MULAI membuka kedai kecil dengan berjualan ketupat, goreng, kue mangkuk dan lapek sejak tahun 1983 silam, ternyata belum mampu mengangkat kehidupan perekonomian Nurbaida (65). Wanita yang akrab disapa Mak Ubay ini, hingga saat ini tetap akrab dengan dagangannya yang dijual di kedai kecil yang berada di samping kantor Dinas Sosial Sumatera Barat. Tapi kehidupannya masih begitu-begitu saja.
Pengakuannya, dengan tujuh orang anak buah cintanya dengan Bahar (alm), semua hasil dagangannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jangankan untuk hidup mewah, untuk sekadar menikmati masa tua Mak Ubay belum sempat.
“Tiok hari amak manggaleh di siko. Jiko dulu hanyo katupek, lapek, goreang jo mangkuak sajo, kini ko alah batambah jo manjua soto dan nasi untuak makan siang pegawai di subalah (Dinas Sosial-red),” kata Mak Ubay memulai percakapan dengan Haluan.
Meski hasil dagangannya tidak seberapa, namun wanita yang telah dikaruniai sembilan orang cucu ini tak mau mengeluh dan mengalah dengan takdir. Dia tetap berpendapat, selagi bisa berusaha maka rezeki akan tetap dialirkan Sang Khalik. Karenanya Mak Ubay tetap menjalankan kegiatan tersebut dengan ikhlas.
Ditemani seorang anaknya yang akrab disapa Atun, Mak Ubay mulai membuka kedainya sekitar pukul 07.00 dan tutup sekitar pukul 18.00. Dari kegiatan itu, Mak Ubay mengaku bisa mengantongi keuntungan bersih rata-rata sebesar Rp50.000 sehari.
Walaupun nilai yang dikantonginya kalau dikalkulasikan dengan pendapatan masyarakat yang masuk kategori miskin cukup besar, namun menurutnya tak cukup banyak untuk bisa membantu menggerakkan roda perekonomian keluarga.
“Kalau dulu mungkin nilainyo gadang. Tapi untuak zaman kini ko indak cukuik lai doh,” katanya dengan mimik lirih.
Sambil sesekali meninggalkan Haluan karena ada pembeli yang masuk, Mak Ubay menyebutkan, awalnya ia berdagang di samping Kantor Telkom Padang Baru. Dan ketika Pemprov Sumbar membangun Kantor Dinas Sosial, dia pun pindah tempat.
Kehidupan Mak Ubay yang menurutnya jauh dari cukup, ternyata tak cukup mampu membuat pemerintah memasukkannya ke dalam kelompok masyarakat miskin penerima bantuan. Bahkan untuk biaya kesehatan, wanita ini hanya bisa mengandalkan isi kantong sendiri.
“Amak indak manarimo bareh miskin, indak pulo masuak keluarga miskin. Samantaro untuak biaya baubek, kato urang ado Jamkesmas awak indak pulo dapek. Jadi kasadonyo dari saku surang,” tuturnya perlahan.
Meskipun mulai berdagang sejak pagi hingga sore hari, namun ternyata modal yang digunakan Mak Ubay hanya sekitar Rp200.000 saja. Jumlah tersebut menurutnya telah termasuk untuk pembeli daging, ikan dan sayuran sebagai lauk bagi konsumen yang meminta nasi.
“Modalnyo indak gadang-gadang doh. Untuak apo modal gadang kalau hanyo manambah utang. Karanonyo, sajak manggaleh hampia 30 tahun, amak hanyo manjua buatan surang dan indak manarimo galeh urang,” imbuhnya.
Terkait keengganannya menjual dagangan orang lain, Mak Ubay berpendapat hal itu hanya akan menambah beban. Lagi pula, tak semua dagangan yang dititipkan warga dilirik pembeli.
“Bialah hasilnyo saketek asa indak bautang,” katanya mengakhiri.*** (Laporan Gustedria Chaniago)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar