BUKITTINGGI, Warga Bukittinggi terutama di Kelurahan Pintu Kabun dan Bukik Apik Puhun mempertanyakan Perda Nomor 6 tahun 2011 tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) point a dan b.
Pasalnya, Perda yang memuat tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), membuat masyarakat di Kelurahan Pintu Kabun dan Kelurahan Bukik Apik Puhun dirugikan.
Sebab, tanah mereka di kawasan dua kelurahan tersebut tidak bisa di bangun akibat disahkannya Perda RTRW Pemko Bukittinggi baru-baru ini. Padahal tanah itu adalah milik masyarakat warisan nenek moyang mereka turun-temurun.
Berpayung dengan Perda itulah, Pemerintah Kota (Pemko) Bukittinggi mengusai lahan tanah dengan aturan tidak boleh ada bangunan di wilayah itu, dan menjadi keresahan masyarakat. Sebab dari dulu tanah itu milik kaum atau suku mereka, dan pribadi-pribadi masyarakat. Sehingga muncul pertanyaan apa betul tanah itu telah menjadi milik Pemko secara sepihak, tanpa memberitahukan masyarakat pemilik lahan.
Dalam Perda RTRW tersebut direncanakan dua kelurahan di Utara Bukittinggi itu menjadi daerah hijau atau Ruang Terbuka Hijau. Sehingga masyarakat tidak bisa melakukan pembangunan tempat tinggal di kawasan itu. Sementara Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, terpaksa tidak bisa mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan Perda yang telah disahkan itu.
Hal itu dibenarkan anggota DPRD Kota Bukittinggi, M Syukri kepada Haluan, Kamis (24/11) di gedung Dewan Bukittinggi. Menurutnya, memang banyak kalangan merasa dirugikan karena tidak bisa mengurus IMB untuk membangun. Sehingga, sangat terkesan dengan dijadikan kawasan itu Ruang Terbuka Hijau, mereka kehilangan haknya.
“Keresahan masyarakat dalam Perda tersebut adalah karena daerah akan dikembangkan menjadi pusat binis dan Ruang Terbuka Hijau. Dalam pasal 66 RTH, dua Kelurahan Bukit Apik Puhun dan Puhun Pintu Kabun. Akan ditetapkan sebagai Ruang Terbuka Hijau, hingga panorama,”terang Ketua Fraksi Golkar DPRD Bukittinggi itu.
M.Syukri menambahkan, Ini bersangkutan dengan tanah ulayat yang tidak bisa lagi dimanfaatkan. Ketika diminta IMB ternyata tidak bisa dikeluarkan. Sehingga dibutuhkan petunjuk teknis dari Pemko Bukittinggi, yang belum diketahui oleh masyarakat berkaitan dengan Perda RTRW itu.
Ketakutan masyarakat selanjutnya yang akan menimbulkan persoalan besar adalah akan terjadinya relokasi. Jika begitu, keadaannya kemana masyarakat ini akan direlokasi. Nampaknya banyak pertanyaan yang mesti dicarikan jawabanya, jika Perda ini tetap akan direalisasikan Kota Bukittinggi.
Menurut politisi Golkar ini, seharusnya dalam Perda yang telah disusun sejak masa jabatan anggota DPRD Bukittinggi, 2004-2009 itu, tidak merugikan masyarakat. “Jika Perda berdampak merugikan masyarakatnya, tentu bisa dikaji ulang. Sehingga tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi,” ujar Sukri.
Katanya, ini merupakan tugas pemerintah untuk meluruskan kembali dan memberikan penjelasan kepada masyarakat. Bagaimana penunjukan dan penguasaan atas tanah. “Diduga ada kekeliruan dalam Penyusunan Ranperda dulunya,” katanya.
Nampaknya, dalam penyusunan Ranperda RTRW memiliki sejumlah hal yang mengarah pada kekeliruan penyusunan. Sebab Perda yang disusun sejak tahun 2004-2009 yang kemudian dilanjutkan pada 2009-2015, tidak melewati proses yang sempurna. Selain tidak dibahas ulang pada masa jabatan DPRD tahun pengesahannya, juga tersiar kabar tidak adanya public hearing dengan masyarakat sebelum pengesahan.(h/jon)haluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar