Kini, hilangnya keteladanan menggelisahkan kita semua. Anak-anak mencari sendiri keteladanan pada sosok yang dimauinya. Bisa macam-macam media untuk mengeskpresikan sehingga anak memungut keteladanan sesuai dengan seleranya sendiri.
Akhirnya anak-anak menjatuhkan pilihannya pada sosok, artis, para pemimpin dunia, pujangga mashur, bahkan pahlawan kartunis semisal Superman, Batman, atau tokoh-tokoh animasi yang bisa ditemukan di televisi, tetapi bukan guru.
Pudarnya keteladanan jadi kegusaran. Seakan ada yang salah dalam proses transformasi yang dilakukan, baik di rumah, sekolah dan lingkungan. Transformasi etika, nilai-nilai religi dan kepada anak didik, termasuk minimnya penerimaan pada kearifan lokal yang selama ini jadi bagian tak terpisahkan dalam pembentukan karakter bangsa.
Agaknya paradigma lama menempatkan relasi guru dan siswa pada posisi subjek dan objek sudah tidak tepat lagi. Guru sebagai subjek yang bersifat aktif dan siswa sebagai objek dan lebih fasif. Sehingga komunikasi yang terbangun lebih bercorak monologis dan bukan dialogis. Posisi seperti itu menyebabkan budaya dan karakter pendidikan kita lebih hierarkis, otokratis dan antidemokratis.
Harusnya relasi antara guru dan siswa ibarat ikan dengan air, saling membutuhkan dan melengkapi, simbiosa mutualisma. Tidak disebut guru jika tidak ada siswa, begitu sebaliknya tanpa kehadiran guru, maka transformasi ilmu dan pengetahuan sulit berlangsung. Pada banyak kesempatan berseliweran asumsi peran guru pengajar atau pendidik. Kita tidak akan mempermasalahkan hal demikian karena tidak ada efektivitasnya membahas hal yang tidak penting itu.
Yang perlu digarisbawahi relasi antara guru dan siswa kini makin bias, pola hubungan yang terjadi cenderung makin tertutup sehingga kesan yang timbul guru dan siswa terpisah dinding permanen yang akhirnya terbangun relasi yang tidak harmonis. Pengalaman membuktikan relasi itu makin tergerus dan memudar sehingga ikatan yang terjalin demikian rapuh dan pudar.
Apa yang terjadi? Kenapa guru seperti kehilangan marwah dan gezhah di depan murid-muridnya dan relasi antara guru dan murid seperti hubungan antara produsen dan konsumen, pola hubungan mengingatkan pada pola hubungan penjual dan pembeli. Hubungan yang tidak mempertautkan dua hati yang kukuh dan teguh, tampa mengenal batas waktu.
Pada masa-masa tahun tujuh puluh-delapan puluh, relasi dan ikatan guru murid begitu kuat dan kental, sehingga jalinan kasih antara keduanya seperti hubungan anak dengan orang tua. Sebetulnya hubungan itu seyogyakan memang seperti hubungan anak dan orang tua. Yang satu memberikan bimbingan dengan jiwa sementara yang lain menerima dengan ikhlas bimbingan, arahan dan ajaran yang diberikan guru.
Salah satu yag perlu dipersalahkan adalah makin pudarnya sikap keteladan. Keteladanan profesional menyangkut kopentensi guru dalam menguasi mata ajar, acap kita merasakan atau mendengar langsung dari siswa bahwa guru tidak kompeten sehingga hal ini memudarkan kepercayaan dan kekaguman pada siswa.
Selanjutnya menyangkut keteladanan personal artinya seorang guru dituntut untuk menjaga kewibawaan tidak saja di sekolah dalam artian formal tetapi mampu mempertahnkan citranya di luar lingkungan sekolah sebagai guru. Untuk itu sikap dirumah dan lingkungan akan menjadi sumber inspirasi bagi anak didik dalam meneladani sikap guru.
Penulis mengamati, pergeseran itu terjadi secara lambat-lambat dan terus menerus, sesuai dengan pola perkembangan dan perubahan zaman. Tidak dipungkiri globalisasi yang mengedepankan kebesaran materi jelas memberikan andil bagi pola relasi antara guru dan murid. Demikian juga pada pola hubungan yang lain, antara mamak dengan kemenakan, kakak dan adik, hubungan persahabatan.
Karena kepentingan materi sering kali terjadi hambatan atau sumbatan relasi antara dua pihak ‘cerek dan cangkir’. Di samping tuntutan kurikulum yang syarat target dan capaian. Sehingga guru ’kering’ berkreasi dalam membangun komunikasi yang seharusnya muncul dari dalam kalbu, karena tuntutan yang sewaktu-waktu jadi beban pikiran justru jadi jebakan bagi guru. Karena relasi yang makin formal.
Makanya kejar tayang yang acap dilakukan para guru menunjukkan pola pola yang akhirnya di tangkap sebagai bentuk pemenuhan kewajiban-kewajiban saja, sementara para murid menyikapi sebagai hak. Lihatlah apa yang terjadi dikalangan para siswa kini, ketika guru berhalangan hadir maka para murid bersorak-sorai, murid mengganggap ketidakhadiran guru dihadapan mereka sebuah kemenangan dan kesenangan.
Tentu ada yang salah mengapa sikap murid seperti itu, kenapa mereka begitu senang bila guru berhalangan, atau ada acara rapat mendadak, kita tidak pernah mendengar ada murid yang ‘protes; atau sekedar mempertanyakan jika tiba-tiba proses PBM dihentikan sepihak. Seharusnya kalau relasi itu terbangun kuat, akan ada yang mempertanyakan, setidaknya mencari tahu dengan nada simpati, kenapa guru berhalangan, sakitkah dia, atau ada masalah berat yang sedang menimpanya.
Kepedulian murid kepada gurunya hari ini memprihatinkan kita. Guru tidak lagi mendapat tempat terhormat dihati para muridnya. Ketika murid sudah tidak diajar guru bersangkutan, para murid enggan untuk sekedar betegur-sapa dengan gurunya, sementara hati seorang guru tidak akan pernah berubah. Seperti perasaan orang tua yang tidak diacuhkan anaknya.
Agaknya itulah kiranya yang menyebabkan rasa hormat, santun dan damai hilang dari bumi pertiwi ini. Karena para murid tidak lagi hormat dan segan pada gurunya. Sehingga timbul kerinduan akan aplikasi pendidikan karakter yang ramai diwacanakan.
Seharus untuk mendidik murid berkarakter, orang tua juga memikul beban yang sama dengan guru bahkan lebih berat, karena anak lebih banyak berada dibawah pengawasan orang tua, bukan di sekolah.
Abainya orang tua sering ditimpakan kepada guru. Sehingga kedepan perlu kesepahaman agar peran itu dipikul bersama agar murid di samping menghormati orang tuanya di rumah, juga menghargai orang tuanya di sekolah, guru.
HASAN BASRI
(Guru dan Mahasiswa STAI Balai Selasa Pesisir Selatan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar