Ada-ada saja. Belum lama ini, media di Arab Saudi menyiarkan berita bahwa polisi Arab Saudi menangkap empat pria Nigeria yang melebihi batas tinggal mereka di Mekkah. Setelah ditelusuri, ternyata keempat pria itu bukan beragama Islam atau non-Muslim dan masuk ke Kota Suci Mekkah dengan menggunakan visa haji.
Komisi untuk Promosi Kebajikan dan Pencegahan lalu menahan mereka. Menurut harian berbahasa Arab Al-Sabq, empat pria Nigeria sedang menyuci mobil di sebelah barat Mekkah saat ditangkap. Keempatnya dicurigai karena ketika waktu salat Isya tiba, mereka tetap asyik dengan kegiatannya.
Sudah menjadi tradisi di Mekkah, tiap kali waktu salat tiba, warga terutama kaum pria harus segera mendatangi masjid atau salat. Bahkan pemandangan salat di trotoar terlihat saat musim haji.
Tatkala ditanya mengapa tidak salat, jawaban mereka adalah orang Kristen. Padahal paspor mereka menunjukkan mereka telah memperoleh visa untuk umrah, tulis media ini. Non-Muslim dilarang memasuki Kota Mekkah dan Madinah sampai batas tertentu.
Menembus larangan mengapa orang non-Muslim dilarang menginjakkan kaki di tanah Mekkah? Sesungguhnya pertanyaan seperti itu kerap muncul di kalangan umat Muslim sudah lama. Bahkan tatkala jemaah haji dari arah Jeddah memasuki Kota Mekkah, termasuk dari Indonesia, akan bertanya saat di perjalanan menyaksikan satu ruas jalan disediakan pemerintah setempat bagi warga non-Muslim agar tak nyelonong masuk menuju Mekkah.
Bagi petugas haji Indonesia, pembagian satu ruas jalan dari arah Jeddah menjadi dua arah: satu ke Mekkah dan ke kota lain bagi warga non-Muslim, tentu sudah dapat dipahami. Sebab, warga non-Muslim dilarang menginjakan kaki Kota Mekkah.
Lantas, mengapa dilarang dan apa jadinya jika larangan itu tak diindahkan? Buku al-Masihiyun fi Makkah (Christian at Mecca, 1909) karya Augustus Ralli menjadi menarik lantaran berupaya menjawab larangan tersebut.
Buku yang dicetak perdana pada Agustus 2011 itu, kini menjadi terasa aktual untuk memberi pemahaman seputar ritual pelaksanaan haji yang “diintip” melalui kaca mata orang Kristen, sekaligus menjawab mengapa warga non-Muslim berani menginjakan kaki di Kota Mekkah.
Dalam prespektif sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah pada 622 M, yang kemudian ditandai dengan penanggalan hijrah bagi umat Islam. Di kota Madinah, Nabi Muhammad SAW mendapat sambutan dan pengikutnya pun bertambah. Lalu penyebaran akidah Islam pun meluas.
Tetapi karena orang-orang kafir banyak melakukan tindakan-tindakan munafik, ingkar janji dan memusuhi serta menodai syiar Islam, maka pada tahun 9 H berdasarkan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 28 yang artinya; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang Musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini”.
(ant/edy supriatna sjafei)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar