nagari memiliki adat dan budayanya-adat salingka nagari.
Tidak sampai di sini saja, pengenalan budaya lokal dalam iven ini yang berbasis nagari perlu dilakukan karena dewasa ini budaya luar sudah menjamur dalam masyarakat, sehingga budaya lokal hampir tertinggal dan akhirnya bisa punah. Masyarakat sekarang lebih cenderung memakai budaya luar karena dirasanya lebih praktis dan simple, dan ini bisa diatasi dengan cara memperkenalkan budaya yang ada di daerah kita sendiri. Inilah kiranya bingkai besar yang ada pada Pekan Budaya Sumatera Barat.
Kita menyadari sepenuhnya bahwa pengembangan dalam bidang kebudayaan umumnya sampai saat ini masih menghadapi beberapa permasalahan sebagai akibat dari berbagai perubahan tatanan kehidupan, termasuk tatanan sosial budaya yang berdampak pada terjadinya pergeseran nilai-nilai di dalam kehidupan masyarakat. Meskipun pengembangan dalam bidang kebudayaan yang dilakukan melalui revitalisasi dan reaktualisasi nilai budaya dan pranata sosial kemasyarakatan telah menunjukkan hasil yang cukup mengembirakan yang ditandai dengan berkembangnya pemahaman terhadap pentingnya kesadaran multikultural dan menurunnya eskalasi konflik horizontal yang marak pasca reformasi, secara umum masih dihadapi permasalahan dalam domain pengembangan kebudayaan tersebut, antara lain (1) rendahnya apresiasi dan kecintaan terhadap budaya lokal, (2) semakin pudarnya nilai-nilai solidaritas sosial, keramahtamahan sosial dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai kekuatan pemersatu dan ciri khas bangsa Indonesia, serta semakin menguatnya nilai-nilai materialisme, dan (3) belum memadainya kemampuan bangsa dalam mengelola keragaman budaya termasuk pelestarian nilai-nilai budaya pada tingkat lokal, khususnya di nagari-nagari yang ada di Provinsi Sumatera Barat.
Jadi sebetulnya yang diharapkan dari Pekan Budaya Sumatera Barat ini tidak lain adalah bagaimana fondasi nilai yang jadi peroritas dalam iven ini, nilai yang membentuk karakter yag berfondasikan pada nilai-nilai agama, adat dan budaya masyarakat Sumatera Barat. Selama itu ada dalam kerangka besar iven ini maka sebuah awal keberhasilan sudah dicapai. Kalau tidak, santan habih samba tak lamak-akhirnya.
Akhirnya, mari kita dukung dan sukseskan secara bersama-sama Pekan Budaya Sumatera Barat yang dilaksanakan di Kota Payakumbuh. Mudah-mudahan terlaksana dengan baik dan sukses. Wassallam.
UNDRI
(Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar