Tahun ini atau persisnya pada 31 Oktober lalu PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) merilis bahwa manusia ke 7 miliar sudah lahir. Artinya pada tanggal itu jumlah manusia yang (hidup) mendiami planet bumi ini adalah 7 miliar orang. Kalau mau ditulis lebih ‘terasa’ banyaknya adalah 7.000. 000.000 orang.
Kelahiran bayi ke 7 miliar itu tampaknya disambut keprihatinan, karena krisis pangan masih melanda sebagian belahan bumi ini.
Bahkan, krisis pangan dan bahaya kelaparan yang sedang membayangi dan mengancam penduduk dunia saat ini merupakan yang terparah sejak 40 tahun terakhir.
Seperti diperkirakan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) sekitar 1,02 miliar jiwa di seluruh dunia saat ini sedang mengalami kekurangan pangan, dan kelaparan. Kondisi yang paling parah terjadi di negara-negara Afrika dan Asia Selatan.
Bahkan, Dana Kependudukan PBB (UN Population Fund) memperkirakan pada 2050 akan ada tambahan sekitar 2,32 miliar jiwa yang tersebar di seluruh dunia yang harus dipenuhi kebutuhan pangannya di bawah tekanan ancaman perubahan iklim yang semakin berat. Jadi, ke depan isu keamanan pangan dunia akan menjadi isu terpenting yang menjadi perhatian para pemimpin di dunia.
Beberapa faktor yang menyebabkan persoalan pangan dunia semakin rumit, di antaranya kegagalan produksi pangan karena dampak perubahan iklim, dan terpinggirkannya kebijakan investasi pertanian.
Untuk konteks nasional, kita masih terbelenggu dengan budaya harus makan nasi. Padahal, banyak sumber bahan pangan selain nasi yang cocok dikelola dengan kondisi lokalitas masing-masing daerah, seperti jagung, ubi, dan sagu.
Oleh karena itu, budaya masyarakat Indonesia yakni harus makan nasi perlu diubah. Keanekaragaman bahan pangan pengganti nasi sebagai makanan pokok sangat melimpah, seperti jagung, sagu, dan ubi.
Hal tersebut yang perlu disosialisasikan secara rutin dan berkelanjutan. Namun, Indonesia saat ini masih kekurangan tenaga penyuluh pertanian. Idealnya satu desa memiliki satu penyuluh pertanian.
Sampai saat ini jumlah penyuluh pertanian belum mencukupi dan distribusinya juga belum merata. Jika tidak salah, ada data yang menyebutkan Indonesia masih membutuhkan sekitar 30.000 penyuluh pertanian.
Sebenarnya Indonesia merupakan wilayah dengan kondisi geografis yang sangat potensial untuk budidaya berbagai jenis tanaman pangan. Di setiap wilayah dengan masing-masing kondisi topografi, iklim dan ekologinya mempunyai potensi pangan yang beragam. Seperti kasus di Papua, provinsi ini memiliki potensi ketersediaan pangan lokal yang sangat besar, tetapi memiliki tingkat konsumsi pangan lokal yang sangat kecil (Neraca Bahan Makanan 2002 di dalam Carol 2008).
Jika dicermati, kasus rawan pangan di daerah-daerah Indonesia bukan karena tidak tersedianya sumber bahan pangan yang mampu memberikan gizi seimbang. Keterbatasan akses fisik dan ekonomi terhadap ketersediaan sumber bahan pangan merupakan faktor utama penyebab terjadinya kasus-kasus serupa. Ketiadaan akses karena keterbatasan ekonomi terkait dengan masalah kemiskinan menyebabkan masyarakat tidak dapat membeli dan mengolah bahan pangan. Informasi sebagai sumber pengetahuan dan penjelasan bagi masyarakat tidak dapat diakses dengan mudah. Hal ini berdampak pada aplikasi metode dan pengetahuan dalam penanganan dan pengolahan bahan pangan menjadi tidak up to date, sehingga masyarakat masih cenderung menggunakan pola lama (kuno). Pada kasus pola makan misalnya, masyarakat masih menerapkan pola makan lama dengan mengkonsumsi karbohidrat (makan berat) baru kemudian mengkonsumsi buah. Padahal berdasarkan kajian kesehatan terbaru, pola makan yang benar dan disarankan adalah mengkonsumsi buah dahulu baru dilanjutkan dengan mengkonsumsi karbohidrat (makan berat).
Dulu, berbagai jenis kuliner yang berbahan baku non-beras yaitu umbi-umbian, seperti singkong, tales, ubi ungu, ubi cilembu yang diolah menjadi peuyeum, keripik, umbi bakar dan rebus, gatot; sayuran seperti acar, urap, gudangan dan karedok serta aneka penganan dan kudapan lainnya tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Namun, seiring dengan berkembangnya hegemoni beras di masyarakat muncul image inferior terhadap penganan tersebut dan identik dengan makanan orang miskin. Tiwul, yang dahulu merupakan sumber pangan pokok utama penduduk Jawa juga telah terkikis dengan adanya beras. Umbi-umbian dan jagung yang telah akrab dengan pola konsumsi penduduk Indonesia wilayah timur juga terganti dengan beras. Nah, saatnya kembali!(haluan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar