Soesilo Abadi Piliang
Akhir pekan lalu merupakan kisah sedih bagi keluarga Syukri Gusti, warga Villa Anggrek Blok I No.17, Kelurahan Balai Gadang, Kecamatan Kototangah, Padang. Suasana haru biru mewarnai perpisahan keluarga tersebut dengan Caca, yang berusia 7,7 tahun. Caca sudah bersama keluarga ini, selama lebih tujuh tahun. Tri Asih Kurniati, ST, 25, salah satu putri Syukri, yang selama ini menjadi sahabat Caca, terisak-isak sembari memeluk Caca, yang tak ingin lepas dari dekapan ‘kakak asuhnya’ itu. Saat sejumlah petugas dari LSM lingkungan internasional Kalaweit dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat tiba di rumah mereka untuk menjemput Caca, tangis pilu Tri Asih dan ibunya, Erni,54, pecah siang itu. Bibir mereka bergetar menyebut nama Caca. Sebaliknya, Caca juga menatap sedih keluarga angkatnya itu. Tatapannya menunjukkan, ia tak ingin dipisahkan dari keluarga itu.
Tidur ber-AC Caca yang dimaksud dalam kisah ini adalah hewan primata siamang (hylobates syndac-tylus). Meski ia hanya seekor siamang, namun prilakunya sudah seperti manusia. Setiap hari siamang betina ini tidur dengan Tri Asih dalam kamar tidur ber-AC, suka berdandan dan ber-make up, bernyanyi riang seperti layaknya gadis remaja yang tengah puber. Caca diadopsi keluarga Syukri pada 6 Desember 2004 saat usianya baru 7 bulan. Ia diadopsi dari seorang penduduk di Kiliran Jao, Sijunjung. Pengadopsian caca ini, menurut Syukri, diketahui BKSDA Sumatra Barat. Sejak saat itu caca menjadi bagian dari keluarga tersebut. Ia mendapat asupan gizi, seperti minum susu, buah-buahan, makanan padat (nasi) dan sate hati ayam. Jika caca sakit, ia juga dibawa ke dokter. Setiap tahun sekali ia disuntik rabies. Kenapa kemudian keluarga tersebut menyerahkan Caca kepada BKSDA Sumatra Barat yang bekerjasama dengan LSM Kalaweit? “Saya dan istri akan menunaikan haji, takutnya nanti tidak ada yang mengurusi Caca, karena anak-anak sudah dewasa dan bekerja. Oleh karena ada pihak yang merawat Caca, dan dia kembali ke habitatnya dengan selamat,” ujar Syukri.
Pusat Rehabilitasi Langkah keluarga Syukri ini, menurut Asferi Ardianto General Manager Yayasan LSM Kalaweit, patut diapresiasi karena menyadari betapa pentingnya menyerahkan siamang kepada pemerintah untuk direhabilitasi dan dikembalikan ke habitatnya. Sejauh ini, menurut pantauan LSM Kalaweit, masih terdapat ratusan siamang yang masih berada di tengah masyarakat di Indonesia, baik yang telah menjadi hewan piaraan maupun diperdagangkan. Guna menyelamatkan siamang, pihaknya terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat lokal secara langsung maupun bekerjasama dengan media massa, agar masyaraakat tidak memburu, memperdagang siamang. Jika ada yang memelihara siamang disarankan untuk diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah sendiri yang bekerjasama dengan LSM Kalaweit yang punya jaringan internasional ini, telah memanfaatkan Pulau Marak sebagai kawasan konservasi untuk siamang dan owa-owa (hylobates spp). Pulau seluas 800 hektar itu berjarak sekitar 15 mil laut dari Pelabuhan Carocok Kabupaten Pesisir Selatan itu, merupakan kawasan rehabilitas dua spesies hewan langka itu. Siamang direhabilitasi hasil tangkapan BKSDA di Pulau Jawa dan Sumatra. Pulau itu, juga dikunjungi bagi kepentingan penelitian satwa langka.
Hewan Cerdas Siamang yang merupakan kera hitam yang berlengan panjang, dan hidup pada pohon-pohon dikenal sangat tangkas saat bergerak di atas pohon, banyak hidup di kawasan Asia Tenggara, dan banyak ditemukan di Semenanjung Malaysia dan Sumatra. Siamang sebagai hewan omnivora diketahui menyukai buah-buahan, daun, bunga, biji-bijian, dan kulit kayu, juga memakan serangga, laba-laba, telur burung, dan burung kecil. “Siamang juga hewan yang cerdas dan paling dekat dengan manusia,” ujar dr. Rina, dokter hewan yang bertugas di Pusat Rehabilitasi Kalaweit di Pulau Marak. Prilakunya juga bisa seperti manusia, ia bisa bergaul dengan manusia, dan bisa merasa gembira dalam keadaan nyaman dan kenyang, juga bisa berlaku sedih di saat sakit. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar