Kekecewaan masyarakat atas tindakan Satpol PP Kota Padang yang melepas penari striptis usai terjaring razia di Kafe Fellas, Padang pada Rabu (28/9) lalu akhirnya terbayar dengan penangkapan SS (21) warga Tanah Baroyo, Padang dan NA (21) warga belakang pool ALS,
Kecamatan Lubeg, Kota Padang oleh Jajaran Polresta Padang. Penangkapan itu diharapkan masyarakat dapat memberikan efek jera pada pelaku serta menjadi preseden bagi yang lain.
Kasus pertunjukan striptis di Kafe Fellas, Rabu (28/9) lalu cukup menyentak publik. Masyarakat dari berbagai kalangan mengutuk kejadian itu karena dianggap telah mencoreng nama baik orang Minang.
Selain mencoreng nama baik urang awak, pertunjukan striptis jika dikaji dari segi agama dapat merusak akidah dan secara hukum melanggar Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Untuk itu, tak mengherankan jika ada banyak pihak yang menghendaki tindakan amoral itu segera diberantas.
Pertujukan amoral yang digelar di Kota Padang jelas mencoreng Ranah Minang yang selama ini menjunjung adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peristiwa ini juga membuktikan lemahnya pengawasan dari instansi terkait. Bahkan ada isu sumir yang menyebutkan bahwa aparat kepolisian pun turut andil dalam terselenggaranya pertunjukan tersebut.
Jika boleh dirunut dari awal, sebenarnya Pemko Padang dan wakil rakyat punya andil besar dalam menyuburkan tempat hiburan malam yang membuka pintu tindakan asusila dan amoral. Hal ini terlihat dari Perda retribusi hiburan malam yang disahkan lewat votting anggota DPRD Padang yang menyatakan setuju atas Perda yang menaikan tarif retribusi hiburan malam menjadi 75 persen. Artinya, Kota Padang ikut menikmati hasil dari beroperasinya tempat hiburan malam.
Upaya pengawasan operasional tempat hiburan malam pun dinilai lemah. Sebab, aparat masih saja terkecoh dengan pertunjukan tari striptis yang digelar. Padahal, jika pengawasan bila berjalan optimal tentu tidak akan terjadi pertunjukan amoral tersebut di kota bingkuang ini. Sebagai orang timur, pertunjukan tari telanjang merupakan bentuk degradasi moral atau lebih ekstrimnya penyimpangan moral. Meski demikian, faktanya streaptease (striptis) menjadi sebuah suguhan yang luar biasa untuk memikat pengunjung. Pekerjaan tersebut dilakoni wanita penghibur dan seakan pekerjan tersebut menjadi profesi resmi, karena dikelola pihak tertentu. Kegiatan tersebut banyak ditemui dipusat tempat hiburan seperti diskotik dan hotel di kota-kota besar di Indonesia. Umumnya, suguhan striptis dikelola rapi dan merupakan jaringan terselubung.
Pariwisata atau pelesiran memang identik dengan seks. Keduanya seperti dua sisi dari satu mata uang. Atraksi tari striptis kemungkinan akan terus bermunculan dan susah diberantas seperti halnya prostitusi, namun tekad Indonesia khususnya Padang untuk tetap menolak kehadirannya akan dapat menghindari citra Padang sebagai daerah tujuan wisata seks. Mungkin ini terkesan munafik, tapi inilah usaha maksimal yang harus terus dilakukan. Padang ditantang untuk membasmi fenomena yang menjadikan manusia sebagai komoditas seksual. Penolakan terhadap fenomena tari telanjang, harus disertai pengawasan yang ketat.
Bentuk kontrol dari masyarakat dan pers bisa bermacam-macam, misalnya dengan senantiasa mengingatkan pemerintah atau pihak berwenang untuk bertindak proaktif dan berani melakukan penindakan terhadap pelanggar sesuai peraturan yang berlaku. Dengan ini, bukan saja kemuliaan pariwisata budaya bisa dijaga, tetapi celah KKN aparat dan preman bisa ditekan. Untuk itu, perlu kiranya menekankan pentingnya penegakan aturan. Pemerintah dengan elemen sosial keagamaan perlu menyamakan visi memberantas perilaku menyimpang. Bila ditemukan, beri peringatan dan langsung jatuhkan sanksi. Bila tidak, penyakit menyimpang ini akan berlangsung secara turun-menurun. Peran orangtua pun tak bisa dihindarkan. Awasi dan beri pengertian pada anak terhadap dampak prilaku penyimpangan yang mereka lakukan. Bila ketahuan masih dilakukan juga, wajar orangtua menjatuhkan sanksi pada anaknya.
Pertunjukan Striptis dipandang beragam oleh masyarakat di dunia. Sebagian menganggap striptis sebagai hiburan wajar untuk melepas penat setelah bekerja tapi sebagian lainnya menganggap striptis sebagai perilaku menyimpang. Di Indonesia, pertunjukan seperti ini memang dianggap amoral. Sebab itulah, perilaku ini dikategorikan sebagai perilaku menyimpang.
Dalam Sosiologi, penyimpangan muncul dari konflik normatif di mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam keadaan tertentu. Menurut teori control, penyebab kejahatan dapat ditemukan dari lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat atau macetnya integrasi sosial. Kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang.
Tari telanjang atau striptease adalah sejenis hiburan erotis di mana stripper (pemainnya) secara perlahan membuka baju sambil diiringi musik. Striptease biasanya dilakukan di strip club. striptease berawal dari jaman Babilonia kuno. Dalam legenda Sumeria ada cerita mengenai dewi Inanna yang turun ke dunia bawah yang terdiri dari tujuh pintu gerbang. Di setiap gerbang ia menanggalkan satu potong pakaian atau perhiasan. Selama ia masih di neraka, bumi gersang.
Asal mula striptease modern adalah tarian Ghawazee yang ditiru orang Perancis dari jajahan mereka di Afrika Utara dan Mesir. Tarian lebah yang dilakukan oleh seorang wanita bernama Kuchuk Hanem dicatat oleh novelis Gustave Flaubert. Dalam tarian ini pemain melepas pakaian sambil mencari lebah yang masuk ke dalamnya. Tari perut juga menjadi terkenal di AS setelah dipertunjukkan dalam 1893 World’s Fair di Chicago oleh seorang penari bernama Little Egypt.
Di negara-negara barat, pertunjukan striptis merupakan hiburan yang dilegalkan. Bahkan King Cross menjadi kota yang “hitam”, di trotoar atau di bar ada banyak wanita penjaja seks. Meski bisnis striptis cukup menguntungkan, tapi pemerintah Sidney tidaklah mengandalkan strip tease sebagai daya tarik utama.
Selain King Cross, ada beberapa lokasi dijadikan tempat pertunjukan striptis di dunia. Berbeda dengan di Indonesia, tempat-tempat ini mendapat izin dari pemerintahnya. Di antaranya The Sapphire, Las Vegas, Nevada. Klub malam terbesar di dunia ialah The Sapphire Gentlemen’s Club di Las Vegas, Nevada. Klub ini menyediakan hampir 8000 penari striptis. Tak hanya di Nevada, Klub K5 di Republik Cheko, Mons Venus di Florida, Seventh Heaven di Tokyo, Le Crazy Horse di Paris dan 4 Play Gentleman’s Club di Los Angeles (LA) juga menyediakan pertunjukan amoral setiap harinya.
MARISA ELSERA
(Mahasiswi Sosiologi Pascasarjana Unand)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar