Untuk kesekian kalinya, kawasan Barat Daya Provinsi Sumatera Barat dilanda banjir. Persisnya di Kabupaten Pesisir Selatan. Hingga tadi malam tidak kurang dari 51 rumah dicatat hancur, 21 rusak berat, ratusan lainnya rusak ringan dan sedang. Dan setidaknya sekitar 50 ribu orang terpaksa mengungsi menjauhi kawasan banjir, mereka mengungsi ke tempat aman.
Dan, kali ini bajir juga menimbulkan korban nyawa. Dilaporkan ada lima warga yang hilang setelah sebelumnya dilaporkan 11 hanyut tap0i enam orang berhasil menyelamatkan diri. Kondisinya kali ini lebih parah dari banjir sebelum-sebelumnya di Pesisir Selatan.
Banjir ini terjadi sekitar pukul 03.00 Rabu (3/11) setelah hujan lebat melanda kabupaten paling selatan Sumatera Barat itu sejak Selasa (2/11) pagi. Banjir menyapu delapan kecamatan di Pessel, masing-masing Kecamatan Batang Kapas terdiri atas lima nagari, Sutera empat nagari, Lengayang sembilan nagari, Ranah Pesisir empat nagari, Linggo Sari Baganti tujuh nagari, Pancung Soal delapan nagari, Basa IV Balai empat nagari dan Lunang Silaut lima nagari.
Tak hanya itu, banjir juga mengakibatkan dua unit jembatan putus, 1 mobil Puskel hanyut terbawa arus serta ratusan hektar sawah berisi tanaman rusak, dan ribuan ternak pelihara masyarakat mati.
Delapan kecamatan disapu banjir bandang masing-masing Koto XI Tarusan, Bayang, IV Jurai, Batang Kapas, Lengayang, Ranah Pesisir, Linggo Sari Baganti, Basa IV Balai Tapan dan sebagian kecil Pancung Soal.
Titik terparah terjadi di Pasir Putih Kambang, Nagari Kambang Barat, Kecamatan Lengayang. Di sini jalan nasional putus sepanjang lebih kurang satu kilometer. Badan jalan terbongkar arus banjir dan terdorong ke laut serta menimbulkan terbentuknya pulau pulau yang di sekelilingnya air banjir dan laut di sisi barat. Praktis, Jalan Lintas Sumatera (JLS) Barat yang membentang dari Padang ke Bengkulu, terputus. Dapat dipastikan sampai beberapa hari ini kondisinya masih belum akan pulih. Dan itu mengakibatkan terputusnya arus barang dari dan ke Bengkulu dari wilayah Sumatera Barat atau sebaliknya. Banjir tidak saja melanda Pesisir Selatan, tetapi juga Kota Padang. Kawasan Pondok yang biasanya tidak banjir, dilanda banjir juga. Begitupun seperti biasa kawasan yang berada di kerendahan terendam juga. Banjir juga menlanda Kota Solok sebelumnya.
Ini adalah dampak hujan yang curahnya amat tinggi dalam dua hari terakhir ini di sebagaian besar wilayah Sumatera Barat. Tetapi kita tidak akan membahas lebih teknis soal bagaimana kondisi terakhir di Pesisir Selatan, Padang, Solok atau di beberapa daerah melainkan bagaimana kita selalu saja terlambat mengantisipasinya.
Mengantisipasi tentu saja dengan mengacu pada prakiraan cuaca yang dikeluarkan secara resmi oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Dari waktu ke waktu, antisipasi bencana khususnya banjir dan longsor hanya disampaikan dalam bentuk seruan agar berhati-hati saja. Tidak ada satu pertemuan serius yang menyiapkan berbagai antisipasi terhadap kemungkinan bannjir apabila BMKG sudah merilis ancaman hujan lebat yang bercurah tinggi. Justru yang merespon biasanya adalah kalangan perkapalan, nelayan tradisional. Jika BMKG merilis kondisi cuaca lengkap dengan prakiraannya, biasanya nelayanan dan kalangan perkapalan cepat mengantisipasinya.
Tetapi, di daratan sepertinya prakiraan cuaca itu tidak diindahkan. Hujan di wilayah Pesisir Barat Sumatera sudah turun dengan curah yang tinggi sejak empat hari lalu. Tapi kenapa tidak ada satu gerakan dari Pemerintah Daerah untuk mengantisipasinya.
Apalagi, kalau menilik sejarahnya, tiap tahun curah hujan yang tinggi itu senantiasa berulang di bulan-bulan yang sama. Kalau saja, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) baik di Provinsi maupun di daerah-daerah Kabupaten meresponnya dengan cepat tentu ceritanya bisa lain. Di kawasan-kawasan yang biasa banjir itu disiapkan tim SAR lengkap dengan peralatan dan pengarahan yang intensif terhadap masyarakat agar bersiaga.
Dengan menyiapkan mitigasi seperti itu, kita harap bisa meminimalisasi korban nyawa dan harta. Dengan demikian kita tidak hanya ‘heboh’ setelah banjir tapi lupa mengantisipasinya dengan serius. Di Jakarta misalnya, siklus banjir 5 tahun sudah lama diperhitungkan, karena itu Pemerintah DKI mengklaim telah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi. Bagaimana dengan Sumatera Barat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar