TANGGAPAN ATAS TULISAN YOSNOFRIZAL
Tulisan Yosnofrizal yang dimuat di Harian Haluan Sabtu, 15 Oktober 2011, dengan judul “Petani dan Jerat Kemiskinan”, mendorong penulis untuk memberikan respons.
Tulisan yang dibuat dalam momentum Hari Tani itu, Yosnofrizal mengerucutkan penyebab petani masih berada “dalam kubangan” kemiskinan yaitu; masalah minimnya kepemilikan tanah dan harga yang tidak menguntungkan petani. Ending tulisan tersebut tidak memberikan secara konkrit langkah apa ke depan yang dapat diambil oleh pemerintah dan stakeholder untuk dapat melepaskan petani dari jerat kemiskinan. Tulisan ini selain mencoba menawarkan action ke depan yang mesti dilakukan.
Secara teoritis, paham klasik menyatakan hubungan antara pendapatan perkapita, kemiskinan dengan jumlah penduduk terhadap tanah yang jumlahnya tidak mengalami peningkatan. Tokoh yang mengusung pendapat ini adalah Malthus dan Ricardo. Esensi Teori Klasik adalah bahwa jumah penduduk yang bertambah sementara tanah jumlah luasnya tetap maka akan mengakibatkan terjadinya tingkat pengembalian yang semakin berkurang (diminishing return). Hal ini akan juga akan berimplikasi keapada menurunnya produksi perkapita ( Nafziger, 1997). Inilah kemudian akan berakibat kepada kemiskinan.
Di Indonesia kemiskinan lebih tinggi pada rumah tangga petani yang mempunyai ukuran tanah yang kecil (Booth, 1989), (Chernichovsky (1984), (Sigit, 1985), Johan Haryono, (1985), Carunia Firdausy dan Tisdell (1992). Namun pendapat di atas mengundang kritik terutama berkaitan dengan menegasikan peran teknologi.
Artinya, di era kemajuan teknologi yang kian cepat, lahan yang kecil kurang tepat bila dipandang sebagai faktor utama penyebab kemiskinan di kalangan petani. Bila dilihat China, Program Reformasi Pertanian Desa (The Rural Reform) yang diluncurkan tahun 1978-1985, mampu memberikan kesempatan kepada masyarakat miskin desa untuk mengembangkan dan meningkatkan kegiatan produksi pertanian mereka. Dalam program reformasi desa ini, pemerintah memberikan izin dan tanggungjawab ke rumahtangga miskin desa (household) untuk memproduktifkan tanah (natural asset). Pemberian ini berdasarkan ukuran dan jumlah anggota keluarga yang bekerja.
Program ini telah dapat membawa pertumbuhan produksi petani dan peningkatan pendapatan terutama pada kawasan miskin seperti Huanghuaihai di Bagian Timur Fujian ( Wang, 1994). Tahun 1978 tercatat angka kemiskinan di Pedesaan China 250 juta turun menjadi 125 juta orang di tahun 1985 dengan pengukuran garis kemiskinan $0.66 per-hari. Akselerasi penurunan angka kemiskinan yang cepat ini dikontribusi oleh adanya adopsi dan intervensi teknologi ke kegiatan pertanian.
Masalah di petani kita adalah teknologi. Petani masih mengunakan cara dan memakai metode sisuak dalam bertani. Alat-alat yang digunakan petani kita sebagian besar alat-alat dan metode yang diapply tidak memiliki kemampaun produksi yang tinggi dan proses pertanian kita berjalan tidak efesien alias boros waktu.
Teknologi pertanian bukan saja berkaitan dengan alat-alat tapi juga berkaitan dengan metode. Petani kita memiliki lack dalam penguasaan metode ber tani. Kelemahan ini berkaitan dengan tingkat pendidikan atau training yang diikuti. Rata-rata petani kita memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Untuk itu disinilah diharapkan fungsi penyuluh pertanian di lapangan agar dapat menguatkan aspek pengetahuan petani. Namun kenyataan di lapang, ada tenaga lapangan itu yang tidak menguasai dengan baik tugas pokok dan bahkan ironisnya ada juga yang memiliki background pendidikan yang tidak relevan dengan tugas yang diembannya.
Berbeda dengani Jepang, penyuluh petanian mereka memiliki jenjang pendidikan yang tinggi dan capable di bidang pertanian. Sehingga proses pertanian berjalan efektif dan memiliki skala ekonomi yang tinggi. Di jepang, petani padi bisa memproduksi hasil yang optmal dan berkualitas.pada umumnya. Keberhasilan petani padi di Jepang adalah dengan menerapkan sistim pemupukan bulir. Pemupukan bulir ini biasanya dilakukan 15-20 hari. Manfaat pemupukan bulir dapat memperbanyak jumlah biji pada setiap bulir,mempertinggi persentase pemanjangan,dan merangsang pembesaran biji.
Ke depan aspek peningkatkan kemampuan adopsi dan intevensi teknologi ke proses pertanian petani harus ditingkatkan melalui berbagai regulasi. Seperti memudahkan akses petani ke teknologi, memberikan subsidi alat-alat pertanian dan mengadakan paket-paket training secara priodik dan terarah yang langsung berdampak pada peningkatan kapasitas produksi bagi petani.
Jika masalah pertama ini tidak terselesaikan dengan baik, maka berimplikasi pada harga yang tidak menguntung petani di pasar. Hal ini sebagai konsekuensi logis dari lemahnya teknologi mempengaruhi kualitas produk. Untuk meningkatkan daya saing, daya tawar, kualitas hasil pertanian dibutuhkan, ke depan invonasi dan integrasi kelembagaan pertanian.
Inovasi produk merupakan suatu usaha yang dijalankan petani untuk menciptakan produk berdaya saing (berkaitan kualitas fisik produk) sehingga dapat menciptakan daya tawar (berkaitan dengan price) dalam harga. Selain itu juga perlu dilakukan Integrasi Kelembagaan.
Integrasi Kelembagaan adalah proses di dalam produksi dan distribusi produk dikontrol oleh kelompok petani dengan tujuan agar petani tersebut menguasai pasar dan petani jadi leader. Ada tiga bentuk integrasi yang dapat di apply: pertama; backward integration, dimana petani mensupply input ke suatu pasar atau perusahaan dalam menghasilkan produk. Kedua, forward integration, petani mengontrol kegiatan pasca kegiatan produksi, ketiga balanced integration, dimana mengabungkan kedua bentuk di atas.
Intergrasi kelembagaan usaha sangat penting untuk meningkatkan daya saing dan petani memiliki kekuatan kohesi horizontal dari pelaku-pelaku usaha dari suatu segmen dan vertical dari pelaku usaha dari segmen yang berbeda. Kasus pada petani gambir yang dikemukakan pada tulisan Yosnofrizal akan dapat diatasi melalui integrasi kelembagaan ini. Sehingga petani akan memiliki posisi yang kuat ketika masuk dan berhadapan dengan pasar serta akhirnya akan mendapatkan harga yang layak. Semoga!
ASYARI
(Staf Pengajar STAIN Bukittinggi/Peserta Program S3 Ilmu Ekonomi Unand)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar